Fiction
Tiga Puluh Emas [1]

10 Jul 2015


"Mama akan ganti kembali uangmu yang tiga juta," ujar Mama. Suara itu seperti petir kering yang pecah di udara. Berpekikan elang Pulau Perca mendengarnya, sebab sayang akan digantikan uang. Beginikah bahasa perasaan ibu terhadap anaknya? Ini adalah kali kedua Mama mengajaknya bicara dengan topik yang sama. Dan tidak menyangka kalimat itu akan meluncur dari bibirnya.

    "Anak-anakmu kan perlu biaya yang besar untuk sekolah," ujar Mama mengejutkan. Lila duduk di depan Mama dengan tenang. Masih mendengarkannya dengan penuh hormat.
    "Uang pendidikan anak-anak insya Allah telah Lila persiapkan sejak mereka usia prasekolah. Jadi Mama tak perlu khawatir," hati-hati sekali Lila menjawab.
    "Mama hanya tak ingin membebani kamu…," dan cepat sekali Lila menyambung perkataan Mama, "Ma, sama sekali tak membebani. Itu adalah bukti bakti Lila sebagai anak Mama. Mungkin jasa dan pengorbanan Mama tak akan bisa Lila bayar dengan uang sebanyak apa pun. Atau menghajikan Mama dengan menggendong ke Mekah sekalipun," kata Lila bersungguh-sungguh.

    Entah drama macam apa yang sedang dimainkan Mama. Ada  saja kejutan yang ia bawa  tiap pulang dari Jawa, dan ini salah satunya.
    Mama akan ganti kembali uangmu yang tiga juta.
    Kata-kata itu memenuhi kepala Lila. Berputar-putar dengan ganas menuju rongga dadanya. Menyesaki hatinya. Terempas-empas di dinding-dinding hatinya yang lara. Mama berniat mengganti kembali uang biaya perjalanan haji yang ikut ia tanggung bertahun-tahun  silam.
Apakah ini ide usungan anak kesayangannya?

"Lila, Mama ingin naik haji. Uang Mama baru sepertiganya sebagai setoran awal, dan itu belum cukup untuk dapat jatah berangkat," Mama membuka suara di sore yang cerah.
    "Berapa lagi supaya cukup, Ma?" Lila cepat bertanya.
    "Tiga juta lagi. Gelang emas Mama yang biasa dipakai Olin mau Mama ambil untuk menambah setoran. Olin bilang tidak usah dijual sekarang, tunggu dulu uang pinjamannya dari bank dua bulan lagi. Sementara, kalau Mama tidak menyetor sesuai jadwal, Mama tidak bisa berangkat tahun ini, Lil," cerita Mama panjang lebar. "Jadi, kamu tambah ya, tiga juta lagi," ujar Mama kemudian.
    "Tentu, Ma. Itu sudah sepantasnya bagi Lila. Baik, besok Lila langsung kasih. Jangan sampai cita-cita Mama tersendat untuk naik haji gara-gara uang tiga juta," Lila berjanji.
    Lila menjaminkan surat keputusan pengangkatan dinasnya untuk memperoleh pinjaman dari bank. Ia tidak ingin Mama sampai mengubur cita-cita yang lama disimpannya dalam dada. Mama menjual tabungannya berupa beberapa kalung, gelang dan cincin emas. Sejak dulu Mama memang selalu menyisihkan sebagian dari usaha dagang kecil-kecilannya untuk investasi buat naik haji.
    "Ma, jangan bawa uang pas-pasan untuk belanja di sana. Siapa tahu ada karpet Turki yang menarik hati Mama, atau cendera mata khas Mekah lainnya yang ingin Mama beli. Gelang emas Mama kan masih ada. Jual itu dulu sebagai tambahan uang. Nanti kalau misalnya tidak terpakai, syukurlah. Kan bisa Mama jadikan gelang lagi," Olin memberi saran pada Mama siang itu.

    "Gelang yang dipakai Olin sudah diganti, sepertinya cukup untuk uang tambahan beli oleh-oleh. Kuota barang masing-masing jemaah  kan juga dibatasi, Lil," ujar Mama sabar.
    "Oh," hanya itu yang mampu Lila suarakan.
    Lila senang bisa ikut membiayai ibadah haji Mama ke Tanah Suci. Barangkali Olin atau yang lainnya sudah mempersiapkan pakaian dan keperluan Mama yang lain. Menurutnya, bakti  tiap anak sesuai porsi masing-masing.
    Ketika hari keberangkatan, Lila tidak ikut melepas Mama dari asrama haji menuju bandara. Bayinya tidak bisa ditinggal. Mama mengerti itu dan mungkin lebih bahagia jika ia tidak ikut. Mama diantar anak bungsunya, Olin, suami beserta anak-anaknya, anak tertua, menantu, kedua anak lelakinya, dan cucu-cucu Mama yang lain.

