Fiction
Topeng [11]

19 Apr 2012


<<  cerita sebelumnya

Beberapa hari ini aku merasa, kesepian itu sangat tidak enak. Sepi. Sunyi. Lonely. Tiga kata itu hanya membuatku merasa tidak berdaya dan berharga. Kekasihku, yang selalu kuharapkan ada, lebih memilih menghabiskan hari dengan bekerja. Katanya, hal itu lebih berarti daripada menganggur. Tapi, dia keterlaluan. Dia lupa bahwa kami sudah lama tak bersama.

Dita mogok. Dia tidak mau pergi ke gereja bareng Saras Minggu pagi itu. Ketika Saras menjemputnya, dia baru bangun. Belum mandi. Malah asyik nonton teve. Saras mencoba membujuknya. Menariknya supaya lekas mandi dan berangkat. Kalau tidak, nanti terlambat. Tapi, kepala anak itu ternyata keras seperti batu. Makin gencar dibujuk, dia malah ngambek. Merajuk. Hingga akhirnya Saras lelah dan menyerah. Membiarkan saja apa maunya. Toh, dipaksa pun percuma. Anak itu pasti tetap tidak mau.

Lebih baik dia pergi sendiri. Lebih tenang. Lebih santai. Nanti siang dia tinggal memberi tahu Arya, lengkap dengan alasannya, Dita menolak pergi dengannya. Arya pasti mengerti.

Tapi, ternyata tidak.

“Dibujuk, dong, Sar. Namanya juga anak-anak.”

Saras diam saja. Ketika untuk yang kedua kalinya Saras dimintai tolong untuk hal serupa, dia membujuk dengan setengah memaksa. Dia tidak mau dipersalahkan lagi. Dikira tidak becus membujuk seorang anak kecil saja. Tanpa disadari, air mukanya berubah keruh ketika meng-hadapi Dita. Dan, gadis kecil itu rupanya terlalu cerdas menangkap perubahannya. Sikapnya makin disengaja membandel.

Seandainya Saras lebih pintar sedikit, dia bisa saja mengubah stra­teginya. Tapi, Saras kurang luwes dalam menghadapi anak kecil, apa­lagi yang serewel Dita. Akibatnya, dia lagi-lagi gagal.

Seharusnya Arya tahu ini. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana susahnya adat anaknya. Dia tidak boleh hanya mengetahui urusan kantornya. Namun, Saras kalah cepat. Ketika Arya sudah ber­ada di rumah, Dita sudah lebih dulu bercerita pada ayahnya. Dengan versinya sendiri. Katanya, Saras bukan hanya mengajak atau membujuk, tapi memaksa. Dengan wajah ditekuk pula.

Arya menegurnya. Bertanya, lebih tepatnya. Saras kesal.

“Sudahlah, Ar. Aku tidak mau ribut lagi. Capek. Lagi pula, aku bukan pengasuhnya Dita.”

Arya terperangah tak percaya.

“Tapi, Dita hanya anak kecil, Sar. Dan, anak-anak adalah makhluk yang polos. Dia tahu siapa yang benar-benar baik padanya, siapa yang tidak.”

Mata Saras membulat. “Jadi, kamu kira selama ini aku hanya ber-pura-pura baik padanya?”

“Itu hanya kamu yang bisa menjawabnya.”

“Tapi, untuk apa aku berbuat begitu, Ar?”

“Cuma kamu yang tahu jawabannya.”

Jawaban! Jawaban! Saras ingin meledak saking jengkelnya. Tapi, tak pernah bisa. Dia tidak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Kecuali bahwa dia mencintai Arya. Berusaha melakukan apa pun yang terlihat baik di mata Arya. Bukankah cinta selalu ingin memberi yang terbaik dan mengesampingkan yang buruk? Kenapa Arya tak bisa mengerti itu?

Bukan salahnya kalau dia gagal membujuk Dita. Anak itu yang me­mang sulit. Tidak bisa diatur. Produk didikan yang salah.

Tanpa sadar Saras mengucapkan apa yang ada di pikirannya.

Mata Arya berkilat. “Kamu pikir, aku tidak becus mendidiknya?”

“Kamu bahkan tidak punya waktu untuknya. Yang ada di otakmu hanya kerja, kerja, dan kerja.”

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Saras. Cukup keras sampai pipi Saras berdenyut-denyut sesudahnya. Seumur hidup, baru kali ini dia dipukul orang. Bahkan, orang tuanya sendiri tak pernah menyentuhnya seperti itu. Dengan tatapan nyeri dan tak percaya, dipandangnya Arya. Berharap ada sesal karena telah bertindak kasar. Tapi, pria itu hanya berdiri membeku.

“Jangan coba-coba mengkritik hidupku lagi. Kau sama sekali tak tahu apa pun,” desis Arya. Lalu, dia berbalik meninggalkan Saras.

