Fiction
Topeng [9]

19 Apr 2012


<<  cerita sebelumnya

Ibu duduk sendiri di kamar. Bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi pada kalian, anak-anakku? Mengapa yang satu menentangku, yang lain berbuat sekehendak hati? Apa yang salah yang telah kuperbuat sehingga kalian tega melakukan ini padaku? Kalian tak akan pernah tahu sakit hati ini melihat putri sulungku hamil muda, padahal belum menikah. Masih kurangkah pendidikan agama dan moral yang kuajarkan pada kalian?

Di hadapan kalian aku memang berusaha bersikap tegar. Aku tak mau kelihatan lemah. Bukan karena gengsi. Aku hanya berharap, dengan begitu aku dapat selalu menguatkan kalian, dan mengajarkan sedikit tentang kesabaran, kepasrahan dan sikap nrimo pada setiap kehendak Gusti Allah.

Aku menerima suami Niras sebagai menantuku, bukan karena tak ada pilihan lain, tapi karena aku belajar pasrah, serta mensyukuri keadaan. Mungkin, memang inilah jodoh yang diberikan Tuhan untuk Niras. Yang membuat aku menangis di dalam hati hanyalah cara Niras mendapatkan pasangannya. Ia benar-benar mencoreng aib di mukaku.

Baru selesai yang satu, putriku yang kedua sudah siap dengan masalah baru. Kali ini pun soal pria. Duda cerai beranak satu. Kenapa memilih kekasih seperti itu? Aku tak percaya
tak ada pria lajang yang menaruh hati padamu. Kamu bisa mendapat yang lebih baik.

Karena dia pula, kamu berani menentangku. Nada suaramu begitu tinggi. Matamu memandang berapi-api. Seolah kamu lupa siapa yang tengah kamu hadapi. Ini aku, ibumu sendiri. Sebelumnya kamu tidak pernah begitu. Kamu anakku yang paling manis. Tapi, kamu mulai berubah.

Kalau boleh jujur, aku kecewa. Kalian ternyata begitu lemah. Amat mudah terbius karisma pria. Aku selalu mengajarkan untuk tidak mudah tergoda kaum adam. Tapi, kini kalian malah hampir seperti tak punya harga diri. Apa yang kalian cari dari para pria itu? Kekayaan? Benarkah hanya materi? Bila ingin kaya, kenapa kalian tak mau usaha sendiri?

Aku sedih. Aku letih. Telah kudidik kalian dengan penuh kesabaran dan kasih. Kenapa kalian tega mengecewakan aku? Padahal, aku telah susah-payah membanting tulang. Seorang diri. Sementara ayah kalian cuma duduk tenang-tenang. Hatiku jauh lebih sakit daripada sewaktu ayahmu mengecewakanku dulu. Kalian darah dagingku. Tapi, kenapa tak ada satu sifatku yang menurun? Semuanya mirip ayah kalian. Tak bisa bergaul, pemalas, tak punya daya juang.

Tak pernah ada maksudku untuk mengekang. Sekalipun kini mengecewakan. Tapi, aku, ibumu, akan selalu ada untuk kalian. Tak akan pernah satu kali pun kutinggalkan kalian sendirian.

Aku tak suka mendengar suara Ibu yang mengatur. Dari dulu Ibu begitu. Tak pernah membiarkan kami memilih sendiri. Seolah Ibu tak rela kami jadi dewasa. Aku mencintainya, Ibu. Dia pria pilihanku. Aku tak ingin minta apa pun, selain doa dan restumu. Tapi, mengapa sepertinya sulit sekali untukmu? Aku bukan sengaja ingin menentangmu. Aku hanya berusaha mempertahankan pendirianku. Belajar berjalan tanpa harus dituntun terus olehmu.

Ibu pernah berkata, kehidupan ini begitu berat. Karena itu, kita harus kuat. Tapi, bagaimana bisa kuat, bila tak pernah merasakan menjadi lemah. Ibu bahkan tak mau kami jatuh, karena takut kami sakit. Seandainya Ibu tahu, sejak kecil aku hanya punya satu cita-cita. Bukan menjadi dokter. Insinyur. Atau, bahkan profesor. Aku hanya ingin hidup bebas. Merdeka.

Jangankan begitu, untuk bergaul dan mencari teman saja aku hampir putus asa. Semua karena sikap Ibu yang selalu membelenggu. Aku malu. Bahkan, aku kalah mandiri dari seorang anak berumur lima tahun. Aku ingin bebas. Ingin belajar berekspresi. Mencoba jadi diri sendiri. Bukan selamanya jadi boneka Barbie. Yang dielus-elus dan dipajang di tempat yang rapi.

