Fiction
The Second Chance Show [1]

17 Oct 2011

Aldi menatap halaman depan tabloid yang dipegangnya. Terpampang sebaris kalimat dengan tulisan besar yang mendominasi cover tabloid itu. ’Bintang Yang Redup Tahun Ini’.

Brukkk! Aldi langsung membanting tabloid itu ke lantai. Aldi menempati urutan pertama dalam daftar yang dibuat oleh para wartawan yang dianggapnya kurang kerjaan.

“Kenapa?” tanya Margi, yang sedang duduk di meja makan sambil mengetik di notebook-nya.
Aldi tidak langsung menjawab. Dia mengempaskan tubuh atletisnya yang terawat ke sofa empuk di sampingnya.

“Aku hanya merasa jadi pecundang terburuk di dunia,” ujarnya, kesal.

“Sebenarnya apa, sih, yang kau kesalkan?” tanya Margi, masih berkutat dengan notebook-nya.

Aldi mendadak bangun dari sofa empuknya dan mendekati Margi. “Masih nanya lagi! Aku muak dengan keadaan ini!” ucapnya, sambil menatap Margi kesal. Wanita cantik yang ditatapnya justru tidak menggubrisnya. “Margi! Aku seorang bintang baru yang bersinar! Aku adalah idola seluruh wanita! Wajahku terpampang di seluruh stasiun televisi setiap hari! Tetapi, sekarang apa? Sudah 6 bulan kau tidak mendapatkan pekerjaan yang memadai untukku! Tiap hari kerjaanku hanya syuting infotainment tanpa prestasi apa-apa.”

Margi menatap balik Aldi. Sosok pria muda di depannya memang rupawan. Sosok seorang bintang yang sempurna. Tinggi, atletis, tampan, sangat bergaya, memang sangat menggoda setiap orang yang menatapnya. Benar-benar membuat iri setiap pria dan membuat wanita tergila-gila.

“Kau manajerku!” ucap Aldi, marah. “Cari, dong, pekerjaan untukku! Kau pikir, aku tinggal di apartemen mewah ini tidak bayar! Kau pikir, pakaian yang kupakai tidak mahal! Aku adalah bintang, Margi. Aku berbakat dan konyol bagiku diberitakan di media, kalau popularitasku bakal surut!”

“Al, para produsen bukannya meragukan bakatmu. Tetapi, kau mematok bayaran terlalu tinggi. Bahkan, artis senior pun tidak ada yang mematok bayaran sepertimu,” bela Margi.

“Aku bukan mereka, Margi! Aku masih muda, berpendidikan, masa depanku cerah, fans-ku banyak! Aku tidak bisa disamakan dengan mereka!” Aldi tetap tidak mau kalah.

Inilah yang paling tidak disukai Margi dari sosok bintang muda di depannya. Sombong. Lima tahun Margi menjadi manajer Aldi sedari dia belum menjadi apa-apa hingga tenar seperti sekarang, tetap saja selalu meremehkan orang lain.

“Oke,” ucap Margi, sambil kembali mengutak-atik laptop-nya. “Hmm... ada tawaran dari sebuah event organizer agar kau jadi bintang tamu show-nya Silang Band.”

“Aku tidak mau!” tolak Aldi tiba-tiba, membuat Margi menatapnya heran. “Apa, tuh, Silang Band! Band nggak jelas! Kampungan! Makhluk-makhluk udik! Lagu mereka norak! Namanya saja norak! Baru tenar sedikit saja sudah gaya-gayaan pakai potong rambut poninya kepanjangan!”

“Aldi!” potong Margi. “Bukannya beberapa waktu lalu di infotainment kamu bilang kamu suka lagu mereka dan berteman baik dengan mereka.”

“Itu kan untuk basa-basi di media. Biar kelihatannya baik dan mendukung band-band kampung. Sori, ya, mereka tidak level sama aku!”

Margi hanya menggeleng-geleng.

“Kamu kan manajerku, cari order yang pantas, dong! Memangnya jadi artis nggak capek! Aku layak mendapatkan lebih daripada yang lain!” ucap Aldi, sambil berlalu menuju pintu.

“Kamu mau ke mana, Al?” tanya Margi.

“Pacaran!” jawab Aldi singkat.

Margi menarik napas melihat kepergian Aldi. Ditatapnya lusinan trofi yang tersusun rapi di lemari kaca yang menjadi pajangan mengagumkan di ruang tamu. Aldi Surya Pratama. Pria muda tampan berusia 27 tahun dengan prestasi tak terhingga. Bermula dari teman kuliah di jurusan broadcasting, Margi dan Aldi kemudian berteman dekat.

