Travel
Berakhir Pekan Di Gold Coast

11 Jul 2014


Hanya punya waktu saat weekend di Gold Coast? Bila makan dan masak menjadi hobi Anda, mengunjungi pasar bisa jadi agenda terbaik. Di tiga pasar berikut ini saya bertemu produsen lokal yang menjajakan hasil bumi khas Australia dan beragam makanan enak. Walau tak banyak berkunjung ke tempat wisata populer, saya tetap merasakan relaksasi yang menyenangkan. Apalagi saat perut kenyang dan setumpuk belanjaan ada di tangan. Tampaknya saya harus sepakat pada tagline kota terpadat nomor dua di Queensland ini: Gold Coast famous for fun!

SABTU PAGI DI BURLEIGH HEADS

Hujan menyambut kehadiran saya dan lima rekan jurnalis asal Australia, Malaysia, Jepang, Hong Kong, dan Tiongkok, di Burleigh Heads State School, tempat digelarnya Burleigh Heads Farmers Markets. Walau angin dingin terasa menusuk kulit, nyatanya tak menyurutkan semangat untuk pelesir  ke pasar.

Apalagi ketika saya ingat cerita Blanche Chan, rekanan dari Tourism and Events Queensland, di hari sebelumnya. “Anda bisa sarapan croissant dan cappuccino, belanja buah, sayur, bumbu dapur, aksesori  dapur, serta mencium aroma ragi dari roti yang baru dipanggang”. Ah, ini surga buat saya!

Menunggu hujan reda, Liana Baffari, Manager of The Farmers Markets (pengelola Burleigh Heads Farmers Markets dan beberapa pasar di Australia) memandu kami menyisir Organic Hall. Ini adalah area kerja sama The Farmers Markets dan Life Changing Events, untuk merangkul produsen pangan organik di Queensland dalam menjual produk mereka.

“Dengan begitu warga lokal pun lebih mudah mendapatkan produk organik dengan harga terjangkau, karena membeli langsung dari penghasilnya,” papar Baffari. Tak ayal lagi, kemudahan ini membuat sebagian besar orang Australia menganut gaya hidup organik.


Dari sekian banyak stall yang ada, saya penasaran dengan Pure Beelicious Honey yang antreannya mengular. Di sini, Laura Churchill, rekan dari Australia, menyarankan saya untuk mencicipi creamed honey. Mirip peanut butter, namun lebih halus dan pucat. Didapat dari proses sterilisasi madu murni yakni menggunakan suhu tinggi dan dalam waktu singkat. Gunanya, untuk mematikan mikroba dan mencegah madu mengkristal.

“Sebutan lainnya whipped honey, karena proses akhir pengolahannya mengocok madu hingga mengental,” tutur penjualnya. Acara mencicipi ini berakhir dengan memboyong original creamed honey dan cinnamon creamed honey. Saya lantas berhayal, pasti enak bila dioles di atas roti panggang saat sarapan di rumah.
   
Baffari membekali segelas kombucha (sejenis teh fermentasi) yang saya minum sambil menyusuri pasar. “Baik untuk kesehatan dan pencernaan,” pesannya. Setelah melewati stall penjual baju dan kerajinan tangan, saya harus siap-siap ngiler melihat buah dan sayuran segar berbaris rapi di  tiap stall bahan pangan segar.
   
Melihat sawi, wortel, kembang kol, jagung, tomat, rasanya ingin segera turun ke dapur. Saya makin gemas melihat bit, lemon, baby spinach, dan kale dijual seharga 2-3 dolar Australia (± Rp20.000-Rp30.000) per kilo. Duh, kapan bisa membeli sayur impor semurah itu di Jakarta.  

Stall bumbu racikan homemade menghibur saya yang kecewa tak bisa memborong bahan segar. Karena awet disimpan, beli saja yang banyak untuk persiapan pesta barbecue di rumah nanti. Untuk membumbui daging, pilih On The Edge, berupa campuran rock salt, chilli flakes, dan peppercorn. Sedangkan ikan, cocok dilumuri Chili Lemon dari campuran rock salt, lemon pepper, dan chilli flakes.

