Fiction
Toko Kenangan [1]

23 May 2013


Sarah Annisa

“KAU HARUS MELIHATNYA, DIS!”
“Mengapa harus?”
“Pokoknya harus!”

Aku menatap temanku lurus-lurus. Matanya yang biasanya cekung dan berlingkaran hitam itu kini tampak begitu segar dan berbinar. Ada apa? Efek dari ke tempat itu?

Semua orang sedang membicarakan tempat itu. Sebuah toko barang antik bernama ‘Toko Kenangan.’ Entah apa menariknya, toko itu menjadi sering dibicarakan. Ada orang yang kukenal menyarankanku untuk ke sana juga.
Tiga orang temanku itu berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, namun kupastikan tak ada yang memiliki minat menjadi kolektor barang antik. Temanku yang pertama adalah seorang eksekutif muda dengan jam kerja yang padat. Pola hidupnya terbentuk dari garis-garis tegas, jelas, kaku dan terencana. Menikmati liburan saja ia tak pandai, bagaimana menikmati barang antik?

Temanku yang kedua adalah seorang ibu rumah tangga merangkap sosialita yang hobi menghambur-hamburkan uang suami. Pesta, gala, belanja, pertunjukan mode, adalah bagian hidupnya. Minat estetisnya hanya terletak pada pakaian, tas, sepatu, perhiasan dengan merek berharga selangit. Ia anti pada barang bekas atau barang lama, malah cukup sering ‘membuangnya’ lewat garage sale atau pesta lelang untuk amal. Lalu bagaimana ia bisa sudi pergi ke toko barang antik dan juga menyarankanku ke sana?

Yang terakhir, Mbok Darmi, pembantu rumah tangga yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Mbok Darmi tidak lulus SD, perempuan desa tulen, bersahaja, tidak menuntut macam-macam, manut, dan sangat welas asih. Mbok Darmi sendiri adalah barang antik di dunia sekarang ini. Tetapi bagaimana ia bisa menjejakkan kaki di Toko Kenangan itu? Dan lagi pula, untuk apa ia ke sana, sedangkan seni pun tak pernah terekam otaknya sebelumnya?

Seistimewa apakah toko itu hingga semua orang di sekitarku menyarankan  --tepatnya memprovokasi-- agar aku menyempatkan diri ke sana?
“Setelah kau pergi ke sana, kau pasti ingin kembali lagi ke sana,” kata salah satu dari mereka.
Aku yang semula tak peduli, akhirnya menyerah untuk sedikit tertarik, “Memang ada apa di sana sebenarnya?”
“Tak ada apa-apa. Hanya barang antik,” jawab temanku sambil tersenyum penuh arti.

Aku meraih agendaku, mencari-cari waktu di sela jadwalku. Dapat. Lusa, jam 4 sore. Catat. Lingkari. Ketika kututup agendaku, aku seperti tak percaya akhirnya aku berusaha menyempatkan diri pergi ke Toko Kenangan.

***

TOKO KENANGAN TERLETAK tidak jauh dari kantorku. Hanya melewati dua atau tiga jalan besar saja. Toko itu seperti terjepit di antara ruko-ruko mewah dan perkantoran di kiri- kanannya. Melihat bentuknya yang mungil dan seolah tanpa arti, aku memprediksi toko ini akan segera digusur dalam waktu beberapa bulan saja.

Aku memasuki Toko Kenangan dengan canggung. Di atas pintu masuk terpampang sebuah tulisan bergaya gotik berbunyi: ‘Selamat Datang di Toko Kenangan, Selamat Datang ke Masa Lalu.’ Klise. Kurasa itu hanya serupa ucapan bombastis belaka. Mengantarkan orang ke masa lalu… tahu apa pemilik toko ini tentang masa lalu? Mana ada masa lalu? Yang ada hanya masa kini dan nanti.
Oh, orang-orang begitu candu akan masa lalu. Bagaimana bisa mewujudkan masa depan jika masih saja memikirkan masa lalu? Maaf, bukannya sok diplomatis atau ingin mengesankan skeptis. Aku hanyalah orang yang mahir melupakan masa lalu.

Alunan instrumen Kitaro menyergap telingaku begitu aku masuk ke dalam Toko Kenangan. Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut di ruangan toko itu. Tak ada yang istimewa. Barang antik? Di mataku barang-barang di toko ini justru lebih menyerupai barang rongsok. Tidak ada sisi estetisnya. Aku memang bukan kurator, namun aku yakin sekali barang-barang antik ini jauh dari indah.

Sepi, hanya ada seorang lelaki paruh baya dengan rambut penuh uban tersisir klimis yang duduk di balik semacam meja kasir. Lelaki tua yang berpenampilan sama antiknya dengan isi toko ini. Di meja kasir itu tertera tulisan: ‘Tidak ada barang yang dijual. Anda hanya membayar untuk penggunaan barang di tempat.’ Aneh. Jadi semua barang ini disewakan di tempat? Lalu mengapa disebut toko? Begitu melihatku masuk, ia tersenyum lebar.

