Travel
Ekspedisi Rasa di Medan

10 Oct 2014


Seribu rasa. Dua kata yang cocok disematkan pada wajah kuliner ibu kota Sumatra Utara ini. Keragaman suku, agama, dan budaya, seperti Batak, Melayu, Tiongkok, atau India telah menorehkan warna istimewa pada cita rasa masakannya. Belum lagi adopsi budaya dari kota tetangga seperti Minang yang sedikit banyak diadaptasi di beberapa makanan.

Pilih Kopi  atau Teh?

Tak ada papan nama penunjuk identitas Kedai Kopi Apek. Bahkan, etalase yang diposisikan menghadap ke jalan justru bertuliskan: Martabak, Roti Cane, Kari Kambing, dan Nasi Briani. Sekali lagi, tak ada promosi tentang kopi. Meski begitu, berdasarkan info dari berbagai sumber, pengunjung sudah paham dengan apa yang dicari dalam bangunan bergaya kolonial ini.  Apa lagi kalau bukan secangkir kopi.

    “Di sinilah cikal bakal lahirnya kopitiam,” cerita Arie.
    “Apek itu sebutan untuk  paman dalam bahasa Melayu. Ditujukan untuk kakek dan ayah saya yang lebih dulu menjalankan usaha ini,” cerita Suyenti, generasi ketiga yang kini meneruskan bisnis keluarga yang sudah berusia lebih dari 1 abad ini.

“Untuk kopi, sejak dulu kami pakai campuran arabika dan robusta asal Sidikalang, Sumatra Utara,” tambah Suyenti yang tak canggung meracik kopi sambil sesekali diabadikan oleh jepretan kamera tamu.
“Lama-kelamaan terbiasa kerja sambil difoto,” tutur Suyenti, sambil tersenyum.
           
Dalam sekejap, harum kopi susu membangkitkan selera. Susu kental manis sengaja dipisah di dalam gelas kecil, sehingga tingkat kemanisan bisa ditakar sesuai selera. Sedikit saja seruput kopinya, mulut sudah dipenuhi rasa pahit, getir, dan manis yang tak saling mendominasi.

Selain kopi, tersedia pula Es Teh Lemon. Rasanya lebih cocok jika dinikmati bersama telur setengah matang berbumbu kecap asin, merica, dan garam. Rasa amis dari telur luntur setelah bertemu teh yang segar.

Sebagai temannya, cicipi  Roti Kaya Panggang. Kecermatan waktu dan suhu saat memanggang menjadikan roti di sini istimewa. Garing di luar namun tetap lembut di bagian tengah. Mengapit selai srikaya berwarna kuning keemasan. “Rotinya dipesan dari pembuat roti langganan, sedangkan selainya saya buat sendiri,” tutur Suyenti.

Walau padat pengunjung, suasana di dalam kedai tetap tenang, tak ada keriuhan. Semua tekun menikmati tiap tegukan kopi, sambil membaca koran  atau berbincang.

Bisa jadi ini adalah refleksi pepatah Tiongkok kuno yang dipajang di dinding kedai: berkecukupan tidak berarti berbahagia, kebahagiaan sesungguhnya adalah hidup dalam ketenangan.


Juaranya Soto

Meski waktu baru menunjukkan pukul 10 pagi, suasana di Rumah Makan Sinar Pagi sudah begitu heboh. Cukup terlambat untuk sarapan, namun terlalu cepat juga untuk makan siang.

“Biasanya orang Medan datang untuk sarapan soto Medan. Pilihannya, soto ayam,  soto daging,  soto babat, atau  soto campur,”  tutur Arie, yang sudah beberapa kali mampir.  Almarhum Zulkarnaen adalah sosok di balik kepopuleran soto khas Melayu Medan ini. Sebelum wafat, pria asal Padang Panjang, Sumatra Barat, ini telah menurunkan ilmunya kepada putrinya, Rosmiati.
   
Walau ramai, pelayanannya cepat dan gesit. Kurang dari 5 menit, soto daging yang masih mengepul tiba di meja. Kaldu kuningnya kental dan pekat rempah.  “Ini karena penggunaan ketumbar, jintan manis, jintan putih, kapulaga, pala, kayu manis, cengkih, merica, lengkuas, dan kunyit yang ditumbuk hingga halus, lalu dilarutkan ke dalam kaldu ayam. Terakhir, irisan tomat dan daun kemiri ditambahkan sesaat sebelum dihidangkan,” cerita Rosmiati.
   
