Fiction
Topeng Gulur [1]

30 Sep 2015


ANGIN SAWAH BEREMBUS RENDAH. Pancang-pancang obor yang mengelilingi serupa nyala lilin dari kejauhan, berbentuk lingkaran. Lidah obor kadang menyorong ke kanan dan ke kiri digiring angin. Asap mengepul kehitaman.

Riuh sorak-sorai terdengar semarak di antara tabuhan gendang, gong, tiupan trompet dan seruling. Langit berhias bintang serupa manik-manik kecil di gaun pengantin.
Tiga penari mengenakan rompi dan berkalung bunga dan bertopeng merah menyala, menari lincah di tengah-tengah lingkaran pancang obor. Penabuh musik mengeliling dalam lingkaran obor.

Saronen(1) melengking menusuk telinga. Menembus sunyi malam.
Wajah warga membinar terbias cahaya obor. Tiga penari bertopeng mengentakkan kaki tiga kali. Bersamaan. Gelang gungseng(2) yang melingkari pergelangan kaki si penari bergemerincing nyaring. Gerak mereka lincah mengikuti irama saronen. Menari dengan gerakan-gerakan ritmis: menjongkok, duduk, dan berdiri mengentakkan kaki berkali-kali, lalu bergulur-gulur di tanah. Rambut palsu yang panjang tergerai berkibas-kibas. Kalung bunga di dada mereka bergoyang-goyang. Anak-anak seketika menyembunyikan wajah ke ketiak ibunya begitu wajah topeng sang penari yang bermata mendelik serupa sapi disembelih melongok ke arah mereka, seolah sengaja memelototi. Menakut-nakuti.

Malam kian semarak. Sorak-sorai kian meriuh saat penari bergulur-gulur; sebuah gerakan menyatukan diri dengan bumi sebagai simbol mengagungkan Sang Maha Pemberirezeki, Maha Penurunhujan. Di wajah pengunjung, harapan membuncah akan datangnya hujan sebentar lagi. Tanah berkapur akan senantiasa subur hingga sawah bisa diolah dan tanaman berpanen makmur setelah digelarnya ritual topeng gulur(3).

Oh, turunlah, wahai hujan…
Duduk di antara penabuh musik, Muraksah mengisap batang rokoknya dalam-dalam seraya tak lepas mengamati para penari.
Malam terus merayap. Angin menukik. Nyala obor menjilat-jilatkan lidah ke samping. Para pengunjung tidak ada yang beranjak. Lengking saronen  makin menusuk, merobek sunyi memanggil hujan.
Angin berembus kencang. Nyala obor menyorong sebentar. Kembali tiga penari bergulur-gulur, lalu bangkit dengan gerakan cekat. Mengentakkan kaki ke tanah berkapur sebanyak tiga kali. Gelang gungseng bergemerincing nyaring.
Melihat lincahnya gerakan penari dan antusias warga, Muraksah tersenyum lebar. Senyum penuh kemenangan. Muraksah yakin, tidak akan lama lagi akan turun hujan.
Semula, banyak yang meyakini, kemarau memanggang, bumi terbakar dan hujan enggan bertandang karena ada perawan mengandung.  Bumi terpanggang dari dosa-dosa pelaku zina.

Tahun kemarin, Suminah yang baru  pulang dari Arab Saudi setelah lima tahun menjadi TKW ternyata pulang bersama janin di perutnya. Entah siapa bapak si janin, Suminah menggembok mulut. Bisik-bisik orang pun menyebar; kemarau panjang mencengkeram karena Suminah mengandung anak jadah.

Tahun sebelumnya, Surati, anak tunggal Sujamin yang tuna akal dan tidak bisa bicara tiba-tiba berperut buncit dan payudaranya menggembung besar. Benar saja. Ketika ibunya memeriksakan Surati ke dukun beranak, sang dukun menyatakan bahwa Surati bunting enam bulan. Ibu Surati mengurut dada dengan tangis tertahan, “Poraalla, poraalla (4)”.
Kabar mengenai buntingnya Surati cepat meluas secepat abu kemarau yang diterbangkan angin kencang. Orang-orang merasa prihatin akan nasib Surati. Apalagi, perawan malang berusia 15 tahun itu  tampak bingung saat ditanya paksa oleh orang tuanya, siapa lelaki yang telah meniduri? Dan, tahun itu, kemarau pun membengis hingga banyak tanaman dan ternak mati kekurangan air minum. Orang-orang  makin yakin kalau perawan bunting memperpanjang usia kemarau.

