Fiction
Will [5]

29 May 2012


<<<  Cerita Sebelumnya

Ada gosip bahwa Will mempunyai anak dari wanita lain. Betulkah?

Kita tak usah mengangkatnya semua ke atas pentas,” jelas Will. “Kita dapat memotongnya menjadi tiga jam, mungkin dua jam setengah.”

Henry Condell mengambil selembar kertas dari tumpukan itu. “Lihat bagian ini, saat Ophelia berbicara tentang Hamlet. Menurutku, Hamlet kedengarannya seperti Earl of Essex. Apakah kau sedang memikirkan Earl of Essex saat menulisnya?”

Will tersenyum. “Mungkin ya,” jawabnya. “Mungkin tidak.”

“Richardkah yang akan berperan sebagai Pangeran Hamlet?” tanya Augustine.

“Tentu saja!” pekik Will. “Aku menulis bagian ini untuknya. Ia adalah seorang bintang. Sedangkan aku akan memerankan hantu ayah Hamlet.” Will menatapku. “Hamlet akan berpakaian serba hitam, Toby, sebaliknya Ophelia serba putih.”

Henry menghabiskan birnya. “Ini cerita yang bagus, Will, dan kita semua mendapatkan peran yang bagus. Tapi apakah para penonton akan menikmatinya? Alur cerita ini sangat lambat, padahal mereka suka alur yang cepat dan menarik. Hamlet tahu bahwa pamannyalah, Claudius, yang telah membunuh Sang Raja, yaitu ayahnya. Tapi Hamlet tak pernah bertindak apa-apa untuk sekian lama. Ia hanya membicarakannya. Dan di akhir cerita, hampir semua tokohnya mati.”

Augustine tidak setuju dengan pendapatnya. “Kau tidak memahaminya, Henry. Cerita ini sungguh menarik, mengesankan. Inti cerita ini ada pada diri Hamlet sendiri. Ia ingin membunuh pamannya, tapi ia tak bisa. Membunuh adalah tindakan yang salah. Namun ia harus membunuhnya, demi ayahnya. Kita semua mengerti bagaimana perasaannya.”

Sepanjang percakapan, Richard Burbage tak berucap sepatah kata pun. Kemudian ia membaca lagi beberapa bagian dari naskah itu. Lantas ia meletakkannya di tangannya dan menatap ke arah kami. Sorot matanya bersinar penuh gairah.

“Adakah di antara kalian yang benar-benar menyimak gaya bahasa yang digunakan dalam dialog ini? Ini adalah karya terbaikmu, Will, bahkan terbaik di antara karya-karyamu yang lain. Dengarkanlah kalimatnya, sajaknya!” Richard berdiri, dan tak lama suaranya yang dahsyat memenuhi ruangan kedai minum itu.

“To be, or not to be, that is the question...”

Kami duduk mendengarkan dalam diam, sementara suara yang indah itu seolah menghidupkan kalimat demi kalimat yang diucapkannya. Will menatapnya, tersenyum. Ia tahu bahwa Richard, seperti dirinya, jatuh hati pada kalimat-kalimat itu.

“... To die, to sleep–
To sleep–perchance to dream. Ay, there’s the rub.
For in that sleep of death what dreams may come
When we have shuffled off this mortal coil
Must give us pause.”

Apa yang dikatakan Richard Burbage tentunya benar, sebab ternyata para penonton menikmati pertunjukan itu. Mereka menyukai peran Burbage sebagai Hamlet, mereka menangisi kematian Ophelia, dan mereka meneriaki si pembunuh, Claudius, agar mati saja. Kukira, ini adalah karya terbesar Will.


Ayah Will meninggal di bulan September 1601. Pada tahun-tahun terakhirnya, John Shakespeare tampak bahagia. Putranya telah menjadi orang besar, dan keluarga Shakespeare menjadi keluarga terpandang di Stratford. Namun tidak banyak jumlah cucu di keluarga itu. Kakak perempuan Will, Joan, telah menikah dan punya seorang anak laki-laki, tapi lain halnya dengan kedua adik laki-lakinya. Mereka sama sekali tak mempunyai anak.

Susanna, anak perempuan tertua Will telah berusia 18 tahun, dan suatu hari Will berkata kepadanya, “Kami harus segera mencarikan suami untukmu, Susanna.”

