Travel
Alam Liar Australia Barat

20 Feb 2013


Perth adalah kota di Australia yang tak terlalu jauh jaraknya dari Indonesia. Jalan-jalan sedikit ‘keluar’ dari Perth, saya menemukan petualangan alam khas Australia: bercengkerama dengan dugong, emu, padang rumput dan pasir. 


Jelajahi Waktu di Fremantle

Perjalanan saya dimulai dari Fremantle, sekitar 25 menit dari Perth berkendara. Kawasan ini dikenal akan cokelat dan hasil tangkapan lautnya. Usai sarapan, saya sudah ditunggu Ryan Zaknich dari twofeet.com.au untuk berkeliling Fremantle dengan berjalan kaki. Selama perjalanan, menuju pinggir pantai dan dermaga, Ryan berkisah bagaimana orang-orang Inggris di akhir tahun 1800-an menaruh harapan akan menemukan tanah baru untuk kehidupan yang lebih baik.

“Mereka membawa ternak, biji-bijian, serta perlengkapan lainnya untuk memulai hidup baru. Saat tiba di pinggir pantai, mereka hanya menemukan semak-semak belukar. Karena tidak bisa kembali, perlahan-lahan mereka mulai membangun kota ini, sehingga akhirnya bisa mapan seperti sekarang,” jelas Ryan. 

Saya diajak naik ke balkon bangunan tertua di sana, Round House. Ada meriam tunggal yang moncongnya menghadap ke laut. Meriam ini masih aktif! Tiap pukul 13.00 siang, meriam ditembakkan sebagai penanda waktu makan siang sudah usai.

Kebiasaan ini berlangsung sejak tahun 1900 dan berhenti di tahun 1937. Namun, sejak tahun 1998, Fremantle Volunteer Heritage Guides mengulang kebiasaan ini. Anda yang sedang makan siang atau bermain di pantai sekitar jam itu, siap terkaget-kaget mendengar dentuman suara meriam yang sangat kencang.

Saya melanjutkan jalan kaki sembari melihat aktivitas masyarakat lokal, menuju Fremantle Prison, bangunan bersejarah yang pada tahun 1829 – 1991 digunakan sebagai penjara. Memasuki gerbang besinya, bulu kuduk langsung berdiri. Saya masuk ke kamar-kamar kecil. Di sana dipamerkan bagaimana kehidupan para narapidana, lengkap dengan busana dan contoh aktivitas harian mereka, termasuk peta dan usaha mereka untuk melarikan diri. Melihat koleksi berbagai alat penyiksa dan kursi listrik, saya jadi takut sendiri.   



Bercengkrama dengan Lumba-lumba


Keesokan harinya, saya melanjutkan perjalanan menuju utara menggunakan pesawat baling-baling jenis turboprop. Setelah kurang lebih tiga jam di udara, pesawat mendarat di Bandara Shark Bay. Bentuknya sangat sederhana, hanya sebuah pondok kecil, beratap seng, dengan beberapa kursi dan meja, serta meja bar.

Panas matahari langsung menyengat kulit. Sejauh mata memandang hanya tampak padang luas kecokelatan, gersang, dengan alang-alang di sana-sini. Penginapan saya menghadap laut lepas yang bening, dengan ombak tenang dan hamparan pasir putih. 

Sambil menikmati makan siang, Brett Fitzgerald, Manager of Monkey Mia Department of Environment and Conservation, menceritakan bahwa sejak 40 tahun lalu, lumba-lumba hidung botol secara rutin mengunjungi pantai di Monkey Mia dan berinteraksi dengan manusia. “Shark Bay membentang sepanjang 1.500 kilometer, di dalamnya hidup lebih dari 320 spesies ikan. Jika beruntung, saat berlayar nanti, Anda juga bisa bertemu dugong dan hiu kepala martil,” katanya.

Saya diajak berlayar dengan yacht Aristocat II. Tiba-tiba sang kapten, Greg Riddley, menghentikan kapal dan berteriak, “Sekitar 100 meter di depan sana, ada dugong!” Dari kejauhan saya melihat gumpalan putih naik sebentar, kemudian tenggelam lagi. Ternyata si dugong sedang jual mahal. Tak lama kemudian sekelompok lumba-lumba mendekati kapal.

Ketika perjalanan kembali ke pantai, saya dan beberapa teman ditantang untuk ber-boom skipping. Saya pun duduk di jaring ikan yang berada di belakang kapal, berpegangan tangan erat, lalu… jaring diturunkan dan kapal melaju! Selama kurang lebih 20 menit, tubuh saya terlempar-lempar. Air yang awalnya terasa sangat dingin, mulai terasa hangat. Saya pun tak henti-hentinya berteriak, antara girang dan ngeri.

