Fiction
Topeng [7]

19 Apr 2012


<<  cerita sebelumnya

“Cantik sekali kamu, Sar,” puji Arya.

Mata Arya menatap lekat mata kekasihnya dengan mesra. Wajahnya mendekat. Saras hanya diam, menanti gerak lanjut kekasihnya. Tapi, Arya lalu hanya menggenggam jemari Saras dan mengecup punggung tangannya.

Sesekali Saras melirik Arya dengan bangga. Ia merasa beruntung sekali. Tak peduli dia adalah seorang duda. Dengan kelebihan Arya, ingin sekali Saras memperkenalkannya pada orang tuanya. Seharusnya, Ibu bangga, putrinya dapat memilih kekasih dengan sangat selektif. Calon menantu pilihan.

Tapi, banggakah Ibu? Bagaimana sebenarnya kriteria calon menantu idaman di mata Ibu? Kalau dia berkenalan dengan pria di sampingnya ini, bagaimana sikap Ibu nanti? Memuji atau mencela?

Pesta ini benar-benar berkelas. Sederhana, namun tetap terasa sentuhan kemewahannya. Teman-teman Arya memang bukan orang-orang kebanyakan. High class. Borju. Glamor. Entah apa lagi sebutan yang pantas untuk menggambarkan kelas mereka. Yang pasti, itu bukan kelasnya. Rasa minder langsung menyergapnya. Membentuk benteng pertahanan dalam dirinya. Dan, ia mengenakan kembali topeng maya itu.

Berada di tengah-tengah orang borju ini, rasanya semua yang dikenakan Saras, tidak ada seujung kuku pun dengan apa yang ditampilkan mereka. Kepercayaan dirinya langsung jatuh tak bersisa. Dia tak bisa lagi berdiri terlalu tegak. Dia hanya diam, seperti biasa, jika tak mampu menguasai keadaan.

Arya sendiri tak terlalu merasakan perubahan sikap Saras. Baginya, sudah biasa jika Saras menjadi pendiam di tengah keramaian. Apalagi, di lingkungan yang baru dikenalnya. Arya tetap santai dan lugas. Saras dikenalkan pada tiap orang di ruangan itu. Dibawanya Saras berkeliling, meskipun gadis itu lebih senang jika Arya mengajaknya duduk di pojok ruangan yang tak ramai.

Tapi, Saras terpaksa mengikuti Arya, daripada ditinggal bengong sendiri. Dia baru bernapas lega, ketika Arya mengajaknya duduk di sofa. Sambil memegang gelas minuman, Saras memerhatikan keadaan sekitar. Makin lama suasana makin ramai. Makin banyak pula yang berdatangan. Saras sadar, dia tak bisa memaksa Arya terus menemaninya duduk. Ini pesta reuninya. Jadi, Saras biarkan saja, ketika Arya meninggalkannya duduk sendirian.

Bersikap acuh tak acuh pada sekeliling, sudah biasa bagi Saras. Saras melirik arloji di pergelangan tangan kirinya untuk kesekian kali. Hampir 15 menit berlalu. Waktu yang amat singkat, tapi terlalu lama untuk yang diam mematung di tengah suasana ingar-bingar.

Untunglah, tak lama kemudian seorang wanita muda duduk dekat Saras. Dia menyunggingkan senyum manis. Gadis itu berperawakan mungil, tingginya tak lebih dari telinga Saras, meskipun dia memakai high heels. Wajahnya yang sangat Asia begitu khas. Sinar matanya tajam dan hidup, namun tidak angkuh. Kalau belum mengenalnya, sepintas orang akan terkecoh dengan umurnya. Penampilannya berkelas, meski hanya mengenakan make up minimalis. Cerdas dan dinamis, dua kata yang rasanya cukup mewakili keseluruhan wanita itu.

Wanita muda itu memperkenalkan dirinya sebagai Windi.

“Pacar Arya?” suaranya terdengar kekanakan.

Saras hanya tersenyum. Entah kenapa, Saras merasa kurang suka pada gadis itu. Dia makin tidak simpatik ketika pertanyaan itu dilontarkan kepadanya.

“Sudah lama berpacaran?”

Saras hanya tersenyum. Dalam hati dia mulai memaki-maki.

“Hmm, sudah lama juga Arya bercerai, ya. Sepertinya, baru kemarin menyaksikan mereka menikah.”

”Kamu kenal istrinya?” Saras yang balik bertanya.