Tapi Susanna menggeleng. “Oh, aku tak ingin menikah, Ayah, terima kasih.”

Kami hanya tersenyum mendengar jawabannya, sebab telah ada seorang calon menantu yang sering mengunjungi New Place. Namanya John Hall, seorang dokter yang pintar. Will suka kepadanya.

Di London, teater selalu ramai dipenuhi penonton, dan para aktor menjadi orang-orang penting. Teater Globe dan Lord Chamberlain’s Men bermain sangat baik, sehingga para aktornya mendapatkan uang banyak yang kemudian digunakan untuk membeli rumah dan tanah. Walaupun demikian, masih saja ada yang menganggap mereka sebagai orang-orang yang kejam dan berbahaya.

Will dan aku sekarang menempati sebuah penginapan bagus di Silver Street, Cripplegate, bersama keluarga Mountjoy.

Ratu Elizabeth I wafat tanggal 24 Maret 1603 di Richmond. Aku masih ingat dengan persis hari itu. Seluruh teater ditutup –pertunjukan tidak bisa digelar bila Ratu wafat– dan kami semua berkumpul di rumah Henry Condell. Ia dan John Heminges tinggal berdekatan dengan penginapan Will dan aku.

Kami semua merasa khawatir. Raja baru Inggris adalah James I. Sebelumnya beliau adalah Raja Skotlandia, mempersunting Ratu Anne dari Denmark yang masih belia, serta mempunyai tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Raja yang bagaimanakah beliau? Akankah beliau menjadi raja yang baik? Dan yang terpenting, apakah beliau menyukai drama?

“Jika tidak,” sahut Henry Condell, “habislah kita. Sudah banyak kaum Puritan yang menduduki kursi Dewan Kota London, dan mereka akan senang sekali apabila dapat menutup semua teater.”

Henry selalu melihat segala sesuatunya dari kemungkinan yang paling buruk.

“Well, ia sendiri telah menulis banyak buku juga,” jelas Will. “Mungkin ia akan tertarik juga pada drama. Kita hanya harus bersabar dan menunggu.”

Ternyata kami tidak usah menunggu terlalu lama. Hari itu tanggal 19 Mei. Aku sedang memperbaiki sebuah pintu di lantai panggung yang biasa digunakan untuk tempat keluarnya pemeran hantu dalam kepulan asap. Tiba-tiba aku mendengar langkah-langkah kaki berlarian menuju panggung, membuatku penasaran ingin melihat apa yang sedang terjadi di atas. Ternyata Will, John Heminges, dan Richard Burbage, dengan wajah berseri-seri menatapku melalui lubang pintu itu.

“Dengar baik-baik, Toby.” Will mengacungkan sgulung kertas di tangannya. “Surat dari Raja James! Mulai hari ini, kita adalah The King’s Men! Kita bekerja untuknya, dan ia ingin menyaksikan semua pertunjukan kita!”

“Kita akan mengenakan jas warna merah yang baru untuk pementasan di istana,” tambah Richard.

“Dan,” sela John, “beliau akan membayar kita 20 poundsterling untuk setiap pementasan. Bagaimana tanggapanmu, Toby?”

Kami semua tertawa lega. “Well, John,” jawabku. “Jika kita menjadi kaya begini, bisakah aku mempunyai pintu baru? Aku tak mungkin lagi memperbaiki yang satu ini, sudah terlalu usang.”

Wabah pes kembali menyerang saat musim panas. Sampai bulan Juli, ribuan orang di London meninggal setiap minggunya. Salah satunya adalah anak laki-laki teman Will, Ben Jonson. Dan jumlah itu mencapai hingga 33.000 orang di akhir tahun. Semua teater ditutup, sehingga The King Men’s memanfaatkannya untuk melakukan tur. Will dan aku melewatkan musim panas di Stratford. Sedangkan Raja sedang berada di Istana Hampton Court, di luar kota London, sehingga aman dari wabah tersebut.