Saras pergi dari rumah Arya, menyetop taksi kosong. Dimintanya sopir taksi itu mengarahkan mobilnya ke utara Jakarta. Dia ingin mencari ketenangan di pantai. Tempat favoritnya setiap kali dia ingin menyendiri atau menangis tanpa ada yang mengetahui.

Seperti kali ini. Dia mengeluarkan air matanya sampai puas. Setelah itu diam dan melamun. Hanya memandangi debur ombak yang kemudian memecah di dekat kakinya. Rambutnya agak terburai tertiup angin. Menyaksikan laut di senja hari yang mulai temaram itu sedikit banyak memberinya ketenangan. Dirabanya pipi yang ditampar Arya. Sudah tidak terlalu pedih. Semoga saja tidak berbekas pula.

Matahari makin tenggelam di ufuk barat. Sebelum sekelilingnya benar-benar gelap, Saras beringsut meninggalkan tempat itu.

Tiiin! Tiiin! Sebuah mobil merendengi langkahnya. Perlahan kaca mobil itu turun. Sepertinya pengemudi mobil itu hendak memanggilnya. Tapi, Saras mempercepat langkahnya. Pasti pria iseng, pikirnya, setengah ketakutan.
Tiiin! Pengemudi itu menekan klaksonnya lagi. “Saras!”

Ketika mendengar suara wanita, Saras menghentikan langkahnya.

“Windi! Dari mana, Win?”

“Tadi cari makan bareng teman. Kamu?”

“Cari suasana, biar nggak sumpek.”

“Mau pulang, Sar? Bareng?” tawar Windi.

“Thank you. Tidak usah, deh. Nanti merepotkan.”

Saras menolak halus. Bukan basa-basi, tapi karena dia benar-benar sedang ingin sendiri.

“Sampai depan saja. Di sini sepi. Bahaya.”

Terpaksa Saras menurut. Dia duduk di jok belakang mobil Saras.

Sambil mulai menjalankan kendaraannya, Windi bicara lagi. “Sar, kenalkan. Temanku, Lisa. Lis, itu Saras.”

Wanita yang duduk di samping Windi menengok ke belakang dan tersenyum pada Saras. Cukup ramah.

“Hai!” Saras urung mengajak bersalaman.

“Dia kekasih Arya. Masih ingat? Mantan suami Petty.”

Lisa mengangguk-angguk.

“Lisa ini temannya Petty, Sar. Dia seorang desainer.”

Pantas. Gaya dan caranya berpakaian beda. Serba glamor.

Agaknya Windi memang tidak pernah jauh dari dunia gemerlapan dan borjuis seperti itu. Betapa inginnya dia menjadi bagian dari me­reka. Masuk ke lingkungan pergaulan mereka. Berteman dengan komunitas yang berbeda dari orang-orang kebanyakan.

Tapi, pasti sulit. Apa miliknya yang pantas disandingkan dengan mereka, kecuali otaknya? Tapi, untuk bergaul tidak terlalu mem­bu­tuhkan kecerdasannya. Ini bukan olimpiade fisika. Yang terutama di­perlukan adalah keluwesan. Itu yang tidak dimilikinya.

Dan, agaknya mereka juga bukan orang-orang bodoh. Dari cara bicaranya, mereka sudah cukup menunjukkan kualitas. Kesuksesan karier yang sudah mereka dapatkan saat ini bukan warisan cuma-cuma dari orang tua.

Jadi, apa lagi yang bisa ditonjolkannya, jika ingin bergaul dengan mereka? Apa yang harus dia lakukan supaya mendapatkan teman seperti itu?

Memang menyedihkan jika setiap kali harus mengenakan topeng. Seperti tidak ada kebebasan, bahkan dalam menjalani hidup keseharian kita. Seperti tadi. Harus ramah pada orang yang baru dikenalnya, sementara hati sedang ingin membisu. Berlagak tidak ada apa-apa, padahal di dalam tengah gundah-gulana.

Aku sungguh benci keadaan seperti ini. Aku sedang ingin sendiri. Namun, aku benci kesendirian. Karena dalam kesedihan, sendiri selalu berujung menyesakkan. Tapi, aku juga tidak bisa bercerita pada dunia, apa yang tengah kurasakan. Aku tidak mau dicap sebagai anak manja. Tapi, aku tidak memiliki seorang pun untuk kupercayai mendengarkan cerita-ceritaku.

Lama-kelamaan aku letih. Tidak tahu bisa bertahan sampai kapan. Sepertinya aku dan Arya memang sudah makin menjauh. Setiap hari, aku dan dia seperti melangkah setapak demi setapak ke arah yang berlawanan.
Lalu, kenapa aku merasa takut? Takut ditinggalkan. Takut berhenti dicintai olehnya....

Apa obat untuk mengatasi ketakutan? Hanya ada satu jawaban un­tuk pertanyaan itu: topeng!



Penulis: Mya Ye


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?