Travel
Gabungan Venesia dan Roma

18 Jul 2011

Negerinya hangat, penduduknya berbahasa Inggris, dan berpantai indah. Begitu iming-iming teman saya ketika mengajak saya ke Malta. Tentu saja, ajakan yang langsung saya, Kanti W. Janis, terima. Sejak kuliah di Belanda yang dingin, saya merindukan berlibur di tempat yang penuh siraman matahari.

Malta adalah sebuah negara kepulauan di tengah Laut Mediterania, 93 km di selatan Sisilia, Italia. Bernama resmi Republik Malta, selama lebih dari 1,5 abad negara ini berada di bawah jajahan Kerajaan Inggris. Karenanya, Malta masuk negara persemakmuran Inggris dan menjadi bagian dari Uni Eropa pada tahun 2004.

Sebagai negara yang dikeliling laut, sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan tembok-tembok panjang menyerupai benteng, lautan biru yang cantik, dan kapal-kapal. Kotanya yang dikeliling air, mengingatkan kami pada Venesia.

Uniknya, Malta juga sekilas mengingatkan kami pada Roma karena dipenuhi bangunan-bangunan tua. Di mana-mana ada tempat bersejarah. Gedung-gedung pemerintah, pemukiman, hampir semua masih berupa bangunan tua. Kota-kota di Malta cukup kecil.  Kalau naik bus, cuma sekitar sepuluh menitan sampai ke tempat yang ingin kita tuju. Suasana kotanya juga sepi. Bayangkan saja, populasi penduduk senegara saja cuma 400.000an orang.

Pantai Mediterania
Kami menginap di Alexandra Hotel. Lokasinya berada di kawasan St. Julians, dekat pantai, restoran-restoran, serta pusat hiburan. Kami lalu menyusuri St. Julians. Baru berjalan sebentar, keramahan penduduk Malta sudah terasa. Ke mana pun kami berjalan, orang-orang menyapa dengan hangat.

Penyusuran itu lalu membawa kami ke Portomaso Waterfront. Tampak berderet yacht berlabuh, dengan pemandangan laut yang memukau. Kami lalu mencari pantai berpasir. Sayangnya, pantai yang kami temukan, yakni St. Julians Bay, bukanlah pantai berpasir, melainkan pantai bebatuan. Rupanya kondisi alam pantai yang termasuk Laut Tengah atau Laut Mediterania ini memang banyak berbatu-batu.  

Kami masih penasaran ingin menemukan sandy beach. Seorang petugas hotel menyarankan kami untuk pergi ke St. George's Bay yang letaknya hanya beberapa meter dari hotel. Tapi lagi-lagi, pantai yang kami temui hanya mempunyai sedikit pasir, sangat berbatu, dan kecil. Kami  sempat kecewa. Untunglah di lokasi itu ada tempat kursus menyelam bernama Cresta Dive Centre. Berawal dari rasa penasaran, kami pun memutuskan untuk menyelam.

Instruktur kami bernama Casey. Dengan bahasa Inggris yang sangat fasih, Casey memberikan penjelasan singkat tentang menyelam dan meminta kami untuk memakai wet suit lengkap dengan sepatu katak, tabung oksigen, dan masker. Dari awal, Casey sudah memperingatkan bahwa udaranya akan terasa dingin, karena suhu hari itu hanya 16 derajat Celsius. Tetapi, rasa dingin itu hanya akan terasa selama dua menit, dan selebihnya akan terasa hangat. Baru kali ini kami berenang di pantai yang airnya begitu dingin. Air lautnya sendiri sebenarnya tidak begitu cerah, tapi terjaga kebersihannya. Di dalamnya, tersembunyi ikan-ikan dan karang-karang yang berwarna-warni. (f)



Menengok Para Kesatria Malta
Ibu kota Malta adalah Valletta. Dari hotel kami, hanya 15 menit naik bus.  Valletta dikelilingi tembok-tembok panjang, sehingga untuk memasukinya kami harus berjalan kaki melewati sebuah gerbang besar. Ketika sudah berada di dalam tembok, kami berjalan mencari Katedral St. John. Jika dibanding katedral lain di Eropa, penampakan luar Gereja St. John boleh dibilang sangat sederhana dan jauh dari kesan megah. Tetapi, saat masuk ke dalam, kami dapat melihat ornamen-ornamen berwarna emas dan lukisan khas renaissance pada langit-langit. Gereja itu masih berfungsi untuk tempat ibadah.

