Fiction
Topeng [1]

19 Apr 2012


Saras menatap gamang potret berbingkai kayu hitam yang tergantung di meja di dalam kamar kosnya. Perlahan sinar matanya berubah melembut, saat memandang wajah-wajah di dalam sana. Betapa tahun-tahun berlalu begitu cepat, ketika disadarinya bagaimana belianya wajah-wajah dalam bingkai itu. Yang pertama dipandanginya berlama-lama tentulah dirinya sendiri. Saras tersenyum sendiri, ketika meneliti jengkal demi jengkal wajah itu. Sungguh berbeda. Sungguh polos.

Lalu, dia berpaling pada cermin di hadapannya. Masih wajah yang itu-itu juga. Mata itu. Bibir itu. Hidung itu. Pipi itu. Tapi, setelah bertahun-tahun berlalu, mulai tampak perbedaannya. Kini, semua yang dipandanginya dalam pigura tadi tak lagi polos. Segera setelah ia mulai memasuki gerbang masa remajanya, ia mulai belajar untuk selalu memoles mukanya dengan make-up. Tebal. Karena, Saras memang kurang suka dengan riasan wajah tipis.

Mata. Saras suka sekali mewarnainya dengan warna-warna gelap. Hitam. Biru tua. Ungu gelap. Pokoknya, tebal! Ia senang bila melihat rautnya menampakkan perubahan yang mencolok, saat eye-shadow itu melekat di sana. Tampak lebih sempurna, karena dia pun mengukir alisnya sedemikian rupa, sehingga makin menonjolkan kecantikannya. Yang tidak disukainya dari bagian tubuh ini hanyalah pancarannya. Karena, sorotnya adalah cermin diri. Anggota tubuh yang paling tidak bisa berbohong.

Bibir. Kalau ini sejak kecil dia memang sudah gemar memolesnya dengan mencuri-curi lipstik milik Ibu. Tidak ada perbedaan yang drastis, kecuali cara menggerakkannya. Dulu, bibir tipis itu sering sekali tertekuk ke bawah, seraya mengeluarkan sedu-sedan. Saras memang cengeng. Sedikit-sedikit menangis. Hatinya terlalu peka. Gampang tersinggung. Sekarang, meskipun usianya sudah menyentuh seperempat abad lebih, sama saja. Bedanya, kini dia sudah belajar menyimpan tangis itu untuk dirinya sendiri. Pantang menangis di depan Ibu, Ayah, dan saudara-saudaranya.

Hidung. Untunglah lumayan mancung. Dulu dan sekarang. Sehingga Saras tak perlu lagi repot-repot mempertegasnya dengan kosmetik.

Pipi. Yang paling tidak disukainya dari bagian ini: jerawat-jerawat yang bertengger di sana. Tidak banyak sebetulnya. Dan mulai berkurang semenjak masa pubertasnya lewat. Tapi, tetap saja bekasnya masih tercetak di sana. Jerawat-jerawat itu masih juga nongol, meskipun hanya satu-dua. Dia tidak suka! Untuk mengakalinya, dia menggunakan berbagai macam cairan dan bubuk banyak-banyak untuk menyamarkannya. Dia juga suka memakai blush-on. Lagi-lagi, tebal! Untung kulitnya kuning langsat. Sehingga, meskipun tampak menor, penampilannya tidak norak.

Semua bagian tubuh itu terbingkai dalam bentuk yang lonjong. Panjang. Dagu yang meruncing ke bawah. Rambut hitam lurus panjang terurai sampai ke punggung. Layer sampingnya tampak jatuh dengan manis, karena baru dua minggu yang lalu ia memermaknya di salon langganan.

Lalu, tatapannya jatuh pada bentuk tubuhnya. Ramping dan tinggi menjulang. Membuatnya tampak paling berbeda di antara kakak dan adiknya. Saras tersenyum lagi. Meskipun banyak tidak puas dengan bagian-bagian anggota tubuhnya yang tampak kurang sempurna. Tapi, satu hal membuatnya bangga. Dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, dia, si anak tengah, yang paling menonjol. Paling cantik. Paling tinggi. Dan paling fashionable.

