Fiction
Terdakwa [1]

27 May 2012


Lampu spotlight di belakang rumah terlihat menyala. Aku tahu, tentu ada orang di sana. Lampu itu mempunyai sensor. Jika kita buang sampah malam hari, maka secara otomatis lampu itu menyala.

Namun sudah lewat tengah malam, tak semestinya ada orang di luar sana. Semua lampu sudah kumatikan kecuali lampu baca di atas tempat tidur. Aku tengah membaca majalah ketika sudut mataku menangkap bayang-bayang melintasi jendela. Aku takut sekali. Aku sangat penakut. Setiap kali suamiku bepergian, aku tak bisa tidur sendirian pada malam hari. Dan setelah kami berpisah, aku sering menangis sampai jatuh tertidur, dan kupikir itu bukan karena aku kesepian, melainkan takut kalau-kalau terjadi sesuatu dan tak ada yang dapat menolongku.

Kini terjadi sesuatu, aku yakin sekali. Napasku tertahan, keringat dingin mengaliri dahiku. Aku terbujur membisu, berusaha mendengarkan.

Tapi aku tak mendengar apa-apa. Lampu di dekat tempat sampah itu sudah mati kembali. Aku memandang ke arah lorong yang gelap. Sejenak kemudian terdengar suara berderit, angin meniup pepohonan.

Kau seperti orang tolol, kataku dalam hati. Mungkin itu hanya kucing Cal Paterson yang mengendus-endus tempat sampah. Aku mulai merasa tenang dan menghela napas perlahan.

Kemudian seorang laki-laki berkata dari arah pintu. ”Aku tahu,” katanya, ”Aku tahu, kau yang melakukannya.”

Orang tadi mendekat perlahan dalam kegelapan. ”Tolong,” bisikku, ”jangan sakiti aku.”

Sosok yang kurus, tinggi dengan wajah panjang dan pucat; matanya liar, berkilat dan angkuh. Ia mendekati kaki tempat tidur. ”Aku tahu kau yang melakukannya,” katanya lagi.

Aku menangis dan gemetaran. Aku yakin, ia pasti akan memperkosa atau membunuhku.

Tapi ia berhenti tepat di ujung tempat tidur. Senyum yang menyebalkan terkembang di bibirnya.

”Aku hanya ingin memastikan,” katanya. Suaranya berat dan terdengar tolol. ”Barangkali kau punya suatu rencana. Misalnya, barangkali kau pikir kau cukup pintar, dan ingin menyerahkanku ke polisi. Kau mengerti maksudku? Karena dari semula aku sama sekali tak suka rekayasa ini. Menyebalkan, tahu. Tapi sekarang kau tahu, kau tak bisa main-main dengan Durkheim. Tak bisa. Kalau aku dipenjara, kau juga. Aku akan menyeretmu juga.”

Aku tak mengerti maksudnya, tapi ia tak menyerangku sehingga aku merasa ada harapan. ”Tolong …,” aku berusaha berbicara.

”Ini,” katanya. ”Ini untukmu.” Ia melempar sesuatu ke arahku. ”Seperti perampokan, kan? Begitu, kan maumu? Bayar aku dan tutup mulut, dan segalanya pun beres.”

Aku kembali menatapnya. Ia menjauh dariku, kembali ke arah pintu kamar. Sejenak ia berhenti dan melihat ke arahku. ”Diamlah, jangan menangis! Tak ada yang menyakitimu. Yang penting kau tutup mulut, bayar, dan segalanya baik-baik saja.”

Aku terpaku melihat bayang-bayangnya menghilang. Seakan ia larut dalam kegelapan. Terdengar langkah-langkahnya menuruni tangga, melintasi ruang duduk di bawahku. Rasanya lama sekali, baru kemudian terdengar suara pintu belakang ditutup. Lampu spotlight nyala kembali. Kemudian mati. Aku tahu, laki-laki itu telah pergi.

Kuhempaskan napasku. Ada rasa nyeri menusuk bagian pinggang setelah ketegangan tadi mengendur. Aku pun berbaring kembali dan menangis. Menangis dan tertawa. Kupandangi sekeliling, seakan berkata pada benda-benda di sekitarku, ”Aku selamat! Wow. Aku selamat.”

Lima belas menit kemudian aku baru memperhatikan apa yang dilempar laki-laki tadi. Aku mengamatinya lekat-lekat, seakan itu benda dari angkasa luar.

Hanya sebentuk cincin. Cincin emas. Cincin kawin. Dan tentu aku sudah pernah melihatnya, bahkan sudah sering.

Cincin kawin milik suamiku.

Terbersit dalam pikiranku untuk meneleponnya. Saat itu juga. Namun setelah merasa lebih tenang, aku mulai berpikir. Aku tahu apa yang akan terjadi: Wanita itu akan mengangkat telepon. Wanita dengan rambut merah dan gaya. Kemudian akan terdengar suaranya bernada senang menerima telepon tengah malam dari Sang Istri Yang Tercampakkan. Bisa kubayangkan, ditutupnya telepon dengan telapak tangannya dan berbisik kepada laki-laki yang berbaring telanjang di sampingnya, ”Seperti tikus terperangkap, Sayang.”

