Fiction
Ulang Tahun Ayu [1]

30 Aug 2015


NUNIK menyambut kedatangan Debbie di satu hari cerah di bilangan Tanah Mas, Jakarta Timur. Mereka berkenalan dengan mesra dan saling berjabat tangan. Ada tujuh perempuan hadir siang itu untuk makan bersama merayakan ulang tahun Ayu yang kebetulan sedang berada di Ibukota. Jarang-jarang mereka bisa berkumpul seperti ini. 

Sandra, nona rumah, adalah pegawai PBB yang sudah lima tahun tinggal di Jakarta, perempuan supel dan pergaulannya luas di banyak kalangan dan usia karena mencintai obrolan tak resmi anak-anak negeri ini yang gelisah dengan kehidupan mereka. Mantan suaminya seorang profesor yang cukup dikenal publik Tanah Air. Anak perempuan semata wayang masih sekolah di luar negeri. Dua kali setahun keluarga kecil ini –lengkap dengan mantan suami dan istri barunya, bertemu di rumah orangtua Sandra di Manila untuk makan Paskah dan makan malam Natal.  

Empat perempuan duduk di ruang televisi ramai membicarakan sesuatu ketika Debbie muncul. Ruang tamu selalu terasa luas karena pembatas dengan beranda luar seluruhnya bening kaca. Sesekali Queen, anjing rumahan jenis border collie berbulu krem putih kesayangan semua orang, berjalan di antara mereka, melesakkan tubuhnya ke kaki-kaki para perempuan, lalu dengan malas naik kembali ke peraduan --salah satu kursi di sana-- yang dikhususkan sebagai kekuasaannya.  

Sebagai pendatang terakhir, Debbie bingung menentukan apakah akan langsung bergabung ke empat kawannya atau sekadar membantu Nunik -wajah yang baru ia kenal-- yang kedua tangannya sibuk bergerak meski pakaiannya longgar melambai dan serba putih, atasan lengan panjang dan celana panjang lebar. Rambutnya cepak, berwarna cokelat tembaga, kontras dengan kulitnya yang putih bersih.

Kedua tangan Nunik bergantian mengelap meja kaca yang Debbie tahu tidak pernah tidak cemerlang. Mulutnya memerintah Sarah dan Yohana, dua nona asal Kupang, asisten Sandra di rumah, untuk melakukan ini-itu seperti membawa piring-gelas-peralatan makan di atas meja dengan hati-hati, menempatkan makanan di meja dengan aturan yang benar, memeriksa apakah nasi di rice cooker sudah matang karena semua orang lapar dan jam makan siang sudah lewat. Ia bertindak seolah-olah kedua asisten melakukan sesuatu yang membuat acara siang itu terlambat!

Debbie mengabaikan sikap Nunik yang dirasanya berlebihan karena ia merasa Sandra atau Ayu ada di balik semua kesibukannya.   
 Meja makan kaca enam kursi dihiasi keindahan hidangan besar ayam betutu, ayam goreng lengkuas (bagi yang tak suka pedas), lalapan segar, sambal matah, emping, dan segala peralatan makan. Ayu mengobral kata bahwa ia bangun pukul enam untuk mengupas banyak bawang merah yang dianggapnya penting dalam mencipta rasa dan aroma ayam betutu yang ia inginkan. Selama dua menit matanya pedih luar biasa dan berair karena pengaruh asam sulfurik yang keluar dari bawang. Nunik menyela dengan nada prihatin, berkata bahwa seharusnya Sarah dan Yohana melakukan tugas itu sehingga Ayu terhindar dari rasa nyeri.

“Bukan begitu, Nik. Di dapur ibuku, aku biasa bekerja sendirian. Saat perayaan-perayaan, aku meminta semua orang keluar dari dapur. Aku kerjakan semua tepat waktu,” ralat Ayu, serius.
Di ujung meja, sepiring sam can –bagian babi yang terdiri dari daging, lemak yang berwarna putih, kulit berwarna kecokelatan, menggiurkan. Di sisinya tergeletak sepiring kecil sambal hijau pucat, campuran cabe rawit hijau, kemiri bakar, dan kucuran jeruk nipis.
“Itu makananku!” seru Ayu, mengisap kreteknya dengan nikmat, ketika dilihatnya Endah mendekatkan wajahnya mengamati hidangan itu, close-up, “Babi panggang. Pasti Debbie yang bawa dari Lapo di Pramuka. Dia tahu aku tak bisa makan masakanku sendiri, kecuali nanti-nanti. Jangan khawatir, Endah. Semua di rumah ini halal, kecuali babi dan piring itu. Nanti kubersihkan.”

Endah seperti tak peduli mendengar penjelasan Ayu. Nunik menggumam bahwa daging babi berbahaya dikonsumsi perempuan-perempuan sebaya mereka karena lemak jahat yang akan menyebabkan mati mendadak. Semua tertawa kecil mendengar alasan itu, termasuk Sarah dan Yohana yang mencuri dengar dari pintu dapur.

