Fiction
Topeng [3]

19 Apr 2012

<<  cerita sebelumnya

Sebenarnya, Saras ingin sekali bisa membanggakannya. Memamerkannya di hadapan teman-temannya. Tapi, dia malu! Apalagi, kalau berhadapan dengan teman-temannya yang berasal dari kalangan atas, yang bapaknya seorang pejabat ini, big boss perusahaan itu. Bukan mantan pemilik perusahaan percetakan yang sudah bangkrut. Tak bisa bangkit lagi.

Berbagai pertanyaan itu masih sering berseliweran di benak Saras. Kenapa Ayah kini begitu pemalas? Kerjanya sehari-hari hanya diam di rumah. Baca koran. Nonton teve. Merokok. Padahal, di depan matanya ada Ibu yang sibuk dengan bisnis kateringnya, yang tak pernah berkembang menjadi besar, tapi lumayan untuk menambah biaya hidup. Benarkah seorang pria yang sudah terpuruk tak bisa bangkit kembali? Apalagi, bila ia sudah merasa tergilas keperkasaan sang istri.

Dulu Saras tidak tahu kenapa keluarga mereka mendadak jatuh miskin. Kenapa tiba-tiba dia tidak pernah diantar-jemput lagi oleh mobil mentereng lengkap dengan sopirnya. Kenapa pula dia tidak bisa lagi membeli boneka-boneka besar dan mainan mahal lain. Sekarang dia tahu. Semua memang salah Ayah. Sudah pemalas. Tidak punya ambisi. Berjudi pula.

Saras membenci sifat Ayah yang satu itu. Tapi, bagaimanapun, kalau harus memilih, dia masih tetap lebih menyayangi Ayah  ketimbang Ibu. Bagaimanapun buruknya contoh sikap yang diberikan. Tak peduli surga letaknya di bawah telapak kaki Ibu, bukan kaki Ayah. Tak mengingat pula rahim ibulah yang dikenalnya lebih dulu, bukan perut Ayah. Paling tidak, Ayah tak pernah memberi peraturan. Hanya ada cinta dan kebebasan. Cita-cita yang paling diidam-idamkannya sejak dulu.

Lampu-lampu sorot berpendar di penjuru ruangan itu. Suara musik masih mengentak-entak dengan semangat. Merayu orang untuk terus meliukkan tubuh menyambut malam sampai pagi menjelang. Tapi, Saras tak peduli. Setelah puas beberapa jenak menggoyang-goyangkan badannya, dia beranjak menepi.

Saras terus berjalan menembus lautan manusia yang tengah bersukaria. Duduk di salah satu kursi kosong di depan meja bar. Memesan segelas minuman. Dan memerhatikan dengan asyik suasana sekitar. Inilah dunia yang dikenalnya semenjak dia mulai hidup terpisah dari orang tua. Nite club di Jakarta hampir semuanya pernah dijelajahi, paling sedikit dua minggu sekali.

Selain itu, dia juga hobi keluar-masuk tempat karaoke. Senang rasanya bisa menyalurkan hobi terpendamnya di tempat itu. Setelah lulus kuliah dan mulai bekerja, punya penghasilan sendiri, kesenangannya akan kehidupan malam semakin menjadi. Saras merasa makin bebas. Orang tuanya, terutama Ibu, tak pernah terlalu turut campur lagi urusannya, membatasi ruang geraknya. Dia sudah dewasa. Bebas memutuskan langkah hidupnya sendiri.

Semua kepolosan masa kanak-kanaknya memang sudah pergi jauh, seiring keputusannya hidup mandiri. Tanpa ragu-ragu dilenyapkannya semua rasa mindernya, sifat pemalunya, cengengnya. Ditutupinya rapat-rapat sampai hampir tak dapat terlihat.

Yang paling menyenangkan dari itu semua: Ibu tak pernah tahu. Keluarganya tidak tahu. Tidak ada satu pun dari mereka yang boleh tahu sepak terjangnya. Di mata keluarganya, Saras tetaplah gadis mereka yang dulu. Yang meskipun paling sulit adatnya, tetap menjadi kebanggaan setiap orang. Tetap paling menonjol di antara saudara-saudaranya.

Bahkan, bagi ayah-ibunya, sikap Saras kini makin manis. Hanya dia satu-satunya yang ingat untuk membawakan oleh-oleh bila pulang bepergian. Hanya Saras yang ingat untuk selalu menelepon, sekadar menanyakan kabar mereka. Hanya Saras juga yang paling mau repot untuk menuliskan kata-kata indah di kado ulang tahun Ayah dan Ibu. Di rumah, tak ada yang berubah.

Saras telah mempelajari satu hal: selalu ingat untuk memakai topeng! Topeng yang paling bagus. Yang hampir tak ada beda wujud dari rupa. Satu topeng untuk satu situasi. Dia harus pandai memilah-milah, agar orang pun tak salah mengenali. Dia tahu tak ada yang tahu. Bahkan Ibu, yang kata orang, hampir selalu tahu.

“Hai, kok, bengong sendirian?” tanya seorang pria, yang entah kapan sudah ada di dekatnya. Membuyarkan lamunannya. “Tidak berdansa?”