Atau dengan nada seakan penuh pengertian, ”Jangan marah kepadanya, Len,” katanya kepada suamiku yang tanpa busana. ”Tentunya ini terlalu berat buat dia.” Sesuai dengan gayanya, seperti pelacur.

Aku menarik napas, memandangi cincin itu dengan perasaan hampa. Apa yang akan kulakukan seandainya aku wanita yang tegar, stabil dan mandiri?

Tentu akan menelepon polisi, begitu pikirku. Iya kan?

Dan bertepatan dengan itu, polisi meneleponku.

Aku terlonjak mendengar dering telepon di meja samping tempat tidur.

”Halo, apakah ini Vicki Pearson? Nyonya Leonard Pearson?” terdengar suara laki-laki muda. ”Nyonya, ini detektif Corey Zelman, dari Kepolisian Hendersonville.”

”Ya … ada apa?” Mengapa polisi meneleponku? Baru saja terlintas dalam pikiranku untuk menelepon mereka. ”Maaf …. apa?”

”Nyonya Pearson,” lanjut detektif itu, ”Maaf mengganggu Anda malam-malam, tetapi ada kabar buruk.”

”Maaf, saya tidak ….” aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha memahami apa yang dikatakannya.

Detektif itu kembali menjelaskan, ”Maaf, Nyonya Pearson, suami Anda terbunuh.”

Mereka menemukannya berkubang darah, mengenakan piyama sutera, di tempat tinggalnya di Hendersonville. Ia berada di ruang kerja, duduk tegap di kursinya, di bawah lampu baca. Di sampingnya tergeletak vas dengan bunga tulip segar di atas meja marmer kecil yang kubeli bulan April lalu. Leonard Pearson, kata mereka, ditembak mati di kepala. Meski darah menodai tubuhnya, ia masih tetap terlihat glamor, dikelilingi benda-benda berharganya. Terbayang olehku headline surat kabar yang memberitakan kematiannya. Pakar Pasar Modal Ditemukan Terbunuh. Jutawan Muda Tertembak Mati. Pengusaha Real Estate … Oh, surat kabar selalu menulis apa saja tentang dia.

Tetapi malam itu —atau menjelang dini hari— di kamar mayat ia tak lagi terlihat glamor. Detektif muda tadi —Zelman— membawaku untuk mengidentifikasi jenazahnya karena aku masih berstatus sebagai istrinya. Len terbaring telanjang berselimut plastik. Wajahnya tampak tenang. Ia terlihat seperti laki-laki yang kunikahi 21 tahun lalu, dengan tulang pipi yang gagah dan berkelas serta alis yang lebar namun lembut. Dan juga dagunya yang khas. Aku masih ingat, seorang teman menunjukkan fotonya kepadaku, dan dalam hati aku berkata, ”Ya, aku mau kencan dengannya.”

Aku mengangguk ke arah detektif, berusaha menahan air mata, ”Ya, memang benar, itu dia.”

Ketika detektif Zelman membimbingku keluar dari kamar mayat menuju rumah sakit, wanita itu ada di sana. Gloria. Ia duduk di kursi plastik, menelungkupkan tangan di wajahnya. Pundaknya berguncang karena tangis. Terlintas dalam pikiranku, untunglah aku mengenakan gaun bergaris abu-abu rancangan Donna Karan. Aku mengambilnya dari laundry kemarin, membuatku terlihat segar dan ramping. Kutengadahkan daguku.

Gloria mengangkat kepala ketika aku melintasinya. Ia pun berdiri dan menyodorkan tangannya kepadaku.

”Oh, Vicki,” katanya.

Tapi aku tak menanggapinya. Tak bisa.

Detektif Zelman membimbingku melintasi meja pendaftaran, menuju kursi tunggu.

Detektif Zelman seperti koboi, tinggi dan gagah, dengan kemeja berkancing dan sepatu boot lancip. Rambutnya yang pirang dibiarkan agak gondrong dan shaggy, matanya yang biru membuatnya terlihat baik hati, dan ia memang benar-benar baik hati. Ia duduk di tepi meja sembari mengayun-ayunkan sebelah kakinya. Matanya menatapku yang duduk dengan gelisah di kursinya. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan penjelasanku tentang laki-laki yang masuk ke rumahku.

”Ia menyebutkan namanya –mengandung huruf D– aku tak begitu ingat….”

”Tak apa, nanti juga ingat. Dan dia bilang pembunuhan itu dilakukan sedemikian rupa supaya terlihat seperti perampokan, kan?”

”Ya, kira-kira begitu. Aku tak tak terlalu ingat. Aku takut sekali.”

Seorang detektif lain –MacGowan— pendek dan gemuk, bersandar di dinding sambil meneguk kopinya. ”Suami Anda punya musuh?” tanyanya.





Penulis: Andrew Klavan




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?