Fiction
Toko Kelontong Bu Ida [1]

10 Jun 2014


Bu Ida memperhatikan mini market kecil yang tepat berada di depan toko kelontong kecilnya. Selalu ramai, tidak seperti tokonya. Sudah empat bulan mini market berlogo lebah itu ada dan perlahan membuat sepi toko Bu Ida. Tapi, sebenarnya toko Bu Ida memang sudah sepi pembeli sejak kota kecilnya mengalami pembangunan yang disebut modernisasi.
    Bahkan lima rumah dari toko Bu Ida, ada juga mini market berlogo lebah yang hanya berbeda warna dengan mini market di depan tokonya. Bu Ida melihat Bu Rima yang sedang memegang tangan cucunya, mungkin menunggu laju kendaraan sepi dan menyeberang.
“Selamat siang, Bu Rima,” sapa Bu Ida ramah. Bu Rima tampak terkejut disapa Bu Ida.
“Eh, Bu Ida. Siang, Bu.”
“Mau jalan-jalan sama Adith, ya?”
“Adith mau beli es krim, Nek,” cucu Bu Rima berkata riang. Sebelum cucunya berkata lebih lagi, Bu Rima segera menyeberang dan pamit dengan salah tingkah pada Bu Ida. Ya, tentu saja tujuannya mini market di depan.

Sudah puluhan tahun toko kelontong Bu Ida berdiri. Dari toko lengkap dengan barang sembako hingga peralatan rumah tangga. Tapi kini toko Bu Ida sudah berkurang banyak. Sengaja hanya menaruh barang yang kedaluwarsanya lama agar tidak mengalami kerugian. Ya, mau bagaimana lagi, sepinya pembeli membuat Bu Ida harus pintar bersiasat pula.
“Ibu ikut saya saja, ya. Di sana kan nanti Ibu bisa tiap hari melihat cucu-cucu Ibu. Tidak usah kesepian di sini.” 
             Adam, putra Bu Ida, pernah mengusulkan agar Bu Ida ikut bersamanya di kota sebelah. Tapi, Bu Ida enggan meninggalkan toko kelontong peninggalan suaminya itu.
“Tapi bagaimana dengan toko ini?”
“Kita tutup saja atau kalau Ibu mau, kita jual saja.”
“Ngawur, ini toko peninggalan bapakmu. Mana mungkin Ibu jual. Kecuali kalau Ibu sudah tidak ada, kamu baru boleh menjualnya. Apa kamu pengen Ibu cepat meninggal?” Bu Ida langsung marah, padahal Adam sama sekali tidak bermaksud menyinggung ibunya.
               “Bukan itu maksud saya, Bu.” Adam menghela napasnya. Tidak ingin berdebat dengan ibunya. Memilih pamit dan berharap ibunya akan segera berubah pikiran dan mau ikut dengannya.
    Sengaja Bu Ida membawa kursi rotannya ke depan toko dan duduk di sana. Menunggu pembeli. Dulu, waktu kota mereka masih belum ada supermarket maupun mini market, toko kelontong Bu Ida selalu ramai. Dia dan suaminya selalu sibuk. Bahkan mereka punya dua pekerja yang membantu mereka.
    Dari toko kelontong ini pula mereka bisa membiayai anak-anak mereka, Adam dan Lisa, sekolah hingga ke bangku kuliah, sampai akhirnya menjadi orang yang berhasil. Terlalu banyak sejarah di toko ini. Itulah sebabnya Bu Ida masih mempertahankan tokonya, walau kedua anaknya sudah tinggal di luar kota.

Rak yang menyatu dengan dinding diisi dengan mi instan, minyak goreng, gula, kecap, saus, sabun, dan berbagai macam barang lain. Sedangkan rak kecil di tengah toko biasanya Bu Ida isi dengan makanan ringan. Ada sebuah kulkas kecil yang tak pernah lupa Bu Ida isi dengan botol-botol minuman. Di meja kasir terletak sebuah rak tempat berbagai macam rokok. Tidak ada yang kurang dari toko kelontongnya. Mini market di depan hanya menang dengan pendingin udaranya. Bahkan Bu Ida berani menjamin harga barangnya lebih murah dari mini market itu, tapi tetap saja pembeli tak kunjung datang.

             “Bu, sebentar lagi Lisa akan menikah. Ibu ikut sama Lisa saja ya, Bu. Mas Bima juga sudah membicarakan ini. Dia ingin Ibu ikut dengan kami.”  Hari ini Lisa, anak bungsunya, pulang.
         “Ibu tidak tega meninggalkan toko ini.”
          “Bapak pasti mengerti, Bu. Toko ini juga sepi pembeli.”
           Meski sudah dibujuk, Bu Ida tetap menggelengkan kepalanya. Terlalu banyak kenangan di toko ini.
             “Meski sepi, masih ada satu atau dua pelanggan setia toko ini. Biarlah seperti ini dulu.” Dan Lisa tahu, ketika ibunya sudah memutuskan sesuatu, akan susah untuk dibujuk lagi.

