Fiction
Via Dolorosa

30 Jan 2015


Papan itu seperti memberi tahu Grace untuk berhenti dan menepi. Di atasnya, tertulis sebuah nama jalan. Via Dolorosa. Jalan kesengsaraan. Tak banyak orang tua yang menggunakan nama itu sebagai nama yang mereka berikan untuk anak mereka.
Grace hanya kenal satu orang yang menyandangnya. Nama itu pertama kali ia baca pada suatu sore di sebuah papan di belakang gereja. Tertulis di antara belasan nama lain, anggota paduan suara di gerejanya yang terpilih mengikuti lomba.
“Oh kamu yang namanya Amazing Grace. Kukira hanya namaku yang serupa judul lagu,” ujar si pemilik nama yang ternyata seorang pria. Grace tersipu sambil menyambut jabatan tangannya.
“Osa,” laki-laki itu menyebut nama panggilannya.
Saat itu mereka baru lulus sekolah menengah atas.
Kini nama itu terpampang pada sebuah papan nama kecil yang tergantung di sebuah tempat tidur pasien. Baru saja dipan itu didorong melintas di depannya. Saking terkejutnya, Grace tak sempat melongok wajah si pasien yang berbaring di atasnya. Ia berdiri tertegun di persimpangan lorong rumah sakit.
Baru beberapa menit lalu ia berjalan keluar dari paviliun seberang, menengok sahabatnya, Sarah, yang sedang dirawat. “Enggak! Aku enggak sakit, kok!” sergah Sarah, menggulung lengan bajunya. Di mata Grace, gadis itu memang tak pernah tampak sakit. Jiwanya sekokoh gugusan gunung yang sering ia tanjak.
“Iya, kamu enggak sakit. Cuma hilang di gunung. Kalau enggak cepat ditemukan, bisa pingsan kelelahan, jatuh ke jurang, atau dipatuk ular,” Tante Nat, mama Sarah, menyahut gusar. Sarah menyeringai lebar pada Grace, yang dibalas kerlingan mata. Grace tahu, meski nyawanya seinci menuju maut, ini tidak akan jadi kali terakhir sahabatnya itu memanggul ranselnya dan menapakkan kaki menaiki gunung.
“Itulah harga yang harus kamu bayar untuk kesenangan semu. Kau contohlah Grace. Sekarang sudah jadi pembawa berita terkenal. Kamu naik gunung terus, mau jadi apa?” Tante Nat terus berseloroh sambil melipat ulang pakaian putrinya, dan memasukkannya ke dalam lemari.
Sarah memutar bola matanya. Grace hanya tersenyum. Tante Nat tak tahu hasrat itu. Letupan serupa kembang api yang terus datang tiap malam, mengajak untuk mengejar mimpi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk mencapainya.