Windi menoleh dengan mata berbinar. Tersenyum. “Ternyata kamu bisa ngomong juga. Aku nyaris mengira kamu bisu. Sorry, bercanda. Tapi, sepertinya, orang seperti kamu inilah tipe favorit Arya.”

“Yang bagaimana, maksudmu?”

“Pendiam dan tak banyak omong. Anehnya, istrinya bukan tipe demikian. Itu yang membuat teman-temannya bingung. Bagaimana dia memilih Petty, yang karakternya berbeda jauh. Mantan istrinya itu hampir mirip denganku. Cerewet. Superaktif. Tak bisa diam.”

“Kamu kenal mantan istrinya?” kejar Saras.

Windi mengangguk. “Kami semua teman main selama kuliah. Boleh dibilang, semacam satu gang, atau apalah istilahnya.”

“Wah… ngobrol apa saja?” Arya sudah di dekat mereka.

“Biasalah. Bye. See you, Saras,” Windi melenggang.

“Wah, sudah membocorkan apa saja dia? Jangan banyak percaya omongannya, ya, Sar.”

Saras tersenyum kecil. Bukan tidak percaya, Saras hanya tidak mau ambil pusing. Bagaimanapun, Petty hanyalah bagian dari masa lalu Arya. Mantan istri. Sekarang, pria itu adalah miliknya.

Naluri seorang ibu memang hampir tidak pernah meleset. Firasatnya tidak main-main. Sejauh apa pun jarak yang merentang­kan seorang ibu dari anak kandungnya, ketajaman perasaan itu tetap terasah dalam sanubari. Tak lekang oleh waktu. Tak lapuk oleh usia.

Keresahan Ibu terbukti benar. Niras pulang untuk memperkenalkan kekasihnya. Tapi, bukan itu klimaksnya. Dia masih membawa bom waktu untuk diledakkan pada saat yang tepat. Niras hamil! Hasil hubungannya dengan kekasihnya. Seorang pria bertubuh tinggi tegap, berparas sederhana, berkulit sawo matang. Pendeknya, berpenampilan amat biasa. Kelebihannya, dia sarjana teknik mesin dan sudah memiliki pekerjaan tetap. Namanya Panji.

Muka Ibu memucat. Matanya menyorotkan kenyerian yang amat sangat. Bukan hanya Ibu, Ayah pun membeku dalam keheningan. Mereka berdua membisu seribu bahasa. Entah apa saja yang berkecamuk dalam benak orang tuanya. Saras dapat meraba rasa sakit itu di mata mereka. Kemarahan mereka. Namun, dia tak mampu bersuara. Hanya mematung dan saling melempar pandang dengan Laras.

“Kenapa harus seperti ini, Niras?” tanya Ibu, tergugu.

Saras terpana. Juga Laras. Mereka saling berpandangan tanpa suara. Tak pernah menyangka reaksi Ibu hanya begitu. Hanya me­nangis. Sejak dulu Ibu memang tak pernah memarahi anak-anaknya sampai sedemikian rupa. Tapi, siapa mengira kelembutan itu kekal adanya. Bahkan, ketika sudah berada di titik ini pun, Ibu tetap tak mampu bersikap keras pada Niras.

Niras yang meledak dalam tangis. Dia yang mengira akan dimarahi, sama sekali tak menduga hanya akan mendapati air mata Ibu. Dia makin didera perasaan salah dan dosa. Spontan dia memeluk kaki Ibu. Menangis pilu.

“Ibu, ampuni Niras.”

Air mata Ibu mengalir makin deras. Beliau tak mampu lagi bersuara. Tangannya mengusap-usap kepala anaknya. Mencoba menya­lurkan kehangatan.

“Lalu, sekarang bagaimana?” Ayah menghela napas.

“Mas Panji akan bertanggung jawab, Ayah. Karena itu hari ini kami sengaja datang kemari. Untuk mengakui dosa kami di hadap­an Ayah dan Ibu, sekaligus untuk meminta restu.”

“Mohon maaf, Pak, Bu.” Tanpa diminta Panji ikut-ikutan berlutut di hadapan Ayah dan Ibu. Meraih tangan mereka dan menciumnya dengan santun.

Ayah dan Ibu tak pernah mengumbar emosi. Mereka marah. Mereka kecewa. Malu. Sakit hati. Tapi, semua itu hanya dipendam dalam hati. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya marah-marah. Yang sudah tergores tidak akan pernah bisa utuh lagi. Yang telah hilang tak akan pernah kembali.



Penulis: Mya Ye



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?