Maafkan aku, Ibu. Karena sudah melawanmu demi cita-cita itu.

Saras benar-benar tak memedulikan larangan Ibu. Dia tetap berpacaran dengan Arya. Ini pertama kalinya Saras menentang kehendak Ibu secara terbuka. Dengan begitu dia merasa sudah dewasa. Wanita matang yang sudah bisa memutuskan segala hal untuk diri sendiri. Saras berbuat sesuka hatinya. Pakaiannya makin minim, menonjolkan lekuk-liku tubuhnya. Dagunya makin sering terangkat angkuh. Dandanannya pun makin menor.

Namun, Arya sering tidak sadar kekasihnya mulai berubah. Soal Saras memang pesolek, Arya tahu. Tapi, di matanya, tak ada bedanya Saras bertambah menor atau tidak. Selama tidak bikin sakit mata atau salah kostum, Arya tidak akan berkomentar.

Tapi, bukan hanya Saras yang berubah. Arya juga demikian. Waktunya tersita untuk pekerjaan. Dita, anak semata wayangnya, pun seperti dinomor-duakan. Dari yang selalu tenang, kini menjadi workaholic sejati. Ini membuat Saras tersiksa. Kesibukan Arya berdampak terhadap dirinya. Saras kesepian. Kembali sendiri. Hanya bertemankan komputer sebagai sahabat sejati.

Saras tidak suka, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Bila tidak sedang berbagi dengan pekerjaan, dia harus berbagi Arya dengan Dita. Bermalam Minggu di rumah Arya, bertiga dengan Dita, dan berakhir dengan Arya yang tertidur pulas di atas sofa.

”Daddy memang begitu. Maklum. Orang sibuk.”

”Tapi, kemarin-kemarin ayahmu tidak sesibuk ini.”

”Proyek kan nggak datang tiap saat, Tante. Lagi pula, akhir tahun seperti kemarin memang Daddy biasanya santai.”

”Jadi, kamu sering ditinggal seperti ini oleh Daddy? Kamu nggak protes? Nggak merasa kesepian?”

Dita mengangkat bahu. ”Sudah biasa, kok. Sepi, ya, sepi. Kata Daddy, dia bekerja untuk Dita juga. Lagi pula, Dita juga sibuk sekolah.”

Saras terenyak. Tak ada keluhan atau rengekan manja. Saras malu. Berkelebat di benaknya ketika Ayah sudah tidak punya pekerjaan dan Ibu mulai mencoba berbisnis katering. Saat ada pesanan, Ibu repot berkutat di dapur sampai malam. Dan, anak-anaknya protes keras.

Saras kalah. Kalah berdikari dari bocah cilik.

Makin hari kesibukan Arya makin menggunung. Kalau kemarin hidupnya seperti selalu berlari, akhir-akhir ini malah seperti terbang. Berkejaran dengan waktu. Kemarin saja Arya lupa menepati janji acara dinner mereka. Lama-kelamaan ia makin sering membatalkan janji. Membuat Saras yang sudah telanjur ada di tempat itu mengeluh gemas.

”Hai, Sar!” Sesosok tubuh mungil berdiri di depannya. ”Lupa, ya? Windi. Kita ketemu di acara reuni. Aku teman Arya.” Gadis itu menarik kursi di depan Saras, dan langsung duduk.

Saras tersenyum simpul. Tentu saja dia masih ingat.

”Nggak lupa, kok! Dengan siapa ke sini?”

”Oh, dengan teman-teman kantor. Arya di mana?”

Pertanyaan hanya ditanggapi senyum oleh Saras. Dia tidak perlu menjawab pertanyaan yang terlalu pribadi, bukan?

”Kerja. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal.”

”Aduh, bapak satu itu tak pernah berubah.”

”Jadi, dia suka membatalkan janji?” Saras menegaskan.

Windi mengangguk. ”Demi pekerjaan.”

Sebetulnya Saras ingin bertanya lebih banyak lagi. Tapi, Windi keburu beranjak. ”Pesananku sudah datang. Aku kembali ke mejaku, ya. Kapan-kapan kita ngobrol lagi. Bye, Sar,” pamit Windi.

Baru selangkah, dia sudah berbalik kembali. Tangannya menyodorkan sebuah kartu nama. Di situ ada nomor ponselnya. Karena Saras tidak punya kartu nama, dia menuliskan nomor ponselnya di secarik kertas.


Penulis: Mya Ye


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?