Putri, satu-satunya yang berjilbab di antara mereka, seorang fotografer kuliner pro, menarik kamera DSLR Canon-nya, mengarahkan kameranya ke segerombolan potongan babi panggang yang manis itu sambil menarik piring kecil sambal hijau-hijau, dan memotretnya dua kali –klik, klik, seakan-akan itu sasaran potret paling mengesankan di antara mereka. “Aku upload di Instagram, biar para pemakan babi ramai berkicau.”  
 “Apa lagi kurang? Kapan kita mulai makan?” tanya Sandra dengan bahasa Indonesia yang aneh.
“Tunggu, Yo sedang menyendok nasi,” jawab Nunik dengan suara rendah.
“Aduh, kita tak makan nasi di sini. Cukup ayam betutu, ayam goreng lengkuas buatan Nona-nona dari Kupang, dan babi panggang ini!” seru Mona, perempuan Manado yang berkulit gelap, sambil mengembangkan kedua tangannya seolah ingin menangkup lebar meja.  
Nunik memuji batik megamendung Cirebon yang dikenakan Debbie namun mengkritik warnanya terlalu terang (kuning) dan motif terlalu besar sehingga membuat si pemakai tampak lebih tambun, namun diakhiri pujian, “Feminin sekali.”
Debbie memendekkan lehernya, tersenyum malu, setelah Ayu berkata, “Dia juragan batik, Nik.”  
“Oya? Orang Batak jualan Batik?” Nunik tergelak.
“Jangan salah. Dia Batak palsu yang sedang belajar bikin arsik. Lahir dan besar di Bandung. Dengar sendiri logat Sundanya,” kata Endah sambil menumpuk dua potong ayam betutu ke piringnya lalu menutup dengan beberapa emping lebar dan sambal matah. Setelah itu wajahnya tampak bahagia. 

Matahari bersinar terik di luar. Ayu mendorong pintu kaca dekat ruang televisi yang menuju beranda luar dekat kolam renang, duduk di satu kursi dan meneruskan merokok. Di atas meja sudah ada lima botol bir untuk dinikmati mereka nanti-nanti. Nunik meminta Sarah dan Yohana makan belakangan karena siapa tahu mereka membutuhkan bantuan.

“Tidak!” seru Sandra sambil menoleh ke arah Nunik, berkata mereka biasa makan bertiga di meja makan, lalu memandang Yohana dan Sarah, mengangguk.
Nunik melongo, menyadari kesalahannya, berkata, “Oh.”
Endah, Mona, dan Putri mengikuti Ayu duduk melingkari meja kayu bundar dekat kolam renang. Udara hangat membuai karena semalam hujan. Dedaunan pohon belimbing yang rindang di ujung kanan bahkan masih basah berembun. Sandra ikut duduk, tetapi hanya bertahan sepuluh menit karena keringat tumbuh dengan cepat di dahi dan alisnya.
Ia bangkit, baru saja melewati pintu, melihat Nunik sedang mengarahkan remote control ke arah AC, ia berteriak, “Don’t!”
Nunik kaget mendengarnya, memandang Sandra, bertanya, “Kenapa?”
Tak perlu Sandra menjelaskan karena sekarang AC mati. Setelah itu barulah dia menjelaskan bahwa AC sedang bermasalah dan tukang AC baru akan datang lusa. Keringat membanjiri seluruh tubuh Sandra karena kemeja katunnya menjadi basah. Ia meletakkan piringnya di meja kemudian masuk kamar tidurnya yang sudah pasti bersuhu sejuk.
Di beranda Mona melempar isu hangat soal penyair senior yang sedang ramai dibicarakan, menghamili mahasiswi satu universitas terkenal tetapi ia mengaku bahwa itu dilakukan atas dasar suka sama suka. 

Nunik yang bergabung di sini, mencibir kelakuan si penyair dan berkata tajam, “Semua laki-laki itu kucing yang tidak tahu bertanggung jawab.” Semua orang menekuni isi piring masing-masing, pura-pura menikmati makanan yang sebenarnya memang ingin mereka nikmati. Ayu bangkit meninggalkan tempat duduknya menuju meja makan, mengambil piring kosong, menaruh nasi putih hangat dan sam can sambal hijau, lalu duduk di meja makan. Ia tak peduli soal mahasiswi hamil. 

Nunik berkata bahwa seks adalah pembicaraan paling menarik seantero dunia. Dia mengatakan, misteri seks yang tak dapat dijelaskan secara gamblang di antara sepasang kekasih atau suami-istri. Ada suami-istri yang berkelahi setiap hari tetapi bertahan tujuh tahun menikah karena alasan cocok di ranjang. Ada pasangan yang merelakan pasangannya berselingkuh karena tidak peduli seks.  
Ayu menguping, dan ia berteriak, “Jangan bicara seks di depan Debbie. Dia fundamentalis religius!”