Ada pula Duqqa atau Dakka, campuran bumbu dan kacang-kacangan. Khas dengan rasa gurih dan berempah. Enak untuk taburan roti, pasta, daging sapi, ikan, atau ayam bakar. Untuk koleksi di dapur, saya memilih Aussie Nuttler Dukkah (campuran macadamia, pistachio, pinenut, linseed, pepitos, wijen, dan ragam rempah) dan Red Ochre Dukkah (campuran almond, pistachio, macadamia, linseed, biji matahari, dan ragam rempah).

Seperti janji Chan kemarin, mulai tercium aroma roti yang baru dipanggang saat kaki melangkah ke area belakang. Segera saya pesan rye bread, croissant, dan segelas cappuccino. Walau perut kenyang, sulit rasanya menolak aroma manis dari Sourdough Fruit Loaf. Saya nikmati satu potong, sisanya dibungkus untuk dimakan nanti.

Waktu operasional: 07.00-12.00 (Sabtu).
Alamat: Burleigh Head State School. Lower Gold Coast Hwy, Burleigh Heads 4220, Gold Coast.


MALAM MINGGU GAYA LOKAL

“Sebagian dari kami menghabiskan malam Minggu dengan hang out bersama kawan, menikmati makan enak, dan menonton live music di pasar malam,” tutur Churchill. Kali ini saya mengikuti malam Minggu gaya orang Australia dengan mengunjungi Miami Marketta.

Persis seperti cerita Churchill, ngobrol sambil makan enak ditemani alunan musik sungguh menyenangkan. Walau sebutannya pasar, jangan takut salah kostum bila datang mengenakan midi dress atau jeans dipadu blus. Rata-rata pengunjungnya tampil all out.

“Beginilah cara kami merayakan akhir pekan,” tambah Churchill.  Area dekat pintu masuk diisi dengan meja dan kursi untuk tempat bersantap. Diposisikan menghadap panggung live music yang melantunkan lagu jazz, pop, hingga rock.
Untuk mencapai stall penjual makanan yang berada di area belakang, saya harus menerobos kerumunan orang dengan tempo berjalan sangat lambat. Walau padat, pengunjung tetap berjalan rapi dan teratur.

Street food market pertama di Gold Coast ini diibaratkan gambaran kehidupan di Australia yang multikultur karena banyak dipengaruhi budaya dari imigran asal Asia, Eropa, dan Amerika. Berkumpulnya jajanan mancanegara, mulai dari Thailand, Meksiko, Kanada, Jepang, Italia, Jerman, India, hingga Tiongkok, menandai Australia adalah melting pot ragam bangsa. Sayangnya, dari sekian banyak stall jajanan dunia tersebut, tak tampak makanan Indonesia. Padahal, beberapa hari lalu saya kerap berpapasan dengan orang Indonesia.

Akemi Matsukubo, rekan dari Jepang, sangat antusias melihat stall makanan Jepang. Dia ingin menguji, apakah rasanya sudah layak disebut makanan Jepang. Uji coba pertama diwakili oleh yakisoba. Kecut manis menyalut sempurna pada mi, potongan wortel, sawi, dan daging sapi. Matsukubo memberi nilai 9 untuk tes pertama ini.


Senyum bahagia kembali terbit dari bibir Matsukubo saat menggigit potongan okonomiyaki. Tingkat kematangan sayur yang pas ditandai dengan kerenyahan saat digigit, walau dibungkus telur dadar. Rasa Jepang disempurnakan lewat taburan katsuobushi (ikan tuna asap yang diparut), aonori (rumput laut Jepang yang dihancurkan), dan beni shoga (acar jahe merah). Kesimpulannya, penjaja makanan Jepang sukses meracik rasa sesuai standar aslinya.

Saya masuk ke dalam barisan di depan stall berbendera Italia. ‘The best homemade pasta in the town’, begitu promonya. Sambil mengantre, dari dalam tenda tampak dua orang pria muda lincah menguleni gnocchi (pasta berbahan kentang). Lalu, lekas dioper ke rekan lainnya untuk segera dimasak. Kesabaran mengantre ini terbayar dengan harum aromatik daun basil dari saus pesto yang menyelimuti  yang gnocchi kenyal.