Segera santap soto selagi hangat dengan nasi atau perkedel kentang. Penyuka pedas, tambahkan sambal dari campuran cabai rawit tumbuk, kecap, dan bawang goreng. Nikmat  karena  kaldu  gurihnya kian kaya rasa. “Saya tidak mengubah pakem resep dari Ayah, semua komposisi masih sama,” tutup Rosmiati.

 
Blusukan Rasa di Pasar

Bagi yang suka makan, blusukan ke pasar adalah satu hal istimewa. Bahagia bisa membaca budaya setempat yang jujur lewat kehangatan kehidupan pasarnya. Di  Pasar Rame, Anda akan diajak melihat kearifan budaya Tiongkok yang banyak memengaruhi masakan di Medan.
   
Cukup mudah menelusuri peta kelezatan pasar yang terkenal akan pusatnya penjual manisan ini. Tak jauh dari gerbang, mampir sejenak untuk memesan Mi Kangkung Belacan di kios chef Ahai. Kabar kelezatannya sudah mendatangkan wartawan dari Singapura dan Malaysia.
   
Ukuran minya lebih besar daripada mi umumnya. Pesan femina, bagi yang tak suka pedas, hati-hati saat menyantap. Karena, walau sudah minta dimasakkan dalam tingkat kepedasan sedang, tetap saja yang datang pedas ‘membakar’ lidah. Namun, Ahai lihai memanjakan lidah tamunya, salah satunya lewat hadirnya udang ukuran besar, potongan bakso ikan, cumi-cumi, dan kangkung di antara gulungan mi.
   
Bila berkunjung saat tengah hari, ambillah posisi duduk di tengah area pasar yang dikelilingi penjaja makanan. Pesan segelas Es Johor untuk meredam panasnya  matahari. Ini adalah es campur yang berisi jagung manis pipil, kelapa muda, leci, agar-agar, nata de coco, manisan kasturi, lalu ditutup dengan es serut dan siraman sirop merah. Atau bisa juga pesan Jus Kedondong. Pemanisnya menggunakan manisan buah somboi (somboy) yang dilarutkan di dalam air panas. Ah, segar!

Sambil menghabiskan es, gigit talam ebi (kue keladi) dari kios Kak Ayu. Berbeda dengan talam pada umumnya, ada potongan ubi di dalam adonan talam sehingga lebih padat saat dimakan. Taburannya tetap sama, yakni bawang goreng, bawang daun, ebi, dan cabai merah keriting.

Di sebelah penjual minuman, Acek dan sepedanya siap membuatkan seporsi Tau Kua He Ci. Sepedanya membonceng boks  berisi sejenis pangsit udang, cumi-cumi, taoge, asinan sawi, dan mentimun. Semua akan diporsikan di atas piring, lalu disiram dengan kuah merah kecokelatan yang rasanya asam pedas. Percayalah, walau bukan makan di restoran berbintang,  hampir semua rasa makanan di pasar ini juara!

Ingin mencari oleh-oleh manisan, sirop markisa, atau sirop terong Belanda? Di sini jualah tempatnya. Pilihan manisannya beragam, mulai dari manisan salak, mangga, kedondong, ceremai, jeruk kasturi, mangga, hingga pala. Manisan jambu biji yang paling banyak dicari. Sayang, umur simpannya pendek, sekitar 2-3 hari di dalam lemari es.

“Kalau orang Jakarta cocoknya beli manisan kasturi, tinggal ditambahkan air dingin lalu diminum saat siang hari,” saran salah satu penjual.


Semerbak Wangi Kari

Aroma harum kari menyambut femina sejak pertama kali menginjakkan kaki di Rumah Makan Tabonai.  Dalam bahasa Batak, tabonai berarti enak. Ini seperti kata jaminan bahwa hanya akan ada makanan enak yang akan singgah di perut. Bihun Kari Ayam atau Bihun Kari Sapi-nya banyak dicari.

"Kami tidak menyediakan daging babi karena setelah berkali-kali uji coba, yang enak untuk dijadikan kari hanya ayam dan sapi," jelas Melisa, generasi kedua dari bisnis yang sudah bergerak sejak tahun ‘70-an ini.
   
Untuk Bihun Kari Sapi, daging yang menjadi pelengkap dipilih dari daging di bagian betis sapi yang direbus hingga dua kali pemasakan agar lunak. Sedangkan untuk Bihun Kari Ayam, hanya menggunakan ayam kampung sebagai bahan dasar kaldu dan juga pelengkapnya.
   
Apa pun pesanan Anda, akan selalu ditambahkan potongan kentang dan telur ayam dengan calon ayam yang belum menetas. "Sebetulnya, kari bisa disantap dengan nasi, tetapi bihun lebih gurih," tambah Melisa.
   