Dan Lila bahagia saat Mama kembali ke tanah air dengan selamat. Lila cukup bahagia dioleh-olehi sebuah wadah cuci tangan stainless steel kecil --yang juga sebetulnya dengan mudah didapatkan di pasar dekat rumah-- masing-masing segelas kecil air zam-zam untuk ia dan anak-anak, pernik kecil khas Arab untuk buah hatinya --termasuk bubuk pacar khas Mekah, dan sebuah Alquran besar bersampul biru tua yang indah. Walau belakangan, Alquran itu diminta kembali oleh Mama tanpa ia tahu alasannya. Tapi, itu tidak masalah. Dia memang tidak menuntut dibelikan sesuatu oleh Mama. Baginya, adalah bakti dan kebahagiaan luar biasa bisa ikut menghajikan Mama ke Tanah Suci.

    Lila tidak merasa cemburu jika Mama membelikan Olin karpet mahal atau benda berharga lainnya. Lila juga tidak meminta selimut tebal, lukisan dinding atau benda khas Arab lainnya seperti yang ia berikan pada anak-anaknya yang lain. Lila tidak apa-apa jika Mama melebihkan sesuatu kepada sebagian yang lain, anak yang paling disayangnya. Lila tidak menuntut apa-apa.
    Dulu, anak kesayangannya itu, untuk menambah uang setoran hajinya pun, tidak mau mengembalikan gelang milik Mama. Sekali lagi, gelang milik Mama. Lebih memilih tampil riya dengan perhiasan emas milik Mama daripada memuluskan jalan Mama untuk ke Mekah.

Dan sekarang, siapa yang tidak punya uang tiga juta rupiah? Siapa yang tidak bisa mengusahakan uang yang sekecil itu saat ini? Semua orang bisa kalau cuma tiga juta. Bahkan dipinjam ke teman sambil lalu! Lila tertawa kecil. Tiga juta dulu, tidak sama nilainya dengan tiga juta saat ini. Tiga juta dulu, yang penuh perjuangan mendapatkannya.  Tiga juta dulu, yang bahkan Mama tahu berapa gram jumlah emasnya.

    "Ini terakhir kalinya Lila bilang sama Mama, Mama tidak perlu mengganti uang yang dulu Lila bayarkan untuk perjalanan haji Mama. Dan Lila tidak punya niat sama sekali memintanya,” Lila menciptakan jeda agar Mama  makin jelas menyimak  tiap kalimat yang ia ucapkan. Jeda yang harus karena air mata yang jatuh ke dalam hati  membuat dadanya sakit. Sekaligus perih.
“Sampai kapan pun.” Sambungan kalimatnya kali ini menghilang di ujung karena suaranya kini bergetar bercampur tangis tertahan. Lila mengatur napas sebelum bicara lagi.
“Jika Mama mematuhi Olin, yang menyuruh uang Lila ia ganti lagi, baiklah. Lila mengerti, mungkin supaya Olin yang hanya membalas budi baik sama Mama. Atau barangkali juga, Mama tak ingin Lila berutang budi sama Mama." Lila berhenti sejenak  lagi, memandang ke kedalaman mata wanita yang telah melahirkannya. Wanita yang tidak sama rata membagi cinta untuk ketujuh anaknya. Wanita yang dikendalikan oleh anaknya yang kini telah kaya.
    "Bukan Olin yang menyuruh, tapi Mama sendiri yang berniat mengganti," jawab Mama kemudian.
    Lila tahu bagaimana Mama. "Ini bukan Mama," ujar Lila lirih sambil menggeleng pelan menatap mata Mama. Dan tidak sepatah kata pun yang bisa Mama sangkal.

    Suasana hening sejenak. Mama menantikan jawaban dari bibirnya. Rasanya waktu terasa melambat. Bak tayangan dengan gerak lambat yang mendebarkan di sebuah film dengan adegan yang dramatis. Tali kasih di antara mereka sedang dipertaruhkan kekuatannya. Tak ubahnya seperti tinggal menanti benang sehelai yang bisa putus tiba-tiba. Mama jual, Lila beli.
    "Jika Mama bersikeras untuk mengganti, menghilangkan kasih sayang di antara kita, baiklah. Bukan tiga juta, Ma. Tapi tiga puluh emasnya." Lila mengeluarkan suara dengan tenang. Dinding-dinding hatinya menebal menciptakan pertahanan alami agar tidak  makin terluka oleh percikan-percikan api yang telah disemburkan mulut Mama. Percikan api yang sebenarnya berasal dari mulut Olin.
    Lila pamit…

Meninggalkan rumah Mama. Meninggalkan jejak-jejak kakinya yang terluka. Meninggalkan Mama yang terdiam sejak kata terakhirnya yang terlontar. Cukup membawa serpihan hatinya untuk ia simpan di sebuah kotak kaca. Untuk sesekali ia jenguk kala mengenang saat ini yang nanti akan menjadi kisah silam. Untuk ia paparkan kembali pada anak cucunya kelak tentang hatinya yang terluka.
    Jika suatu hari Mama merasakan rindu padanya, atau hanya terkenang akan dirinya walau sesaat, cukup pandangi awan mendung yang berarak, karena di sanalah ia Mama tempatkan.(f)

Keterangan:
30 emas = 75 gram emas
1 emas = 2,5 gram emas

************
Mutiara Aryani



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?