Sesungguhnya bratwurst (sosis khas Jerman) dari stall jajanan Jerman menggoda. Membayangkan bentuknya yang montok, diapit roti dan hanya dibumbui mustard, pasti enak. Sayangnya, semua berbahan daging babi. Jadi, cukuplah saya menelan ludah kecewa.

Stall Meksiko terhitung sepi antrean dibandingkan lainnya. Segera saya memesan chimichanga, yakni buritos goreng berisi daging cincang, keju monterey jack, dan nasi. Cocolannya, saus salsa dan guacamole. Saya pikir, tak akan lama menunggu pesanan rampung diracik. Ternyata tidak. Stall tampak sepi karena  tiap pemesan diberikan nomor antrean sehingga tak perlu menunggu di tempat. Alhasil, untuk menikmati chimichanga, saya harus bersabar menunggu pesanan 12 orang selesai dibuat!

Waktu operasional: 16.00-22.00 (Sabtu)
Alamat: 23 Hillcrest Parade, Miami 4220, Gold Coast


PASAR ALA SURFERS

Ungkapan jodoh pasti bertemu, pas menggambarkan perjumpaan tak sengaja dengan Surfers Paradise Beachfront Markets. Niat ingin jalan sore di pinggir pantai Surfers Paradise sambil makan churros, berujung dengan berbelanja di kawasan yang terkenal sebagai surganya para peselancar.
   
Cukup mudah menemukan pasar yang digelar seminggu tiga kali ini. Lokasinya tak jauh dengan gapura Surfers Paradise, ikon area ini. Tenda-tenda putih penjual didominasi makanan siap santap, snack, dan aksesori. Pilihan tepat, menikmati sunset sambil mengunyah butterscoth popcorn atau minum jus buah segar.

Penggemar kue manis seperti saya tentu senang saat mampir ke stall Claudines Treat’s. Melihat Chocolate Caramel Slice, Lamingtons, Sticky Date Pudding with Butterscotch SauceI, dan Almond Clusters seperti sedang berada di toko pastry beken, namun disajikan lebih membumi. Saya pilih sebungkus Melting Moment, yakni biskuit sandwich dengan filling gula bubuk dan mentega yang dikocok lembut.

“A delicious biscuit that melts in your mouth,” Churchill mencoba menafsirkan nama kue populer yang terdengar romantic ini. Ada rasa cokelat dan lemon. Bagi saya, rasa lemon cocok dinikmati sambil merasakan semilir angin pantai.
Di tenda sebelah, tampak wadah botol wine dalam wujud miniatur kerangka manusia. Ada juga botol bir kaca berbentuk tengkorak. Lain lagi perlakuan pada botol minuman keras. Botol bekas ini dipanaskan, lalu ditekan hingga pipih. Kemudian dirakit untuk menjadi dasar jam dinding. Kolektor aksesori dapur ekstrem, pasti setuju kalau saya bilang barang ini wajib dibeli. Kapan lagi bisa memboyong barang berseni dengan harga kaki lima.


Saya menghampiri tenda biru bertuliskan ‘Silver Beef Jerky’, sejenis dendeng yang khas menjadi snack. Waktu simpannya panjang, cocok untuk stok makanan siap santap saat malas masak. Awet hingga berbulan-bulan karena menggunakan daging tanpa lemak, diiris tipis, dibumbui dan dikeringkan. Dari pilihan rasa, daging sapi rasa herb garlic, teriyaki, dan barbecue, saya tertarik pada jerky dari daging kanguru. Jejak aroma asap, sedikit amis, serta rasa asin-gurih  tertinggal di mulut usai mengunyahnya.
   
Saya mengakhiri belanja sore ini dengan sekantong kacang macadamia. Rencananya, dimakan sambil duduk santai di pinggir pantai. Tapi, semua kandas ketika angin kencang mendadak datang. Embusan angin kencang kurang dari 5 menit ini sempat membuat heboh pengunjung. Kacamata yang saya sisipkan di atas kepala pun ikut hilang terbawa angin. Semua kembali normal ketika angin usai berembus.

“Angin kencang sudah menjadi santapan sehari-hari kawasan ini. Semua sudah diperhitungkan dengan membangun tenda yang kuat menahan tiupan angin kencang,” tutup Matsukubo, yang sudah beberapa kali berkunjung ke tempat ini.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?