Fiction
Ulin [1]

4 Sep 2012


Tambi
Hampir tidak ada yang kusesali dari menjadi tua. Ya, nyaris tidak ada, kecuali satu: kerapuhan fisik yang membuatku merasa bak semak kering. Diabaikan dan mudah terbakar. Oleh siapa lagi kalau bukan mereka.
Orang muda yang tidak punya rasa hormat!
Bagi mereka --anak-anak itu-- kehormatan sangat berhubungan dengan gigi, sementara aku sudah hampir kehabisan stoknya. Jadi, katakanlah aku nenek peyot ompong --silakan! Ejek pula aku buaya renta lemah --lakukan saja!
Tapi, apakah anak-anak itu lupa, atau  makin pandir gara-gara vetsin, bahwa seompong-ompongnya seekor buaya, ia tidak pernah kehilangan semua kekuatannya? Seekor buaya tetap bertuah, demikian pula semua peringatanku tentang kemarahan para ilah1 jika ada yang bermasa bodoh melakukan pali2. Akulah penjaga terakhir adat oloh itah3 di tempat ini. Dan alasan mengapa aku terus berkecumik bukan semata karena gusiku gatal, melainkan kecintaanku yang sangat besar kepada mereka, khususnya Ulin. Salah satu kesayanganku yang pemberontak, keras hati dan semaunya seperti siamang. Yang sedang kupelototi punggungnya saat ini. Cucu yang tak hirau lagi pada neneknya.
 Pastinya ia tahu, aku sudah cukup lama berdiri di belakangnya. Sudah cukup pula menahan sabar untuk tidak mematukkan bisa teguranku sekeras mungkin demi menjaga agar ia tidak  makin menjauh. Tapi.... Dasar anak tidak tahu adat! Kepura-puraan itu sungguh jelas tertangkap, bahkan oleh mataku yang berselaput.
Tungku api di depannya tak lagi nyala. Dari tempatku berdiri, bisa kulihat beberapa ekor kepala haruan di atas piring kaleng rompal dekat kakinya. Ikan-ikan gabus goreng yang melirikku dengan mata putih besar dan mulut setengah terbuka yang seolah sedang terkekeh.
Anak itu sudah selesai menggoreng --aku tahu! Ia juga tidak sedang mengupas bumbu atau menyiangi sayur. Aroma gurih kuah santan kelakai yang mengambang cukup kental di langit-langit dapur mengadu padaku diam-diam.
“Lin, kueh Puti4?”
Akhirnya kuputuskan bersuara. Bertanya tentang cicitku, bukan langsung menegurnya. Aku masih ingin memberi kesempatan, tapi punggung Ulin yang berbalut kaus biru lusuh justru menantangku.
“Tidak tahu,” Ulin menjawab santai, sembari menggedik. Posisi duduknya tidak berubah --aku tidak suka itu! Aku pun mengaum.
“Apa itu?! Siapa yang mengajarimu bersikap begitu?!”
Tersentak punggung Ulin kulihat, tapi hanya sebentar.
“Iyuh, iyuh.”
Lantas terdengar sahutannya yang selirih gesekan batang korek api. Punggung itu mengalah juga. Memutar menjauhiku dengan keengganan awan mendung pada musim hujan. Terus bergerak dengan lamban hingga kepala berkepang satu pemiliknya, yang ingin bersembunyi, menghadap ke arahku dengan merunduk seolah aku memutuskan tumbuh di ujung jempolnya.
“Huk, hukk....” Kubatukkan teguran lebih dari sekali. Berat, Ulin mengangkat kepala. Sinar matanya gemetar menyambut sorot marahku.
“Maafkan aku, Mbi.” Ulin telah mengubah sikap dan nada suara. Ia menjadi jauh lebih sopan --dulu begitulah ia. “Kalau mau menengok Puti, lihat ja di kamar. Ia sedang bermain sendiri tadi.”
“Hmm….”