          Dengan kemoceng Bu Ida membersihkan debu-debu yang menempel di rak- rak tokonya. Pagi baru saja menjelang, tapi sejak subuh toko Bu Ida sudah dibuka.
            “Bukalah toko sebelum matahari terbit dan tutuplah toko setelah matahari terbenam.” Begitu selalu yang dilakukan suaminya dulu dan sampai sekarang Bu Ida tetap menjalankan tokonya sama seperti yang dilakukan suaminya.
              “Bu Ida...,” suara seorang perempuan datang dan tersenyum manis pada Bu Ida.
              “Eh, Bu Sari. Mau belanja Bu, silakan,” kata Bu Ida ramah.
              “Iya Bu. Em... begini, Bu. Anu... boleh saya utang dulu. Bapaknya anak- anak belum dapat gaji. Nanti kalau gajian pasti saya bayar, Bu.”
            Meski awalnya ragu, Bu Sari berkata dengan lancar tentang tujuannya. Bu Ida terdiam, berpikir  beberapa detik, kemudian menganggukkan kepala. Membiarkan Bu Sari masuk dan mengambil yang ingin dia beli, lalu mencatatnya di buku.
              “Makasih, ya, Bu Ida, nanti pasti saya bayar.” Setelah berkata begitu, Bu Sari langsung pamit. Ya, pelanggan tetap yang pernah Bu Ida bilang pada Lisa adalah orang-orang seperti Bu Sari yang suka berutang dulu dan pada awal bulan baru dibayar. Bu Ida bisa saja tidak memberikan  utang, tapi dia selalu tidak tega.

           Malamnya setelah menutup toko Bu Ida tidak langsung masuk ke dalam rumah. Dia menyeberang jalan dan masuk ke dalam mini market itu.
            “Ting tong. Selamat datang di …  selamat berbelanja.” Pintu toko yang dibuka langsung disambut dengan sapaan ramah pegawai mini market. Bu Ida tidak menggubris. Dia langsung masuk ke dalam dan melihat-lihat. Dinding putih, rak-rak cantik, pendingin minuman yang ada lebih dari satu. Freezer tempat menaruh es krim, barang-barang bermerek dan makanan ringan yang sering diiklankan di televisi.
           Sebenarnya barang yang dijual di sini tidak jauh beda dengan barang di toko kelontong Bu Ida. Tak sampai sepuluh menit Bu Ida berkeliling, dia keluar tanpa membeli apa pun. Hawa panas langsung menyergap begitu dia keluar dari toko berpendingin udara itu.

        Menunggu dan menunggu, itulah yang dilakukan Bu Ida. Tak jarang dia tertidur di kursi rotannya dan baru bangun ketika suara sepeda motor meraung keras yang lewat di depan tokonya.
    Anak-anaknya sudah berulang kali membujuk dan berulang kali pula Bu Ida masih ingin mempertahankan tokonya. Dulu Lisa pernah bercerita kalau mini market di depan toko Bu Ida juga disebut toko kelontong dalam bahasa Indonesia.
    Jadi sebenarnya toko kelontong Bu Ida juga bisa disebut dengan mini market. Dan ironisnya, meski memiliki nama yang sama,  tetap saja toko Bu Ida kalah bersaing. Sungguh modernisasi menghancurkan toko kecil seperti toko milik Bu Ida.

           Bu Ida menarik pintu tokonya hingga tertutup dan tak lupa menggembok pintu itu. Bima, menantunya, juga ikut membantu.
           “Sudah semua, Bu?” Lisa yang sedang hamil tua bertanya pada ibunya. Bu Ida menganggukkan kepala. Toko kelontongnya sudah kosong. Sebagian dia berikan ke rumah yatim piatu, sebagian lagi dia berikan kepada tetangga- tetangganya. Kedua anaknya tidak mau repot membawa barang-barang dari toko tersebut. Bu Ida menutup toko kelontongnya, selamanya. Dia akhirnya mengalah dan ikut dengan putrinya. Lisa yang sebentar lagi akan melahirkan memohon agar ibunya mau mendampingi dia dan membantunya merawat anaknya kelak.
    Bu Ida melihat sekali lagi tokonya sebelum masuk ke dalam mobil. Dia menghela napas  pelan, lalu masuk dan duduk di kursi belakang. Lisa dan suaminya di kursi depan. Mereka siap berangkat. Perlahan Bu Ida pergi meninggalkan toko kelontong yang membuatnya makin merasa kesepian dan tua. Bu Ida berharap dengan merawat cucunya nanti dia tidak merasa kesepian lagi. Biarlah toko itu tutup dan kelak jika dia sudah meninggal baru kedua anaknya boleh menjual toko kelontong penuh kenangan itu.(f)


*************
El Zhua



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?