LALU….
“Anak perawan siapa yang hamil di luar nikah tahun ini?” tanya Munajid suatu sore, di serambi rumah Muraksah.
“Hujan tidak turun-turun karena kita tidak menggelar topeng gulur! Bukan karena ada perawan hamil!” Muraksah menyanggah keras pertanyaan Munajid yang tengah mengobrol dengan Surakkab meresahkan kemarau yang begitu beringas.
Munajid dan Surakkab menoleh dan tidak menyadari sebelumnya akan kehadiran Muraksah yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka. Munajid dan Surakkab segera menyalami tuan rumah penuh takzim.
“Jangan mencari perawan hamil kalau kemarau memanggang bumi. Tapi ingat-ingatlah, sudah berapa lama topeng gulur tidak digelar?” Muraksah bertanya sebelum menanyakan maksud kedatangan dua tamu ke rumahnya.

Munajid dan Surakkab saling tatap. Sudah tiga kemarau topeng gulur tidak pernah digelar. Tepatnya, sejak kedatangan Keh Sakduh, sang kiai muda yang baru berdukuh ke kampung itu. Ritual topeng gulur diganti dengan pelaksanaan salat istisqa’(5) atas anjuran Keh Sakduh. Tentu saja Muraksah berang. Sebagai tetua kampung, Muraksah selalu dijadikan ketua pergelaran topeng gulur. Muraksah memiliki pengaruh kuat di kampung itu. Muraksah juga menjadi tempat rembuk dan sering dimintai petuah oleh warga. Ketika ada orang hendak mengawinkan anaknya, ia meminta hari baik pada Muraksah. Ketika ada orang hendak membangun rumah, ia meminta petunjuk arah/hadap rumah dan letak pintu dan hari baik untuk meletakkan batu pertama. Namun, sejak kehadiran Keh Sakduh, Muraksah merasa tersisihkan karena orang-orang lebih tunduk pada apa yang dianjurkan Keh Sakduh. Termasuk mengenai topeng gulur yang diganti dengan salat istisqa’. Hanya sebagian orang, termasuk Munajid, yang masih menaruh percaya pada Muraksah.

“Coba perhatikan, adakah perawan yang mengandung anak jadah tahun ini?” Muraksah bertanya lagi dengan mimik serius dan kepala dimajukan. Kedua alis Muraksah terangkat seolah ingin membangunkan kesadaran dua lelaki di depannya.
Surakkab dan Munajid kembali menukar tatap. Muraksah menarik punggung. Abu di ujung batang rokok dijentikkan ke mulut asbak yang terbuat dari bambu.

“Nyatanya, hujan tidak turun-turun, ‘kan?” Sudut bibir Muraksah melengkung. Sebelah mata lelaki itu memicing sebentar, melirik Surakkab dan Munajid bergantian.
“Memang tidak ada kayaknya,” sahut Munajid dengan nada ragu.
Seorang perempuan baya datang membawa nampan berisi tiga cangkir kopi dan sepiring pisang goreng yang masih mengepul. Munajid sedikit kecewa karena bukan Marinten, anak perawan Muraksah, yang membawakan kopi.

Marinten paling cantik di antara saudara-saudara perempuannya. Sayang sekali, meskipun sudah cukup umur untuk menikah, Marinten belum menemukan jodohnya karena Muraksah selalu menolak lelaki yang datang melamar. Padahal, teman sebaya Marinten banyak yang sudah punya anak. Terakhir, Muraksah menolak lamaran Arsap, anak Maksar. Siapa yang tak kenal keluarga Maksar? Keluarga kaya yang menjadi pembeli tembakau kala musim.
Arsap dan Maksar marah besar begitu lamarannya ditolak. Mereka merasa terhina. Apalagi sebelumnya mereka yakin lamarannya akan diterima. Desas-desus dari mulut ke mulut, katanya Muraksah menginginkan menantu alim yang bisa menandingi Keh Sakduh.