Selanjutnya, kami mengunjungi Museum The Palace. Tujuan utama kami adalah melihat koleksi baju besi para kesatria Malta ordo St. John, yang digunakan saat penaklukan Ottoman Turki. Untuk melihat koleksi baju besi itu kami harus membayar tiket seharga 4,66 euro (Rp57.000). Sebelum mencapai ruang koleksi, kami harus menapaki anak tangga yang tidak sedikit. Namun, koleksi baju besi yang kami lihat, sepadan untuk usaha kami ini. Baju-baju zirah itu  disusun rapi. Pakaian besi tersebut asli dari zaman itu, sehingga rasanya menjadi agak sedikit merinding ketika mengingat baju itu dipakai di medan perang. Ditambah lagi, dekorasi ruangan yang ditata semirip mungkin dengan keadaan saat itu. Sungguh mengingatkan saya akan puri hantu di film-film horor.

Dalam perjalanan kembali ke hotel, secara tak sengaja kami berpapasan dengan arak-arakan prosesi keagamaan yang mengusung lukisan Bunda Maria. Mayoritas penduduk Malta memang penganut agama Katolik yang taat. Arak-arakan itu menyanyikan lagu gereja dalam bahasa Malta.

Lalu, kami terus berjalan sampai mencapai Fort St. Elmo yang cantik. Dari situ, kami dapat memandang salah satu semenanjung Malta, dan menikmati pemandangan pertemuan antara laut dan langit biru yang luar biasa cantik. Membuat kami betah berlama-lama di situ. Tanpa peta dan arah tujuan, kami melanjutkan berjalan kaki, sampai akhirnya tiba di Grand Harbour. Pemandangannya masih laut cantik dan kapal-kapal berlabuh. Pelabuhan itu pernah hancur oleh bom pada Perang Dunia II. Tak jauh dari situ, berdiri sebuah monumen peringatan berisikan nama-nama prajurit yang gugur. Kota ini memang punya sejarah peperangan yang panjang. (f)



Fontanella di Mdina
Petualangan kami berikutnya adalah di Mdina, ibu kota masa silam Malta. Mdina (yang selintas mengingatkan pada Madinah), mendapatkan nama itu karena Malta dulunya pernah diduduki bangsa Arab, yang lantas membangun tembok-tembok tinggi di sekeliling kota.

Kami bertanya-tanya info objek apa saja yang menarik di Mdina dari seorang petugas hotel. Katanya, di sana kami bisa makan siang di fontana (dalam bahasa Italia artinya air mancur). Kami pun menuju  Mdina dengan menumpang sebuah bus, dalam waktu 40 menit.  

Untuk memasuki Mdina, seperti di Valletta, kami harus melewati sebuah gerbang besar. Memasuki Mdina seperti membawa kami kembali ke abad lampau. Nyaris tidak ada satu pun bangunan modern. Herannya lagi, tidak ada satu pun mobil yang lalu-lalang. Jalan-jalannya sempit, sehingga kebanyakan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Kota ini sangat sepi dibandingkan Valletta. Tak mengherankan,  kota yang dihuni sekitar 300-an penduduk ini juga dikenal sebagai silent city.

Berjalan makin ke dalam, makin terlihat kecantikan setiap sudut Mdina. Kami sangat terkesan pada pintu-pintu besar yang menghiasi tiap bangunan. Pintu-pintu itu kokoh dan terkesan berat, dengan warna-warna mencolok. Kami sempat mampir ke sebuah gereja tua bernama Katedral St. Paul. Gereja yang dibangun tahun 1697 ini sekaligus terdapat museum di dalamnya. Di situ terdapat toko suvenir yang menjual kalung dengan salib lambang St. George, yang juga dijadikan lambang bendera Malta.

Setelah berjalan separuh dari pintu gerbang Mdina, kami terus berjalan lurus mencari fontana, dengan bertanya sana-sini. Orang yang kami tanyai malah berkata bahwa tidak ada fontana di Mdina, yang ada fontanella. Di telinga kami, fontanella terdengar tak jauh dari fontana, sehingga kami berasumsi bahwa fontanella adalah fontana dalam bahasa Malta. Semenjak itu, setiap bertanya jalan, kami bertanya di mana letak fontanella.

Setelah sekian lama berjalan, rasanya kami sudah mencapai ujung kota, karena sekarang di depan mata kami adalah tembok bebatuan besar. Sudah tidak ada jalan lain. Untunglah, akhirnya kami menemukan sebuah papan petunjuk bertuliskan ‘Fontanella’. Namun, setelah menaiki beberapa anak tangga, yang kami lihat malah sebuah kafe bernama Fontanella Tea Garden Café. Ah, rupanya selama ini kami salam paham, dan mungkin juga salah dengar. Fontanella yang terkenal di Mdina itu bukan sebuah air mancur, melainkan sebuah kafe di atas bukit, dengan pemandangan pegunungan yang sangat indah. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?