Saat itu, Aldi hidup mandiri karena berpisah dari keluarganya. Mulai dari jadi SPG hingga pelayan kafe, Aldi dan Margi menjalaninya bersama. Namun, perlahan tapi pasti, bintang Aldi makin bersinar. Dari sekadar model biasa hingga menjadi bintang iklan. Lalu, tawaran bermain sinetron dan film layar lebar mulai datang bertubi-tubi. Akhirnya, Margi mengakhiri karier modelnya yang saat itu memang masih amatir dan menjadi manajer Aldi yang sudah bisa diperkirakan akan bersinar.

Margi mengambil ponsel dari saku jinsnya dan menghubungi nama yang sudah dikenalnya dengan baik.

“Hai, Margi,” sapa orang yang dihubungi Margi.

“Halo juga, Ton,” ucap Margi. “Bagaimana kabarmu? Dengar-dengar sudah jadi produser senior, nih.”

“Kamu bisa saja,” balasnya. “Kebetulan saja di City TV lagi banyak buat acara baru. Jadi perlu banyak produser juga.”

Yang dihubungi Margi adalah Toni Hendrawan, seorang produser muda. Dia juga satu kuliah dengan Aldi dan Margi. Karier Toni cukup cemerlang di stasiun TV tempatnya bekerja. Dia terkenal kreatif dengan ide-ide gila, dan tidak heran dalam waktu singkat sudah menjadi produser senior.

“Ah, kau selalu rendah hati. Aku suka acaramu. Benar-benar gila!” puji Margi.

“Aku tidak gila, aku ini kreatif. Tetapi, tidak masalah. Orang gila dan kreatif memang sulit dibedakan,” canda Toni.

“Ha... ha... ha... kau bisa saja…,” ucap Margi, lalu percakapan terhenti sejenak, “Hmm….”

“Ada apa?” tanya Toni. “Kau bertengkar dengan Aldi?” tebaknya.

“Nggak, kok. Jangan menduga-duga. Mentang-mentang jadi produser infotainment, jadi sok mancing.”

“Ha... ha... ha… kalau kau tidak ingin kutanya sebagai teman, oke, akan kutanya kau sebagai manajer. Kamu mau order?” tanya Toni.

“Order apa? Main sinetron?” Margi balik bertanya.

“Ah, sinetron sudah ketinggalan zaman. Sekarang masanya reality show. Di mana-mana ada reality show,” jawab Toni.

“Maksudnya?”

“Aku punya konsep reality show baru. Proposalnya sudah disetujui direktur program. Aku hanya tinggal mencari tokoh utamanya. Kupikir Aldi cocok dengan peran ini.”

“Hmm... aku harus lihat konsepnya dulu.”

“Margi, percayalah padaku. Kau tahu kan reality show. Ada haru, ada senang, ada duka, ada tangis, kau pikir itu berjalan begitu saja? Tentu tidak, Sayang. Akulah dalangnya, akulah yang mempermainkan emosi jutaan penonton. Sebagai orang yang hidup di dunia entertainment, seharusnya kau tahu itu,” bujuk Toni.

“Terus terang, makin kau bersemangat, aku makin khawatir,” ujar Margi.

Margi tahu setiap order yang dia setujui adalah pertaruhan reputasi sang bintang. Pembentukan karakter sangat penting bagi citra seorang artis. Aldi yang tak tahu aturan terbentuk menjadi karakter pria manis dan sopan berkat sandiwara munafik yang diobralnya dari dialog sinetron hingga wawancara dengan wartawan infotainment.

“Oh, ya? Jadi, kau lebih khawatir menerima tawaranku daripada khawatir tidak sanggup membiayai hidup mewah sang bintangmu itu?”

“Ton, aku harus lihat dulu tawaranmu. Apa pun itu, harus kupikirkan baik-baik,” Margi tetap pada pendiriannya.

“Oke, Nona Manajer. Kita bertemu 2 jam lagi di tempatku.”

Suasana Breath Bar membuat Aldi merasa nyaman. Aldi melihat tubuh seksi Anggi bergoyang lincah di lantai dansa berbaur dengan para pengunjung yang menikmati musik yang disuguhkan DJ.


Penulis: Yenny Renati
Pemenang Penghargaan Sayembara Menulis Cerber femina 2008



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?