“Sudah. Tadi,” sahut Saras pendek. Dia menoleh dengan mimik terganggu. Tapi, ketika bersirobok pandang dengan lawan bicaranya, rautnya agak sedikit berubah. Usia pria di hadapannya ini sudah pasti tidak terlalu jauh di atas umurnya. Kira-kira hanya 3-4 tahun di atasnya. Dari penampilannya, bisa ditebak, dia eksekutif muda. Keren. Gaya. Mudah-mudahan… kaya.

Tapi, Saras cepat-cepat mengubah kembali ekspresi mukanya menjadi datar. Bahaya! Ini tempat rawan. Salah sinyal sedikit, dia bisa dicap gampangan. Sayangnya, pria itu jauh lebih berpengalam­an. Dengan cepat dia menangkap sorot kekaguman itu. Sebagai seorang pria normal, dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

“Kenalkan: Arya. Boleh tahu namamu?” dengan sikap pede, diulurkannya tangannya yang besar dan kekar itu.
Saras tetap menunjukkan sikap tak acuhnya. Meskipun, tangan itu tetap disambutnya. Disebutnya namanya. Jantungnya nyaris lupa berdenyut, ketika tangan pria itu menggenggamnya dengan erat dan mantap.

“Mau dansa?”

Saras menggeleng.

“Dengan siapa?”

“Bertiga dengan teman,” Saras menunjuk ke arah yang dimaksud dengan dagunya.

“Hah? Pergi ke tempat begini cuma bertiga?” Arya menoleh dengan takjub. “Sepi betul lingkunganmu. Ke mana teman-temanmu yang lain? Atau… jangan-jangan memang nggak punya banyak teman, ya?”

Kalau Saras bukan anak yang mudah tersinggung, dia akan segera mengetahui Arya asal bunyi. Tapi, sayang, kata-katanya terlalu tepat mengenai sasaran. Mata gadis itu berubah beringas.

“Ups… maaf! Hanya bercanda!” Arya mengangkat kedua tangannya. Sadar bahwa kata-katanya agak menyinggung perasaan.

Sikapnya spontan. Kadang sombong, kadang menggemaskan. Tapi, tidak kurang ajar, apalagi bermaksud melecehkan. Saras makin terpikat. Dia bertekad akan membuat hubungan mereka bertambah dekat.

Saras telentang di atas ranjang berukuran single di kamar kosnya. Meski hampir menjelang dini hari dan tubuh terasa penat, matanya masih belum dapat terpejam. Insomnia. Penyakit wanita malam. Padahal, besok pagi-pagi sekali dia sudah harus bangun dan berangkat kerja. Masih terngiang-ngiang kata-kata yang dilontarkan Arya di diskotek tadi. Hal yang justru paling ingin dilupakannya. Malah, yang sudah berusaha dikuburnya dalam-dalam. Tapi, kenapa masih bisa terlihat?

Tidak punya teman! Menyakitkan sekali kedengarannya. Membuatnya merasa menjadi orang paling malang di dunia. Kuper. Tidak bisa bergaul. Saras sungguh ingin menyanggah. Tapi, kalau kenyataan mengatakan itu benar, dia bisa apa? Bagaimana pun dia berusaha menutupi, itulah keadaan sebenarnya.

Siapa, sih, temannya selama ini? Tidak ada! Jangankan sahabat. Teman saja tak ada. Semuanya hanya teman dalam suka. Datang dan pergi dengan gampangnya, secepat dia bertukar baju. Lalu, satu per satu pergi dan berlalu. Selalu begitu.

Kenapa, ya, orang harus pakai topeng? Bukan topeng badut atau sejenisnya. Tapi, topeng semu yang hanya bisa dirasa oleh si empunya muka tanpa bisa diraba. Awalnya, kukira aku sendiri yang suka memakai topeng. Tapi, setelah kuperhatikan, ternyata banyak juga yang begitu.

Topeng seperti ini sudah menjadi kebutuhan mendasar. Bukan untuk melakukan kejahatan, hanya semata perlindungan. Untuk kita bisa bersosialisasi dan mencari kawan. Menampilkan citra baik, bahkan di depan lawan. Siapa, sih, yang tidak ingin punya teman? Siapa yang ingin selalu merasa ditolak oleh lingkungan?

Semua pasti ingin punya teman, sekaligus diterima di lingkungan pergaulan, kalau bisa. Semua pasti ingin tampil apa adanya, juga kalau bisa. Sayang, lingkunganlah yang selalu punya hak pilih penuh, bukan kita sendiri. Lingkungan yang selalu memutuskan, apakah kita bisa masuk ke lingkup mereka atau tidak. Bagi yang tidak memenuhi segala persyaratan, jangan harap bisa bergabung. Memang kejam kedengarannya.

Tapi, aku menyadari, hidup ini selalu berarti pilihan. Jadi, jika topeng adalah pilihan terbaik dan satu-satunya bagiku, karena pilihan lain sudah direbut orang, kenapa tidak digunakan?




Penulis: Mya Ye


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?