Kuisap sehela napas panjang dan berat, lantas membawa kakiku menjauhi dapur. Meninggalkan Ulin bersama kekacauan sehabis masak yang entah mengapa selalu dibereskannya berlama-lama; serakan kulit bawang, parang, papan penggilas bumbu, juga baskom bekas mencuci sayur dan ikan yang tergeletak semaunya. Aku pergi dengan dahi berkerut dan mulut mengulum kesal.
Dasar anak-anak zaman sekarang….
Dalam hati, sebenarnya aku masih ingin mengomel tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang bawi5 Dayak yang baik. Jika perlu, kulakukan itu sepanjang hari hingga ia berubah. Tapi, oh... sudahlah! Siapa pun tahu, membengkokkan kayu ulin tidak semudah batang rotan. Kayu keras itu bahkan sulit dipahat --dan aku sudah di ujung letih mencobanya.
Duh, Ranying Hattala Langit! Berilah aku kekuatan di sisa hidup ini.

Mina
Ia datang kepadaku dengan wajah seresah air danau yang diganggu daun jatuh. Bilangnya, harinya sedang buruk. Memang, tidak lebih buruk daripada sebelumnya, tapi tetap saja membuatnya ingin menyendiri sebentar. Alasannya sudah jelas. Ia tidak bisa melakukan semua itu dengan bebas di depan Puti yang mulai pandai bertanya dan berceloteh. Ia bahkan sempat berencana menitipkan anaknya kepadaku, sebelum niat tersebut mendadak berubah. Kini, ia telah kembali ke pondoknya setelah sempat kuhibur. Memang, ia berusaha tidak menyebutkan penyebab hari buruknya, tapi bisa kutebak.
“Tambi kah?”
Ia mengangguk lemah.
Kuusap kepalanya. “Tenang ih, Lin.”
Ia hanya tersenyum. “Mina6 tuh paling tahu,” ucapnya dengan nada kekanakan hingga membuatku  makin sayang, sebaliknya  makin tidak menyukai Tambi. Ketidaksukaan yang mungkin terpancar cukup jelas hingga meluncurlah keluh itu.
“Tadi… Tambi datang lagi….”
Tanpa kuminta, ia membuka cerita dengan kaku. Ekspresi wajahnya melompat-lompat di antara rasa kesal dan tidak enak hati karena orang yang akan dibicarakan keburukannya adalah neneknya sendiri. Meski begitu, ceritanya terus mengalir.
Ia mengaku, sejak tinggal di pondok ladangnya sendiri, kedatangan Tambi untuk sekadar menengok dirinya dan Puti semula dianggap wajar. Dialah satu-satunya cucu perempuan Tambi. Letak rumah mereka pun hanya tersekat beberapa petak ladang. Namun, ia tidak lagi merasa nyaman dengan hal itu akhir-akhir ini.
“Memang kenapa? Tambi ada salahkah?” aku menyela, pura-pura tidak tahu masalah.
Sebagai jawaban, setumpuk gusar yang kutebak telah diperamnya lama langsung meletup. Dan, itulah yang kutunggu-tunggu! Langsung kubuka telingaku lebar-lebar sebagaimana parabolaku membuka kuntumnya. Aku siap menangkap sinyal.
Katanya, Tambi terlalu sering mencampuri urusan rumah tangganya, seolah ia masih bocah bodoh. Sok mengatur tujuan hidup keluarga kecilnya seakan Andau, suaminya, tak mampu pegang kemudi. Tidak hanya itu, setiap kata dan sikapnya pun serba salah di mata Tambi. Tidak ada yang benar. Omelan Tambi juga seolah dijatahkan untuknya. Omelan berujung nasihat panjang-lebar tentang betapa ia harus menjadi istri yang baik agar menjadi kebanggaan Tatu Hiang itah7 atau peringatan ini-itu tentang kemarahan mereka.
“Aku tidak suka disalahkan dan ditakut-takuti, Mina. Sejak Andau bekerja di Kamp, Tambi  makin sering menyerangku. Kata-katanya seperti merica. Kupikir, ia benci melihat kami bahagia.”