Itulah modal utamanya. Modal yang selalu digunakannya untuk berdiri tegak, sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Menyem­bunyikan sorot mata, yang menyimpan sebongkah cerita lain dalam dirinya.

Kalau ditanya, masa-masa mana yang paling menjengkelkan dalam hidupnya, Saras pasti akan dengan mantap menjawab: masa kecilnya! Masa yang seharusnya menjadi paling indah dalam hidupnya. Bukan malah yang paling ingin dia enyahkan dari ingatannya. Sebenarnya, hampir tidak ada yang salah dengan masa kanak-kanaknya. Saras tumbuh di lingkungan keluarga yang amat menyayanginya. Ayah yang perhatian, ibu yang memanjakan, dan kedua saudara perempuan yang menyenangkan. Hidupnya berlimpah dengan pelukan sayang dan ciuman mesra. Keluarga yang rukun, harmonis, dan bahagia.

Sampai sebelum adiknya lahir, Saras begitu menikmati perhatian berlebihan dari kedua orang tuanya. Kapan pun dia mau, dia bisa berlari dan menyurukkan diri ke dalam pelukan hangat ibunya. Atau, bermain-main di atas pangkuan ayahnya.

Tapi, tiga tahun kemudian, ketika adiknya lahir, dia tidak bisa sebebas itu lagi bermain-main di pangkuan Ibu. Waktu Ibu sudah lebih banyak tersita untuk mengurusi bayi mungil tak berdaya itu. Pangkuannya hampir selalu didominasi adiknya. Air susunya pun dirampok seluruhnya oleh Laras, adiknya. Dia hanya dapat memandang iri dan harus mulai belajar berbagi.

Saras tidak suka! Dia tidak suka berbagi, meskipun dengan saudaranya sendiri. Dia tidak suka disaingi, biarpun tidak ada yang pernah berusaha menjadikannya rival. Dia iri. Dia sakit hati. Dan rasa iri hatinya hanya dapat dipendamnya dalam-dalam, sebelum sempat berkembang. Ini karena Ibu yang selalu mengajaknya belajar menyayangi adiknya. Mengajaknya bermain bersama. Dengan tetap tak pernah melupakan pelukan dan ciuman untuknya.

Mungkin, dengan cara ini Ibu mengira, Saras sudah dapat melupakan rasa irinya terhadap adiknya. Mungkin pula, dia menganggap ini fase yang wajar dalam hidup anaknya. Naluri seorang ibu biasanya tak pernah salah, bukan? Yang dia tidak tahu hanyalah, rasa iri itu tidak pernah benar-benar berlalu dalam hidup Saras. Malah membesar, membesar, dan membesar.

Kalau sudah begitu, Saras suka berlari pada Ayah. Ini pun dia tidak dapat memonopoli seluruhnya. Masih ada Niras, kakak sulungnya. Mereka memang akhirnya bermain bersama. Perhatian Ayah selalu adil. Tapi, perlahan-lahan dia menyadari, Niraslah yang sebenarnya anak kesayangan Ayah.

Dulu perasaan itu tidak pernah mengganggunya. Kalau Niras anak Ayah, dia anak Ibu. Tapi, semenjak adiknya lahir, Laraslah yang menjadi anak Ibu. Lalu, anak siapa dia sekarang? Siapa lagi orang yang bisa memberinya perhatian penuh? Sekali lagi, tanpa ada yang menyadari, muncul satu perasaan lagi dalam hatinya. Perasaan tersisih. Apalagi, ketika dia menyadari tidak bisa bergaul dengan luwes. Teman-temannya bisa dihitung dengan jari. Itu pun hanya teman, bukan sahabat.

Padahal, Niras punya banyak teman. Begitu juga dengan Laras kemudian. Sungguh tidak adil! Padahal, wajah mereka mirip, malah Saras jauh lebih cantik. Lebih tinggi pula. Niras lebih pendek dan sedikit gemuk. Laras malah kecil mungil, seperti tak pernah beranjak dewasa. Padahal lagi, otak mereka sama-sama encer. Jadi, di mana perbedaannya? Mengapa mereka bisa berteman dan dia tidak? Mengapa hidup selalu tidak adil terhadapnya?


Penulis: Mya Ye


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?Â