Grace masih berdiri tepekur di koridor, mengingat ucapan Tante Nat. Kini, seakan semesta bahu-membahu menghamparkannya pada ingatan akan harga yang ia bayar untuk mimpinya sendiri. Ragu-ragu, Grace melangkah perlahan menuju ruangan tempat dipan berpapan nama Via Dolorosa didorong. Langkahnya seketika terhenti saat seorang wanita berambut sebahu bergegas memasuki ruangan itu.
Grace bimbang. Cepat-cepat, ia berjalan melintas tanpa menengok ke dalam ruangan itu. Tapi langkahnya kembali terhenti di ambang gerbang pintu rumah sakit. Lalu kaki itu berjalan kembali ke arah semula.
Ia mengokohkan pijakan kakinya, berdiri di depan pintu ruangan yang terbuka. Dua perawat sedang memasang selang infus dan mengatur posisi dipan. Wanita berambut sebahu itu duduk di ujung tempat tidur. Ia menengok ke pintu dan tersentak melihat kehadiran Grace.
“Ya?” tanyanya sambil berdiri.
Grace menatap wanita itu, berusaha agar tak tampak sedang berpikir.
“Saya… Amazing Grace,” ujarnya kikuk.
Wanita itu mengangguk. “Saya tahu.”
     “Marta,” wanita itu menjabat tangannya.
Grace baru sadar tangannya sudah terulur lebih dulu.
“Saya menonton siaran berita Anda   tiap hari,” wanita itu buru-buru menambahkan.
“Terima kasih,” Grace tersenyum.
Matanya sekilas melihat papan nama yang tergantung di tempat tidur. Kemudian dengan cepat beralih ke wajah si pasien yang berbaring di atas dipan. Napasnya sesak.
“Dia… Osa, ya?” Grace bertanya, setengah berbisik.
“Ya. Anda kenal?”  Wanita bernama Marta itu mengangguk kencang dengan tatapan mata takjub. Grace mengangguk, lalu diam. Marta menatapnya, menuntut penjelasan.
“Teman di paduan suara gereja dulu…,” ucap Grace.
Ia mendengar suaranya sendiri yang menggantung, seperti kalimat pembuka dari sebuah dongeng panjang yang mendadak terhenti. 
         “Oh… Kok, dia enggak pernah cerita punya teman hebat,” tukas Marta.
          Grace tidak terlalu mendengarkan.
Ia menatap wajah laki-laki itu lekat-lekat. Mata pria itu masih tertutup. Ada selang di hidungnya, dan balutan di sekeliling kepalanya. Juga pada pundak, dada kiri, hingga ke tangannya. Grace merasa jantungnya seperti terempas.
“Kenapa dia?” ia bertanya kepada Marta, tanpa memandang wanita itu.
“Kecelakaan. Motornya menabrak mobil.”
           “Oh….” Bibir Grace tak mampu mengurai yang terasa di hatinya.
Marta menyorongkan sebuah kursi ke sisi Grace. Gadis itu menolak dan mempersilakan Marta untuk duduk. Tak ada kursi lagi di ruangan itu selain sofabed panjang di sudut ruangan.
“Saya kira dia masih di Australia…,” ucap Grace, setengah bertanya, mencari tahu.
          Marta menggeleng.
“Ibunya meninggal, pekan lalu. Jadi dia kembali.”
          Grace tersentak. Ia kecewa pria itu tak memberi tahunya. Teganya tak ada seorang pun yang memberitahukan kabar itu padanya. Atau barangkali kini sudah tak ada yang tahu nomor kontak pribadinya selain Osa.  Pada satu masa, ibu Osa sudah seperti ibunya sendiri. Kini ia yang merasa lebih butuh tempat duduk.
Pengikut akun Twitter-nya genap 40.000 pagi ini. Mereka rajin mengomentari, menyemangati, juga kadang-kadang mencaci kicauannya. Padahal, yang dibutuhkan Grace dalam hidupnya hanya beberapa orang yang sangat mengenal dan dikenalnya.

***

        Laki-laki itu seharusnya bangun dua jam setelah Grace meninggalkan ruangan itu. Harusnya begitu. Tapi, hingga keesokan harinya, mata itu masih juga tertutup. Jantung Grace berdebar kencang ketika mendengar penjelasan Marta siang itu, saat ia kembali melangkahkan kaki ke sana. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata Marta.
Grace menghela napas agar tak memperlihatkan penampakan serupa. Dengan hati-hati, di atas meja di sisi tempat tidur Osa, ia meletakkan tempat makan berisi bubur ayam yang sengaja ia buat sendiri untuk lelaki itu. Tanpa bawang goreng. Grace masih ingat pria itu tak suka apa saja.
Ia menatap wajah Osa. Alis tebalnya masih sama. Rambutnya kini plontos. Kulitnya lebih gelap. Tubuhnya masih tampak tegap dan sedikit lebih gemuk. Grace ingin membisikkan sesuatu ke telinga Osa, dan berharap akhirnya laki-laki itu membuka mata. Ia rindu melihat mata teduh itu menatap dirinya. Tapi Grace menahan diri.
“Keluarga Osa di mana? Mereka sudah tahu?” ujarnya mengalihkan perhatiannya sendiri dari wajah Osa. Grace tahu persis siapa saja anggota keluarga Osa, sampai ke sepupu-sepupunya. Ia merayakan empat Natal bersama mereka. Tanpa bertanya, Grace tahu, Marta jelas bukan bagian keluarga Osa. Mungkin belum, jika keduanya adalah kekasih. Grace memilih tidak memikirkan kemungkinan itu.
“Kak Maria sedang menuju kemari,” ujar Marta. Wanita itu sepertinya semalaman tak tidur. Rambut tebalnya dibiarkan tergerai tak keruan.
Grace jadi makin gelisah. Ia ingin menunggu hingga mata Osa terbuka, tapi dirinya tak ingin bertemu Kak Maria. Wanita itu menangis saat tahu dirinya dan Osa berpisah. Osa menahan diri berbulan-bulan agar tak memberi tahunya. Entah sudah berapa kali Kak Maria memperkenalkan dirinya sebagai adik iparnya.
“Ini adikku, calonnya Osa. Cantik, ya.”
Grace masih mengingat suara itu. Hingga satu dua tahun setelah mereka berpisah, Kak Maria masih saja mengiriminya cupcake buatannya  tiap kali Grace berulang tahun, dan di hari Natal.
Cupcake terakhirnya adalah tiga jajar cupcake dihias icing berbentuk sosok wanita mirip dirinya dalam sebuah kotak TV. Cupcake itu tiba di meja Grace, sehari setelah wajahnya pertama kali muncul dalam berita prime time.
Grace anak tunggal. Mimpinya memiliki kakak wanita yang penyayang sudah menjadi nyata. Namun kemudian, mimpinya yang lain memaksanya untuk menukar mimpi itu. Grace berusaha menghalau rasa sedih dan tak berdaya saat ia melangkahkan kaki keluar gerbang rumah sakit.