Lalu meletuslah isaknya di tengah udara siang yang menyala. Isak yang mungkin akan berlarat-larat, jika tidak segera kuguyuri dengan usapan penenteram hati dan kalimat penghiburan seperti biasa; bahwa Tambi melakukan hal itu karena peduli dan sayang.
“Cinta Tambi untukmu sangat besar, Lin. Dan bukankah ia juga menyayangi Andau? Mungkin, cara menunjukkannya saja yang tidak tepat. Tambi tidak sejahat tuduhanmu --percayalah pada kata-kata Mina. Kau bersabar saja dan berdoa lebih banyak. Semoga Tambi segera berubah.”
Padanya, aku sengaja tidak berucap tentang satu hal. Bahwa keyakinanku atas perubahan sikap Tambi hampir sama dengan meyakini sungai-sungai di hulu akan kembali berlimpah ikan dan emas seperti pada masa lalu.
Sebuah keyakinan yang mustahil terwujud.

Tambi  
Dulu, hampir tidak ada yang mustahil terjadi di hutan ini. Yang masuk akal atau tidak, yang gaib atau nyata, apapun bisa terjadi di depan mata oloh itah yang percaya. Memang, apa yang kulihat tidak sebanyak apa yang diceritakan para orang tua kepadaku, tapi semua itu sudah lebih dari cukup.
Aku percaya pada kata-kata mereka serupa kepercayaan penuh yang diberikan akal kepada mata mudaku saat menyaksikan sebatang pohon damar pakit tiba-tiba memanjangkan lengan rantingnya demi memberi tempat singgah kepada serombongan burung sarindit. Aku juga meyakini ajaran mereka serupa meyakini keampuhan sekeping kepeng kuno dalam mengusir roh jahat. Tapi, sungguh tidak kusangka, seiring lenyapnya pohon damar pakit dan pepohonan besar lain, keajaiban hutan mulai dipertanyakan. Demikian pula kearifan yang ditanamkan sejak masa gunung-gunung kapur masih kuat menyangga langit ikut meluntur.
Tidak perlu kutebar beras merah-kuning untuk memanggil roh leluhur demi melihat betapa penyakit gelisah kronis yang kuidap akhir-akhir ini telah menyebar hingga mencapai Lewu Tatau8. Penyakit yang disebabkan oleh rayap ketidakpercayaan. Rayap yang akan melemahkan para ilah hingga tidak ada lagi rasa segan saat menyebut nama mereka, bahkan mungkin akan menghapus semua oloh itah dari muka bumi. Dan durhakanya, di balik semua itu, akulah yang justru disalahkan.
Kata mereka, zaman sudah berubah. Karena perubahan serupa sapuan cat, maka semua yang dilewatinya harus ikut berubah pula.
“Yang lama harus diganti dengan yang baru, Mbi. Nah, seperti yang ini kan lebih bagus. Bagaimana, Mbi?”
Masih jelas kuingat tanya polos Ulin ketika menyodoriku sehelai baju yang disebutnya daster batik. Aku paham maksudnya. Pakaianku yang sudah hilang warna dan corak dianggap lebih patut untuk lap lampu minyak. Sebaliknya, sepotong baju yang berpenampilan lebih cerlang dan segar adalah sepantas-pantasnya sebuah pakaian. Tapi, memang menarik baju baru itu. Aku hampir jatuh hati. Namun, ketika kelembutan kainnya menyentuh telapakku, kudapati diriku tidak mengucap terima kasih --padahal sekerat hatiku ingin melakukannya. Aku justru langsung mengomel tersinggung sambil mengibas tangan keras-keras. Entah mengapa, kewaspadaanku tersentak. Daster --apa namanya itu-- kuanggap sebagai satu lagi bentuk penyangkalan Ulin atas diriku. Seorang wanita tua beraroma atap sirap lapuk yang gentar pada tiupan kencang angin.
Angin yang menjelma dalam wujud keturunannya sendiri.