Malamnya, sambil menghangatkan badan di dekat api unggun di pantai, saya mendengarkan kisah bagaimana kehidupan suku Aborigin di masa lalu. Termasuk cara mendeteksi jejak hewan, membunyikan didgeridoo (alat musik tradisional suku Aborigin), dan mengenali tanaman yang dipakai sebagai obat-obatan. Semua disampaikan Darren Cappewell, yang masih keturunan Aborigin.  “Inilah cara leluhur memperkenalkan diri kepada alam, memberi salam kepada leluhur. Berterima kasihlah kepada tanah ini karena telah menerima kita,” ungkapnya, sambil mengambil segenggam pasir, menggosokkannya dengan kedua tangan, sambil menyebutkan namanya.



Menaklukkan Bukit Pasir

Untuk kembali ke Perth, saya mencoba lewat jalan darat, yakni melewati Kalbarri National Park. Selama perjalanan, pemandu mengatakan, ada kemungkinan kami akan bertemu binatang liar seperti emu, kanguru, atau wombat. Benar saja, baru setengah jam berlalu, saya melihat emu, burung besar yang tak bisa terbang, di pinggir jalan. Mobil kami harus berhenti dan menunggu emu yang menyeberang jalan dengan santai.

Saya menyempatkan mampir di Shell Beach, pantai dengan hamparan cangkang kerang berwarna putih. Air lautnya yang dangkal sangat bening, tenang, dan indah. Meski menggoda, saya sudah diberi peringatan untuk tidak mengambil satu pun kerang yang ada di sana. Aturan ini dibuat untuk menjaga kelestarian pantai.

Di Kalbarri National Park. Meski musim bunga sudah usai, saya masih menemukan spot-spot tempat bunga liar berwarna-warni tumbuh. Selebihnya hening. Begitu heningnya,  sehingga nyaris yang terdengar hanya suara angin dan gagak yang berkoak-koak. Cocok untuk merenung. Satu-satunya yang mengganggu adalah lalat-lalat besar yang mendengung dan menempel di wajah dan tubuh.

Saat melanjutkan perjalanan dari Kalbarri melalui South Coast Highway, saya melihat langit samar-samar berubah warna menjadi merah muda. Ternyata, itu merupakan refleksi dari Pink Lake di daerah Goldfields-Esperance. Warna merah muda berasal dari tanaman algae yang terkonsentrat tinggi terhadap garam yang ada di danau.

Sebelum sampai Perth, saya ditantang menaklukkan bukit-bukit pasir menggunakan bus 4WD di Lancelin Dunes Park. Rasanya ngeri juga saat bus menanjak di ketinggian lebih dari lima meter, kemudian meluncur. Serasa naik roller coaster mini.

Belum puas, saya menantang diri ber-sandboarding. Menggunakan papan luncur seadanya, saya naik ke bukit pasir setinggi lebih dari 10 meter. Begitu tiba di atas, hati sempat ciut. Saya harus meluncur tanpa menggunakan pengaman apa-apa alias hanya mengandalkan kedua tangan untuk menjaga keseimbangan. Kadung sudah sampai di atas, saya pun duduk di atas papan, dan segera meluncur. Walaupun seluruh tubuh dan mulut penuh pasir, saya sampai di bawah dengan selamat. Ternyata seru!


Bersantap Di mana?

Sebagai daerah pesisir pantai, hidangan laut jadi andalan. Temukan di sini:
































>> Cicerello’s Fremantle
44 News Road, Fremantle WA 6160
www.cicerellos.com.au

>>Lobster Shack – Indian Ocean Rock Lobster Factory Tour
11 Madrid Street. Cervantes WA 6511
www.lobstershack.com.au

Menginap Di mana?

Latar belakang sejarah serta pemandangan sekitarnya membuat hotel ini cukup direkomendasikan.

>>Monkey Mia Dolphin Resort – Aspen Resort
Monkey Mia, Monkey Moa WA 6537
www.monkeymia.com.au

>>Esplanade Hotel Fremantle
Corner Marine Terrace and Essex Street, Fremantle WA 6160
www.esplanadehotelfremantle.com.au



TIP

>>Garuda Indonesia memiliki penerbangan ke Perth sekali  tiap hari, dengan transit di Denpasar. Perjalanan selama kurang lebih 3,5 jam.

>>Selama penerbangan, Anda juga bisa memesan makanan khusus, seperti makanan bayi, vegetarian, tanpa garam, hingga untuk penderita diabetes, tanpa biaya tambahan.
   
>> Tur dengan cara road trip bisa jadi pilihan menarik. Sama seperti di Indonesia, mobil di Australia menganut setir kanan. Peraturan lalu lintas di sana cukup ketat. Mereka memiliki radar dana peralatan untuk mengukur kecepatan (maksimal 110 km/jam).
Rully Larasati




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?