“Raja dan Permaisuri yang baru gemar bersenang-senang, Toby,” kata Will suatu hari. “Mereka adalah keluarga yang berbahagia. Pangeran Henry, yang berusia sembilan tahun, adalah seorang anak laki-laki yang manis sekali. Kakak perempuannya, Elizabeth, sangat cantik. Sedangkan si bungsu Pangeran Charles baru dua tahun.” Sesaat ia terdiam. Kurasa ia sedang memikirkan Hamnet. Lalu ia melanjutkan lagi, “Permaisuri Anne sangat menyukai drama. Beliau juga menggemari musik, dan berdansa. Beliau bahkan mempertontonkan kedua kakinya dalam sebuah pesta dansa!”

“Astaga!” komentarku sangat terkejut. “Hal-hal seperti itu tak pernah terjadi saat Ratu Elizabeth masih hidup.”

“Kita hidup di zaman yang berbeda, Toby. Banyak hal yang akan berubah.”

Tapi, perubahan itu berjalan lamban. The King’s Men meraih sukses di satu tempat ke tempat yang lain. Natal 1604, kami menggelar 22 pertunjukan di istana, dan delapan di antaranya ditulis oleh Will. Tahun 1605, ada 13 pertunjukan, 10 di antaranya adalah karya Will.

Kami selalu menampilkannya terlebih dahulu di Globe, sebelum dipentaskan di istana. Will menulis lebih lambat sekarang, namun masih tetap ada beberapa karya terbaiknya : Othello, Macbeth dan King Lear. Drama yang menyedihkan dan menyuramkan. Wanita, pria dan anak-anak di Teater Globe menangis menyaksikannya. Yang memerankan Raja Lear tentu saja Richard Burbage. Ia memang seorang aktor yang luar biasa!

Di tahun-tahun berikutnya, wabah pes masih saja melanda Inggris. Will dan aku lebih sering berada di Stratford pada musim panas. Seperti biasa, Will menulis, dan aku mengurusi bisnisnya. Susanna menikah dengan dr John Hall di bulan Juni 1607, dan setahun kemudian Will mempunyai seorang cucu bernama Elizabeth.

Musim dingin tahun itu benar-benar dingin, sampai-sampai sungai Thames membeku hingga ke daerah Westminster. Adik Will, Edmund, meninggal pada musim itu juga. Usianya baru 27 tahun. Kemudian disusul oleh ibunya yang meninggal bulan September setahun berikutnya.

Kali ini Will menulis naskah drama dengan tema berbeda. Menurut John Heminges, karya Will sekarang sangat suram, kejam, dan ia seolah-olah hanya menilai sisi gelap seseorang. Tapi itu hanyalah satu hal tentang Will. Ia masih terus mencoba jenis baru puisi dan karya dramanya. Dan tak lama setelah itu, muncul jenis drama yang lain lagi, yang penuh dengan tawa, bunga-bunga musim semi, dan percintaan. Judulnya The Winter’s Tale.

Tatkala berada di London, terutama pada malam hari, kami sering mengunjungi kedai minum Mermaid Tavern di Cheapside. Kedai itu sangat bagus, dengan bir bermutu baik. Semua penulis dan penyair di London pernah mampir ke sana.

Suatu malam di musim dingin tahun 1610, sebagian besar teman-teman Will: para aktor dan penulis, mengunjungi kedai itu. Juga tentunya Ben Jonson. Ia adalah rajanya peminum sepanjang hidupnya. Sekarang ia selalu menghasilkan karya-karya yang sangat bagus, namun sayangnya ia tak pernah punya uang sepeserpun. Will yang selalu membelikannya bir.

Pada awalnya, pembicaraan kami adalah seputar Raja James, yang sekarang lebih tertarik pada kuda daripada drama. Lalu Ben teringat sesuatu akan isi cerita The Winter’s Tale. Sebenarnya ia mengakui, karya-karya Will adalah yang terbaik, tapi ia suka sekali mencari-cari kesalahan sekecil apapun darinya.

“Mengapa kau letakkan Bohemia di pinggir lautan, Will? Bohemia letaknya di tengah-tengah Eropa! Tak ada lautan untuk sepanjang ribuan mil, dasar kau bodoh!”

“Karya-karyamu sungguh brilian, Ben,” sela Richard Burbage. “Namun rasa-rasanya berbau buku pelajaran, bukankah begitu, Will?”



Penulis: Jennifer Bassett



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?