***

Laki-laki itu koma. Ia tidur dalam jeda di antara dua kehidupan. Di sini, tapi tak ada. Akan ke sana, tapi belum tiba. Grace merasa hatinya terbelah. Satu tiupan saja dan kekuatan yang tersisa dalam dirinya akan remuk jadi serpihan.
Sarah sudah diperbolehkan pulang kemarin. Tapi Grace kembali melangkahkan kaki ke rumah sakit itu. Sekuat tenaga, ia menguatkan langkah kakinya menuju ruangan tempat Osa berbaring.
Grace selalu datang saat hari belum siang. Ia menghindari pertemuan dengan Kak Maria yang baru akan datang setelah jam pulang kantor. Lagi pula, petang hari adalah saat ia sendiri sedang bertugas. Sementara gadis itu selalu di sana  tiap pagi. Marta.
    “Ia hanya punya Kak Maria… Dan aku…,” katanya tiba-tiba pagi itu.
Itu dia. Ucapan gadis itu tiba-tiba seperti embusan ringan yang meruntuhkan hati Grace menjadi kepingan. Marta duduk di sebuah kursi di sisi kanan, dan Grace duduk di kiri tempat tidur Osa. Sedetik, Grace ingin bangkit dari kursinya dan mengguncang-guncang pundak Osa. Meneriakinya, kalau perlu, untuk membuatnya membuka mata. Sementara di saat yang sama, ia ingin lari kencang. Merasa tak berhak lagi ada dalam ruangan itu.
    Namun, ia ingin mendengar Osa bicara padanya, sekali saja. Apa pun. Tentang bisnis mainan yang ia rencanakan. Tentang masa kecilnya di boncengan kakaknya, menjajakan kue buatan ibunya. Tentang nama-nama anjing yang sempat ingin mereka miliki. Tentang rumah dengan pekarangan luas yang ingin mereka tanami banyak cabai.
    “Maaf, kemarin bubur ayammu kuberikan pada pasien sebelah. Kasihan, tidak ada yang menunggui,” ujar Marta, sambil berjalan menuju dispenser, menuangkan minuman. Grace hanya mengangguk. Tak sadar Marta sedang membelakanginya, tak melihat anggukan itu.
     Ia memberikan segelas air putih, yang disambut Grace dengan canggung. Hanya ia minum seteguk. Aroma obat-obatan dan cairan antiseptik khas rumah sakit membuat Grace mendadak pening. Ia tak pernah suka berlama-lama berada di sana. 
    “Kamu pernah membaca blog Osa?”
    Grace terkejut, tapi hanya menggeleng perlahan. Matanya mengikuti barisan semut yang menggotong remah roti menuju pintu. Tidak. Ia tidak pernah berani mencari tahu hanya untuk  makin tahu apa yang sudah ia lewatkan.
“Di situ ia seperti menceritakan kesehariannya pada seseorang. Gadis itu ia sebut Schatzi.”
Jantung Grace seperti melesat ke udara.
Semua terjadi seperti skenario yang tinggal dilakonkan. Osa pertama kali menyebutnya dengan panggilan itu saat mereka berdua baru sepekan tiba di Jerman. Berapa persen kemungkinan teman satu paduan suara, mendapat beasiswa yang sama, ke kota dan negara yang sama? Nyaris nol. Tapi, terjadi.
    Semua menjadi lebih ringan karena mereka bersama. Orang tua mereka senang karena keduanya saling menjaga di negeri antah berantah tanpa keluarga. Osa dan Grace adalah keluarga bagi satu sama lain.
    Setelah lulus dan pulang ke Jakarta, Osa mendapat pekerjaan idamannya di Australia. Sesuai rencana, Osa melamar Grace. Rencananya, setelah menikah, mereka berdua akan tinggal bersama di Melbourne. Tadinya begitu. Hingga mimpi Grace yang lain menjadi nyata. Mimpi yang tak sejalan dengan mimpi Osa dan impian masa kuliah mereka.
    Dalam sebuah audisi, Grace dengan cepat diminta menjadi pembaca berita tetap di stasiun televisi impiannya di Jakarta. Gadis itu harus memilih. Osa memintanya memilih. Dan ia memilih.