Suasana ketawa pecah di ruang beranda kolam. Sandra keluar dari kamarnya dengan wajah nyaman dan kemeja katun baru yang kering. Ia mengambil piringnya, meneruskan makan duduk di dekat televisi. Di beranda Nunik berkotbah bahwa agama-agama di dunia telah berhasil mencuci otak umatnya untuk berpikir bahwa seks adalah kotor dan berdosa. Menurutnya seks sesuatu yang normal dan alami sehingga harus disalurkan dengan cara-cara tertentu, bukan malah dilarang dan diancam neraka.

Debbie mengunyah makanannya, sesekali mengawasi mulut Nunik yang bergerak buka-tutup seperti ikan maskoki. Dahinya mengerut. Ia menyendokkan makanan ke mulut dan langsung ditelan.
Nunik bercerita dan enam perempuan lain mendengarkan. Ia berumur dua puluh dua tahun, mahasiswa tingkat satu di universitas di Jawa Timur, ditaksir oleh asisten dosennya yang pintar. Suatu sore, tubuh laki-laki itu mendesaknya ke satu sudut yang sunyi di perpustakaan kampus dan menekan dadanya. Sampai sekarang ia masih bisa merasakan napas laki-laki itu di lehernya. Ia mendorong laki-laki itu ke belakang dan berlari meninggalkannya tanpa berbicara sepatah kata pun.

Setelah itu ia bertemu laki-laki mengesankan yang berbicara di mimbar setiap hari Jumat. Mulut lelaki itu berkata setiap umat harus memelihara tubuhnya karena tubuh adalah milik Tuhan. Tetapi terdengar kabar, laki-laki itu dipaksa menikahi gadis yang kulitnya bersih dan putih seperti porselen dan tidak bisa berkata huruf r, dan di perutnya berkembang janin dari benih si laki-laki.

Di ujung masa kuliahnya, ia berkenalan seorang  laki-laki hitam manis bermata lentik. Ia anggota sebuah perkumpulan doa di satu gereja kecil yang kebanyakan umatnya perempuan. Ia seorang yang sopan, dicintai umat dan diajak kelompok perempuan tengah banyak yang berdoa ke mana-mana, dan dia menjadi supirnya. Di kelompok itu ada seorang  bernama Nio. Ia masih lajang tetapi usianya lebih 40 tahun. Wajahnya cantik dan ia seorang pengusaha es krim. 

Satu kali ia berkata kepada si laki-laki hitam manis, berkata bahwa beberapa hari ini ia berdoa meminta jodoh kepada Tuhan dan Tuhan memberitahunya bahwa ia adalah jodohnya. Laki-laki hitam manis hanya tertawa kecil. Tidak seorang pun tahu bahwa dia seorang homo dan mempunyai pacar laki-laki tetapi memanfaatkan perempuan yang merasa mendapat wahyu dari Tuhan itu, dengan menerima hadiah-hadiah darinya.  
“Aku hanya mau katakan bahwa tidak satu alasan pun bagi kita untuk memercayai laki-laki. Semuanya musang berbulu domba!”

Sandra mengusap dahinya berulang kali karena mulai kepanasan. Nunik menuju meja makan, mengambil beberapa mentimun dan mendengar ada ribut-ribut kecil di dapur dekat garasi. Ia mengatasi apa yang sedang dihadapi oleh Sarah dan Yohana. Kemudian terdengar Mona berteriak dari kolam, “Ada Herman dan Joni di depan! Sarah, tolong buka pintu.”

Sarah berlari-lari kecil ke arah kolam renang, berkata kepada Mona, “Kak Mona, Om Herman dan Om Joni sudah pergi tadi.”
Mona berdiri karena merasa harus bertindak sesuatu. Juga Debbie. Herman dan Joni adalah pacar-pacar mereka. Sebentar lagi tentu akan datang Dicky dan Asep, pacar-pacar Putri dan Endah. Setelah makan dan ngebir, mereka berencana nonton musik di Hotel Shangri-La.

Semua orang berdiri dan mengatasi masalah-masalah kecil yang perlu diatasi agar siang itu terlewati dengan lancar. Nunik menyelesaikan makan siangnya dengan tenang sebelum akhirnya pamit kepada perempuan-perempuan di sana ketika waktunya minum bir dingin. Empat laki-laki sudah tiba dan sibuk menghabiskan ayam betutu dan ayam goreng di meja makan, emping dan sambal.      

Yo mengunci gembok gerbang setelah berkata, “Hati-hati di jalan, Kak Nunik.”
Di dalam rumah, Sandra bertanya kepada semuanya, “Siapa dia?”
Tidak ada yang bergerak. Lalu ia memandang Ayu, yang dengan segera mengangkat bahu, menjawab, “Aku pikir dia kawanmu tadi.” 

Sandra mengibaskan tangan kedua tangannya sambil memainkan kedua matanya seperti bilang, “Capek, deh”, dan melengos masuk ke kamar karena dahi dan lehernya tampak mengilat karena keringat. Ayu mengaku ia bertemu Nunik dua hari lalu, di hari pertunjukan monolognya. Ia tidak tahu apa-apa tentang perempuan yang baru dikenalnya itu, yang bersikap amat ramah kepadanya seperti mereka sudah saling kenal selama tujuh tahun.(f)



*********
Ita Siregar




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?