Aku berkeliling, lalu menemukan sebuah televisi lama yang bentuknya mirip oven dengan permukaan cembung yang tebal. Menarik jika dibandingkan dengan televisi zaman sekarang yang  makin tipis, bahkan ada yang lebih tipis dari buku tulis anak-anak.

“Pasang saja, Mbak, kalau mau…,” tegur lelaki paruh baya itu.
Hah? Pencet tombol sebelah mana? Tanganku mencari-cari tombol ‘ON’ di papan tombol sebelah kiri televisi. Mengerti aku tak paham, lelaki paruh baya itu mendekat dan membantuku menghidupkan televisi kuno itu. Membutuhkan waktu beberapa detik sampai gambar berwarna hitam putih muncul. Anehnya gambar hitam putih yang muncul tidak kabur, justru sangat tajam dan jernih, sejernih televisi layar datar.

Sedang diputar sebuah film bisu di layar cembung itu. Seorang gadis kecil bermain pedang-pedangan dengan seorang bocah lelaki yang tampak lebih kecil darinya. Gadis kecil itu tampak begitu ceria, ia tertawa hingga perutnya sakit dan berguling-guling. Aku merasa pernah mengenal latar tempat film itu. Halaman dengan rumput peking dan mawar semak. Gadis kecil itu pun terlihat familiar. Pita di rambutnya bergoyang-goyang mengikuti gerakannya yang lincah.
Sebuah kesadaran menyentakku… aku juga sangat menyukai pita! Dengan berdebar aku berusaha mengenali gadis kecil itu. Matanya yang bulat, senyumnya yang berlesung pipit… itu semua… bukankah diriku? Aku mengucek mata.

Lalu perhatianku beralih pada bocah lelaki yang main bersamanya. Bocah lelaki itu… mirip dengan Dennis sewaktu kecil. Ya, Dennis, adik lelakiku satu-satunya yang sekarang tinggal entah di mana. Benarkah? Siapa yang merekam ini semua? Seingatku tak pernah ada yang merekam masa kecilku. Saat itu juga memang belum ada handycam. Dan jika memang direkam, bagaimana bisa muncul di televisi kuno dalam sebuah toko antik pinggir jalan?

Tak ada logo stasiun televisi. Jadi tayangan ini pasti bukan sinetron. Aku  makin terkesiap tatkala muncul tokoh ketiga: seorang pria muda, tegap, dengan senyum kebapakan. Pria itu mendekati kedua anak yang sedang bermain, bergabung dalam permainan mereka, bercanda tawa dan memeluk mereka di kedua sisi lengannya. Lalu mereka bertiga berguling-guling lagi di atas rumput sambil terus tertawa. Pria itu berkumis, dengan garis-garis wajah yang serupa dengan kedua anak tadi. Pria itu memiliki raut wajah yang tak pernah kulupa. Ayahku.

Tanpa kusadari, mataku berkaca-kaca. Layar menjadi hitam sesaat, lalu muncul adegan lain. Gadis kecil tadi berjalan sambil terkantuk-kantuk di koridor sebuah rumah. Ia berjalan sedikit berjingkat, seperti ingin buang air kecil. Gadis kecil itu berhenti pada satu pintu bertuliskan ‘Mama Papa,’ kamar orang tuanya. Ia bermaksud membangunkan ibunya untuk ditemani ke kamar mandi. Ayahnya sedang tidak ada di rumah.

Ternyata pintu itu tidak dikunci, terbuka sedikit. Gadis kecil mengintip, lalu dilihatnya pemandangan yang membuat wajahnya tercengang-cengang. Ada seorang wanita muda, ibu gadis kecil itu, sedang bersama dengan seorang pria. Tetapi, pria itu bukan ayahnya. Pria itu asing di mata si gadis kecil. Gadis kecil itu begitu kagetnya hingga tak dapat berkata apa-apa. Perlahan, ia pun berbalik kembali ke kamarnya, naik ke tempat tidur dengan wajah pucat pasi.
“Ini… ini apa …?!” suaraku terbata. Kini aku benar-benar menangis. “Ini film apa?! Dari mana Anda… bagaimana bisa….” Mataku mencari-cari lelaki paruh baya penjaga toko. Ternyata ia telah kembali ke meja kasirnya.
“Itu bukan film. Itu adalah proyeksi kenangan Anda,” jawab lelaki itu dengan tenang.

Apa? Proyeksi kenangan? Mendadak kenangan masa kecilku bertahun-tahun silam yang telah kuhapus dari ingatan segera muncul silih berganti. Tidak, aku mahir melupakan masa lalu, kataku meyakinkan diriku sendiri.
Pet!