Kini, sepuluh tahun berlalu, apa yang ia ceritakan pada dirinya di blog yang disebut Marta? Apa alamat blog itu? Grace setengah mati berusaha bersikap tak ingin tahu, padahal gemuruh dalam hatinya mengharap sebaliknya. Namun, setidaknya kini ia tahu, Osa tak pernah benar-benar membiarkannya pergi. Kenyataan yang membahagiakan, sekaligus menyiksanya.


***

Hari ini ulang tahun Osa. Hari kedelapan ia koma. Grace tak pernah perlu mencatatnya pada agenda ataupun alarm pengingat dalam telepon genggam. Sembilan April adalah tanggal yang ia ingat seperti ia mengingat hari lahir ibu dan ayahnya. Seumur hidup, sudah lebih dari sepuluh kali mereka saling mengucapkan selamat ulang tahun, meski tak pernah bertemu. Lebih dari sepuluh kali juga, Osa selalu menutup ucapannya dengan kalimat yang sama: Life is short. Make it fabulous. 
Osa tak pernah tahu betapa berartinya kalimat itu untuk Grace. Kata-kata yang menggerakkan langkah Grace  tiap hari. Membuatnya bersemangat  tiap kali membuka mata di pagi hari. Satu dari sekian banyak hal yang membuatnya selalu menantikan 9 April. Saat ia mengisi ulang energinya untuk setahun ke depan. Saat ia punya alasan untuk menghubungi Osa selain hari Natal dan Paskah. Di 362 hari lain, ia menahan diri.
    Marta belum ada saat Grace memasuki ruangan hari itu. Ia berjingkat mendekati tempat tidur Osa, seakan ia bisa membangunkan laki-laki itu. Rasa haru, sedih, sekaligus bahagia menyergapnya. Ia bahagia bisa berada sedekat itu dengan Osa. Perlahan, Grace memegang tangan Osa. Hangat.
“Selamat ulang tahun, Osa. Hidup ini singkat. Jadikan hidupmu luar biasa,” Grace berbisik. Lidahnya tercekat saat ia mengucap ‘hidup ini singkat.’ Tentu tak sesingkat ini, ‘kan? Tak bisakah ia bangun? Terlalu banyak hal yang ingin ia ungkap. Grace memohon, entah kepada siapa.
    Genggaman tangan itu seketika ia lepas ketika Marta memasuki ruangan, mengucap selamat pagi. Grace buru-buru menyeka air matanya. Marta mendekati Osa dan melakukan persis seperti yang sebelumnya dilakukan Grace. Membisikkan selamat ulang tahun.  Minus mantra penutup yang diucapkan Grace. Lalu hening menyergap keduanya. Mereka kembali duduk di kursi yang sama. Di sisi kanan dan kiri tempat tidur Osa.
Terdengar keributan di ruangan sebelah. Dua perawat pria datang setengah berlari mendorong tabung gas raksasa. Untuk kesekian kalinya, napas pasien sebelah itu hampir terhenti selamanya. Grace mengira-ngira bagaimana ia sendiri akan mati. Dan siapa yang akan ada di sisinya di saat terakhir itu.
     “Jadi kamu wanita yang Osa sebut Schatzi….”
            Kalimat Marta melesat seperti anak-anak panah yang menancap di sekeliling Grace. Membuatnya tak dapat lari sembunyi.  Seketika degup jantungnya sendiri sudah terdengar terlalu riuh untuk diredakan.
“Kak Maria tak sengaja mengucapkannya semalam.”
            Ada hening yang dipaksakan tetap ada.
            “Itu… sudah lama berlalu,” ucap Grace akhirnya, menatap ubin di bawahnya.
           “Lama dan baru itu tidak pernah soal waktu,” tukas Marta. “Seperti juga jarak. Osa tak pergi, tapi juga tak di sini,” katanya lagi. 