Aku yang membesarkan Ulin sejak ibunya meninggal saat melahirkan dirinya dua puluh satu tahun silam. Dengan segala kekuatan sebagai istri peladang dan kasih sayang seorang nenek, aku mendidiknya semampuku. Menaruh harapan besar di atas bahunya. Agar sekuat parang, ia sengaja kutempa dengan tanggung jawab kerja. Kukirim ia ke ladang untuk menebar bibit padi, ke kebun untuk memanen sayur dan buah, ke sungai untuk membersihkan ikan, juga menebas belukar saat membuka lahan. Belum merasa cukup, kutempa pula kekuatan kaki, tangan dan hatinya dengan mengizinkan ikut berburu bersama Bue9 dan Atei ayahnya, sesekali. Dan agar tidak kehilangan arah, rajin kupalas ia dengan dongeng-dongeng dan petatah-petitih kuno. Sebatas ini, aku sudah merasa tenang.
Sungguh, aku sangat berharap Ulin tumbuh menjadi gadis Dayak sesuai harapanku: anak enggang putri naga yang berharga bagi masa depan yang besar. Sayangnya, aku terlambat menyadari bahwa pandai besi termahir sekalipun masih bisa tersakiti oleh senjata ciptaannya.
Perubahan Ulin kutandai dengan makin jarangnya ia berbahasa oloh itah saat berbicara. Jika kutanya mengapa demikian, ia hanya memberi jawaban dalam bentuk senyum sopan permintaan maaf. Padahal, di saat yang sama, kutangkap ada api dalam matanya yang berteriak, “Mana aku ih10!”  Tentu saja, perubahan tersebut ada penyebabnya. Wanita itu, istri Ikoh yang dipanggilnya Mina. Dialah biang racun di balik semua masalah ini.
Sebelum wanita itu datang, kampungku kupastikan berada dalam kondisi yang hampir sama dengan yang kukenal selama delapan puluh satu tahun. Sebuah kampung sebaik-baik tempat tinggal di dekat hulu sungai yang tenang, damai dan berpagar rimba lebat, dengan penduduk yang hidup sederhana dan masih setia pada alam. Tapi, jangan tanya apa yang terjadi ketika ia muncul bersama suami, anak perempuan, dan seluruh barang miliknya yang menghipnotis sekaligus berdaya rusak tinggi itu.
Bencana!
Suasana kampung seketika mengeruh. Kedatangannya mengaduk kedamaian kami dengan televisi dan wajan raksasanya, lemari putih pembuat dingin, panci berlampu, hingga yang paling parah adalah impian menjadi kaya dan berbeda. Tidak hanya itu, aku sangat yakin kalau ia bukan lagi oloh itah, melainkan kaki-tangan orang kota yang dengan senang hati memberi tahu jalan menuju kampung kami kepada mereka. Para pendatang yang muncul belakangan bersama sejumlah mesin besar mengerikan. Mesin yang kelak memperkosa hutan, melukai tanah kami, pun penyebab kematian suami dan anak sulungku.
Apakah Ulin sudah melupakan semua itu --benar-benar sudah lupakah? Jika demikian, lantas bagaimana lagi aku bisa melindungi ia? Melindungi masa depan kami?

Mina
Sore mengintipku sedang menjahit di dekat jendela. Ia beraroma kepala bocah hutan yang puas menjelajah. Hangat, tapi agak lembap. Letih dan sedikit kurang bersemangat serupa daun salam tua. Bersamanya, terbawa pula suara riang rombongan jangkrik. Dari balik rumpun perdu, serangga-serangga itu memulai pemanasan orkes deriknya sebelum pertunjukan utama malam nanti. “Rik, rik, rik!” demikian dalam bahasa jangkrik. Atau, “Cek … Satu, dua, tiga,” begitu mungkin dalam bahasa manusia, seperti yang pernah kulihat di televisi.