Kalau sore itu Munajid nekat bertamu ke rumah Muraksah dengan maksud melamar Marinten untuk keponakannya, tak lebih karena ia sudah merasa terjepit didesak tiap waktu oleh keponakannya itu.
“Makanya! Kita harus menggelar topeng gulur! Bukan malah sibuk mencari perawan bunting,” suara Muraksah mengentak keras.
Sore itu, dengan menggebu-gebu Muraksah menanamkan keyakinan di dada kedua tamunya. Untuk sementara Munajid melupakan maksud kedatangannya ke rumah Muraksah. Dengan niat mengambil hati Muraksah, Munajid dan Surakkab pulang mengajak orang-orang agar kembali menggelar topeng gulur. Siapa tahu, dengan cara itu Muraksah akan menerima lamaran Munajid untuk keponakannya nanti.

Karena tidak ada seorang perawan pun yang hamil, sementara kemarau makin mengeringkan meskipun salat istisqa’ sudah hampir sebulan dilaksanakan, akhirnya warga banyak yang sepakat topeng gulur kembali digelar.
Maka, pada malam itu, topeng gulur pun digelar dengan meriah, di tengah sawah. Wajah Muraksah tampak semringah menyaksikan tiga penari bertopeng dalam lingkaran pancang obor dan para pengunjung yang mengeliling rapat. Muraksah tidak sadar ada dua pasang mata memperhatikannya dari kejauhan. Bibir kedua orang itu menyungging sinis.


MATAHARI MENYENGAT BENGIS. Menampar-nampar kulit hingga terasa diusapi cabai. Debu-debu beterbangan menebar hawa panas. Tidak ada mendung mengapung, meskipun setipis kabut yang berembus dari ujung rokok Muraksah. Lenguh sapi-sapi dari kandang warga terdengar silih berganti menyepakati teriakan haus yang mencekik leher mereka. Apalagi yang mereka makan tak lebih dari kulit jagung yang dibasahi sedikit. Tentu terasa sepat. Dahan-dahan jati gundul setelah daun-daunnya berguguran.

“Kenapa hujan tidak turun juga?” tanya Munajid, entah ditujukan pada siapa. Pertanyaan Munajid seolah mewakili pertanyaan orang-orang yang disemburkan padanya tiap kali berpapasan atau kebetulan berjumpa di masjid dan di warung kopi. Embusan angin kencang mengepulkan debu-debu dari taneyan lanjang.
“Iya. Padahal sudah sepekan lebih topeng gulur digelar,” Surakkab menimpali.
“… dan  hujan tidak turun juga,” sambung Munajid.
Muraksah mengisap rokoknya dalam-dalam. Tidak menyahut dan bahkan tidak mendengar apa yang dibicarakan dua lelaki di depannya. Pikiran Muraksah berputar-putar seperti baling-baling ditiup angin. Wajah Muraksah kusut. Sejak semalam Muraksah berusaha memadamkan kobaran kemarahan di dadanya. Lelaki itu bingung harus ke mana menyingkirkan Marinten, anak perawannya yang tadi malam mengaku hamil tiga bulan, agar hujan lekas datang dan pergelaran topeng gulur tidak sia-sia. Atau, apa yang harus diganjarkan pada keluarga Maksar yang telah menimpuki tinja ke wajah keluarganya? Apa?
Tangan Muraksah mengepal keras.(f)

**********
Muna Masyari



Catatan:

1) Saronen: Musik khas Madura.
2) Gelang gungseng: Gelang yang terbuat dari bulir-bulir kuningan sebesar bola pingpong, dan berisi sesuatu di dalam. Jika digerakkan menimbulkan bunyi gemerincing.
3) Topeng gulur: Seni ritual yang digelar untuk mensyukuri hasil tani atau memanggil hujan.
4) Poraalla, poraalla: Astagfirullah.
 5) Istisqa’ : Salat untuk memohon turun hujan.






 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?