           “Kamu lebih memilih mimpimu daripada aku?” Grace masih bisa mendengar suara Osa. Juga  tiap detik dan detail kata yang mereka berdua ucapkan kala itu. Aku ingin keduanya. Itu terlalu egois, ya? bisik Grace dalam hatinya.
“Ujian cinta adalah pengorbanan, dan ukuran cinta adalah tidak mementingkan diri sendiri.” Sepuluh tahun dan Grace masih tak bisa memahami kalimat itu dengan genap.
“Kamu ingin aku mencintaimu dengan mengorbankan mimpiku?”
Ia ingat, pertanyaannya itu membuat cahaya di mata Osa seketika meredup.
“Kenapa bukan kamu saja yang mengorbankan mimpimu demi aku?”
           Osa terdiam.
“Aku akan mencintaimu dengan mengorbankan mimpiku dan kamu akan mencintaiku dengan mengorbankan mimpimu. Dengan begitu akan ada dua orang yang saling mencintai, tapi tidak pernah mengejar mimpi mereka.”
Seumur hidup, Grace tidak menyesal mengucapkan hal rasional yang ia anggap kebenaran itu. Kebenaran yang menikam keduanya. Tapi ia menyesal kata-kata itu menyapu sinar di mata Osa.
“Amazing Grace, jangan lepaskan anugerahmu. Aku juga akan menyandang nama dan menempuh jalanku.” Sinar di mata Via Dolorosa padam dan tak pernah terbit lagi seiring ia melepaskan tangan Grace dari genggamannya.

Grace lekas mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya ketika air mata itu siap mengembang lagi. Perlahan ia menaiki mobil dan menutup pintu.
“Ibu sudah selesai kemoterapi?”
Pak Yahya, sopir pribadi Grace, menatap dirinya dari kaca di atas kemudi. Grace menggeleng.
“Besok saja, Pak,” suaranya serak.
Kanker darah. Sekuat tenaga ia menyembunyikan dua kata itu dari Osa. Dari siapa pun selain keluarga dan orang di rumahnya. Sepuluh tahun ia menjalani pengobatan yang tak pernah menjanjikan kesembuhan. Kadang-kadang ia berpikir kematian terdengar lebih indah daripada penantian akan kematian itu sendiri. Tiap pagi, Grace bersyukur masih bisa membuka mata, sekaligus juga selalu sadar bahwa hidupnya memang benar-benar singkat.
    Separuh hatinya hancur, sementara separuh yang lain lega saat Osa melepaskan tangannya. Saat itu usianya diperkirakan tinggal dua tahun. Ia telah dan selalu memilih Osa dengan mengorbankan mimpinya yang paling berharga. Mimpi mereka berdua. Ia hanya ingin Osa bahagia, tanpa membuatnya bersedih kehilangan dirinya. 
          “Via Dolorosa, jalan kita sebenarnya sama,” bisik Grace, saat mobilnya bergerak meninggalkan pelataran rumah sakit.(f)

***
Lucia Priandarini



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?