Ah, iya… televisi. Sudah cukup lama aku absen melihatnya --kalau tidak salah terakhir tiga bulan lalu. Entah bagaimana nasib wanita muda bermata sembap dalam drama yang rajin kutonton saban balik ke kampung. Entah lagu dan berita apa pula yang terbaru kali ini. Aku benar-benar tidak tahu, dan berusaha tidak memikirkannya hanya karena tidak ada listrik di tempat ini.
Tempat tinggal keduaku yang berjarak lebih dekat dengan ladang.
Pondok peladang.
Pondok peladang adalah kata lain untuk menyebutkan nama sebuah tempat di tengah hutan di mana kau bisa merasa bahagia jika hidupmu dijalani serupa hewan pekerja. Hanya makan, minum, tidur, bekerja, dan berbiak. Tanpa ada hiburan, kecuali bagi mereka yang suka berburu. Tanpa ada cita dan mimpi-mimpi muluk, kecuali bagi tukang batiruh11. Demikianlah kenyataan hidup di tempat ini --aku tidak melebih-lebihkan.
Siapa pun yang bertahan di pondok peladang dipastikan hanya memiliki satu tujuan: berladang. Dan sebagai peladang, harapan tertinggimu hanyalah sebatas berapa kaleng beras yang sanggup dihasilkan ladangmu pada musim panen, juga berapa banyak hasil kebun yang mampu kau simpan untuk kebutuhan sehari-hari.
Apakah kehidupan semacam itu termasuk mengerikan?
Tentu saja kukatakan, “Tidak,” jika kau bertanya kepadaku; mantan istri pencari emas. Asal kau tahu, kondisi tempat bernaung sementara para pencari emas selalu jauh lebih mengenaskan daripada kandang babi. Namun, jika hal tersebut kau tanyakan kepada pasangan muda yang belum lama berladang, aku berani jamin hampir semua akan berkata sebaliknya. Pondok peladang termasuk salah satu tempat yang ingin segera mereka tinggalkan jauh di belakang.
“Tak mau ih aku menghabiskan hidupku di sini. Tak ada kemajuan. Aku ingin pergi ke tempat yang sering kulihat di televisi dan pernah kau ceritakan itu, Mina. Kota.”
Aku berani bersumpah atas nama para ilah dan Ranying Hattala, bukan aku yang mengajari Ulin berpikir demikian. Pun, bukan aku yang menghasutnya. Yang kulakukan hanyalah membiarkannya masuk ke dalam rumahku di Kampung Hulu, bermain bersama anak perempuanku, hingga ikut membantu di dapur sambil mencicipi potong demi potong kisah masa laluku. Dan, seandainya kau kebetulan berada di sana saat mata bocah yang sekurus tebu itu membelalak girang begitu melihat televisi --mengetahui ada dunia lain selain hutan, kebun dan ladangnya-- kuyakin kau pasti akan berada di pihakku. Membelaku dari serangan tuduhan Tambi yang tanpa dasar; bahwa akulah pengacau hidup Ulin dan sumber bencana oloh itah.
Ya, ampun! Ada apa dengan wanita tua itu? Apakah seharusnya kubelikan ia sebuah televisi agar  lebih tahu soal dunia luar dan berhenti berpikiran jelek?
Kuakui, aku dan Tambi tidak begitu dekat. Hubungan kekerabatan kami terjalin tipis lewat pertalian darah antara keluarga suaminya dan suamiku. Jika kukenang-kenang, pertemuan pertama aku dan Tambi memang tidak berjalan baik pula. Kami sekeluarga datang begitu tiba-tiba ke rumahnya hanya untuk berkata, “Permisi, kami pemilik seperempat tanah yang telah kau jadikan kebun itu. Terima kasih sudah merawatnya. Sekarang, izinkan kami mengambilnya kembali.”  Selain itu, entah mengapa Tambi tidak suka melihatku dekat dengan cucu perempuannya.

Cerita Selanjutnya  >>>>

Penulis: Anindita Siswanto Thaif
Pemenang I Lomba Mengarang Cerber Femina 2012





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?