Femina lebih senang duduk di area luar restoran, karena ada bonus tambahan semilir angin yang menyejukkan saat kepedasan menghabiskan kari. Untuk penyegar, teguklah Es Kietna. “Terbuat dari buah kasturi yang dihaluskan bersama kulitnya, lalu ditambahkan manisan somboi sebagai pemanis,” jelas Melisa.  


‘Bollywood’ ala Medan

Salah satu komunitas yang mudah ditemui di Kota Medan adalah India. Bahkan ada kawasan yang dikenal sebagai ‘Bollywood’ ala Medan, yakni Kampung Madras.

Di sini, wajah-wajah khas Asia Selatan tersebut secara turun-temurun menjalani bisnis sebagai pengusaha kain, pakaian, bahan makanan, atau kuliner. Karena jumlah mereka yang cukup banyak, jangan heran bila roti tissue --sejenis crepes yang dibuat tipis mengerucut seperti tumpeng-- mudah didapat  di luar Kampung Madras.
   
Karena perut sudah penuh setelah seharian dijejali makanan enak, kami singgah di Cahaya Baru hanya untuk ngemil saja. Ditemani alunan lagu India, saya dan kawan-kawan merobek Garlic Naan, lalu dicocol ke dalam kari. Di meja sebelah, duduk segerombol  pria India yang sedang menyantap martabak. Mendengar percakapan mereka dalam bahasa India, seolah sedang berlibur ke India!

Sajian dari India bagian selatan diwakili oleh Masala Dosei, yakni sejenis crepes tipis yang digulung dan dicocol ke sambar (kari daging dan kentang), Indian pickle (campuran red chilli powder, kunyit, dan kelabat), dan choconut chutney. Masing-masing cocolan punya rasa berbeda. Sambar yang gurih pedas, Indian pickle khas dengan rempah, dan choconut chutney yang asam, gurih, dan manis. Sesekali saya meneguk Mango Lassi di sela acara makan. Walau bukan pencinta musik India, tanpa sadar saya menggerakkan kaki mengikuti irama lagu. Untung enggak joget.


MEMBUKUKAN KULINER NUSANTARA

Satu hari sebelum menjelajah Kota Medan, kami terlebih dahulu memanjakan lidah di Festival Jajanan Bango (FJB) 2014, di Lapangan Benteng, Medan, Sumatra Utara. Sekitar 30 stall   menyajikan makanan dari barat hingga timur Indonesia. Beberapa di antaranya adalah sajian tuan rumah yang tenar seperti Gulai Ikan Sale Mandailing, Ayam Laksamana Mengamuk, dan Lontong Johor Kak Ummi.
  
 Tak sekadar makan, penjaja juga aktif memberikan penjelasan tentang hidangan yang ditawarkannya. Seperti cerita dari stall Holat RM Humairah, yang menyajikan holat, sejenis sup ikan, khas menggunakan serutan kayu palaka sebagai bumbu yang membuat masakan gurih sekaligus penghilang bau amis pada ikan mas.
   
Medan adalah kota ketiga setelah Jakarta dan Makassar digelarnya FJB 2014. Selanjutnya, Bango sebagai brand kecap di bawah naungan PT Unilever Indonesia Tbk ini juga punya proyek besar. “Kami akan melakukan Ekspedisi Warisan Kuliner dari Barat sampai Timur pada pertengahan tahun ini," tutur Nuning Wahyuningsih, Senior Brand Manager Bango.

Tim ekspedisi yang dipimpin oleh Arie Parikesit akan singgah dan mengulik cerita di balik sajian khas di lebih dari 100 kota di tanah air. Penelusurannya meliputi bumbu, teknik memasak, latar belakang sejarah, serta menggali tokoh kuliner setempat yang berpengaruh.

“Data yang dikumpulkan akan dibukukan dalam judul Bango Jelajah Warisan Kuliner dari Barat ke Timur Nusantara. Harapannya, buku ini bisa menjadi salah satu referensi utama masyarakat Indonesia dalam memahami ragam kekayaan kuliner Indonesia,” tambah Nuning. Selain versi buku gaya konvensional, tersedia pula dalam bentuk e-book untuk memudahkan akses pencarian.

Ikuti rekam jejak tim ekspedisi dengan follow Twitter @warisankuliner, Facebook Fan Page Warisan Kuliner, atau mengunjungi situs www.bango.co.id, YouTube, dan mobile application Wisata Kuliner.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?