Televisi itu mati dengan sendirinya. Menyisakan sesak.
“Mungkin Mbak ingin mencoba ini….” tawar lelaki penjaga toko sambil menyodorkan gagang telepon antik yang masih menggunakan tombol putar.
Apa lagi ini? Meski masih bingung dengan apa yang terjadi, tak urung kutempelkan gagang telepon itu juga ke telingaku.
“Halo, Disty?”
Darahku seperti tersirap. Suara itu begitu akrab, seperti pernah kudengar dulu sekali. Suara yang begitu tulus. Hanya ada satu manusia yang memiliki suara itu: lelaki berhati malaikat yang kupanggil Papa.
“Halo….,” kujawab dengan rasa waswas. Mataku menatap mencari jawaban ke arah lelaki penjaga toko. Lelaki itu memberi isyarat agar aku melanjutkan pembicaraan.
Apa ini? Medium komunikasi dengan arwah? Ayahku telah lama meninggal. Beberapa lama lagi di toko ini, pasti aku akan gila.
“Tebak Papa beli apa hayo?”
Suara Papa begitu riang, seakan aku masih gadis kecilnya. Aku pun menyadari ini adalah percakapan yang begitu sering kulakukan ketika Papa dinas ke luar kota.
“Hmm…” aku berpikir keras, “Bar… Bar … Barbie?”
Papa tertawa. “Hampir tepat. Ayo, tebaknya lebih jitu lagi dong, Sayang.”
Aku berusaha mengingat-ingat. Begitu banyak mainan yang Papa belikan  tiap pulang dari luar kota. Salah satunya yang begitu berkesan adalah rumah-rumahan Barbie yang mahal. Mungkinkah ini…
“Rumah-rumahan Barbie?” tanyaku.
“Waaaah tepat! Pinter nih bidadari Papa.”
Aku  makin tercekat.
“Dennis mana, Sayang? Papa mau ngomong….”
“Dennis… Dennis…,” aku bingung, mencari-cari pegangan. “Dennis sedang main, Pa. Ke rumah temannya….”
 “Oh… Disty sudah makan? Nanti mau Papa belikan apa? Pempek, ya?”
Aku mulai menangis tanpa suara. Pempek adalah makanan kesukaanku.
“Iya… eng… Papa kapan pulang?” kutahan-tahankan isak tangisku.
“Lusa, Sayang… sabar, ya… Sudah kangen, ya, sama Papa?”

Tangisku langsung pecah, “Iya, Pa… kangen… kangen sekali….”
Tuuut! Tuuut!
Sambungan terputus, aku memanggil-manggil hingga menangis tersedu-sedu. Riasan di wajahku luntur sudah. Kini aku jadi menyesali keputusanku pergi ke toko ini.

Kepalaku menjadi pening dipenuhi berbagai macam kenangan. Manis dan pahit bercampur menggodam batin. Sebuah keluarga kecil bahagia. Papa, Mama, aku dan Dennis. Lalu Mama pergi meninggalkan rumah.

Aku, Papa dan Dennis tinggal bertiga dengan kerinduan mendalam pada Mama. Papa meninggal karena serangan jantung. Dennis mulai memberontak dan mencandu narkoba. Putus kontak dengan Dennis. Aku tinggal sendiri berpindah-pindah. Setengah mati bekerja menjadi pelayan, tukang sapu, apa saja asal halal sambil terus bertahan untuk sekolah. Mama yang telah menua, entah bagaimana caranya, mencari jejakku dan kembali padaku. Aku tinggal berdua dengan Mama yang divonis kanker rahim. Mama akhirnya meninggal tahun lalu. Aku kembali tinggal sendiri.

    “Siapa pemilik toko ini?!” tanyaku gusar pada lelaki paruh baya sambil masih terisak.
    “Saya.”
    “Mengapa? Mengapa Anda membuka toko ini? Bukankah ini semua hanya akan membuka luka lama?”
    Aku segera mengeluarkan dompet dan membayar sesuai harga yang tercantum di meja kasir lalu segera berjalan keluar dengan kesal.
    “Tunggu!” panggil lelaki itu. Langkah kakiku terhenti, masih membelakanginya.
    “Saya membuka toko ini karena saya mengerti.”
    “Mengerti apa?”
    Mengerti bahwa  tiap manusia haus akan masa lalu? Menjual masa lalu… sungguh sebuah bisnis yang sangat menguntungkan!
    “Saya mengerti semua orang merindukan masa lalu. Dan Anda pasti akan kembali lagi ke sini.”
   
Kecuali aku! Aku tidak merindukan masa lalu, sebaliknya, aku ingin membakarnya hingga menjadi abu. Masa bodoh. Aku hanya ingin pergi secepatnya. Bukankah sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku mahir melupakan kenangan? Bukankah itu yang selama bertahun-tahun ini kulakukan?

Apakah aku akan kembali ke sini? Aku tak tahu. Tanpa sadar air mataku menitik. Sudah bertahun-tahun aku tak menangis. Kupercepat jalanku menjauhi toko itu, samar-samar kulihat bayanganku hilang ditelan jalan.

***



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?