Fiction
Tentang Lastri [1]

1 Jul 2013



Ini cerita tentang Lastri. Lastri yang telah kukenal sepanjang umurku. Sejauh ingatanku, Lastri sudah selalu berkeliaran di pekarangan belakang rumahku, sedari dulu. Lastri tinggal di rumah mungil bersama Mbok Darmi, neneknya, di ujung belakang halaman rumahku. Saking mungilnya, rumahnya lebih tepat disebut kamar. Kamar yang diisi dengan sebuah dipan berkasur tipis, lemari tua pendek penuh berisi barang pecah belah, puluhan lembar kain batik buatan tangan dan pakaian usang, serta sebuah tungku serbaguna.

Tungku itu terkadang untuk memasak, terkadang dipakai Mbok Darmi untuk mencairkan malam saat Mbok Darmi ingin membatik. Mbok Darmi suka membatik dan pintar membatik. Lastri suka membatik, tapi tidak tahu cara membatik. Aku dan Jani, adikku, suka membatik dan cukup bisa membatik.

Sering kali sepulangku dan Jani dari sekolah, kami bertiga duduk di dingklik kecil mengitari tungku, menggoreskan malam pada kain putih berpola. Lastri duduk saja beralas tanah. Sudah cukup gembira memandangi goresan kami menjelma menjadi sebuah karya. Lalu saat kain putih itu telah penuh tertutup lilin malam, Mbok Darmi akan memanaskan sepanci besar air di atas tungku, lalu dimasukkannya kain itu ke panci.

Lastri membantu mengaduk-aduk panci dengan sendok kayu panjang, menatap dengan terpesona saat lilin terlepas dari kain meninggalkan liukan pola indah kecokelatan. Hasil karya pertama kami persembahkan untuk Ibu di hari ulang tahunnya yang ke-41.

Aku tidak pernah tahu berapa umur Lastri. Yang pasti, dia cukup jauh lebih tua dariku dan Jani, karena Ibu selalu mengingatkan kami untuk menambahkan embel-embel ‘Mbak’ pada Lastri. Demikian cara orang Jawa menghormati orang yang lebih tua, kata Ibu.
Saat aku enam tahun dan mulai masuk SD, Lastri mengantarkanku ke pintu pagar dan memandangiku berjalan dalam gandengan Ibu. Lastri berdiri saja di pintu pagar. Dia masih ada di pintu pagar saat aku pulang beberapa jam kemudian. Menyambutku dengan seringai lebar. Seringainya makin lebar  tiap kali kutunjukkan kepadanya buku menulis halusku. Lastri suka garis-garis tipis yang menghias bukuku.

Saat kutunjukkan kepadanya cara menuliskan namanya, Lastri mengerutkan kening, lalu tertawa keras-keras, kesenangan. Lastri tak bisa membaca, tak tahu cara mengeja, tak paham huruf. Ditentengnya saja lembaran kertas bertuliskan namanya, lalu ditunjukkannya kepada  Mbok Darmi, yang juga tak paham huruf. Mereka tertawa bersama.

Sebulan sekali, saat tiba waktunya bagi Ibu untuk berbelanja kebutuhan bulanan, Ibu akan membawa pulang 3 bungkus gulali di kantong belanjaannya, sebuah untukku, sebuah untuk Jani, dan sebuah lagi untuk Lastri. Gulali itu selalu terlalu manis, berwarna merah terang, menempel lekat di gigi. Girang sekali kami dibuatnya.

Lastri suka menyimpan gulalinya di dalam stoples plastik transparan bekas biskuit, dipandanginya sebelum tidur. Sampai tiba saatnya si gulali menjadi sumber semut, Mbok Darmi pun membuangnya ke tempat sampah. Ketika aku dan Jani mulai remaja, Ibu berhenti membeli 3 buah gulali. Hanya sebuah saja yang selalu dibelinya. Untuk Lastri.

Lastri anak yang rajin. Tiap pagi dan sore, dua kali  tiap hari, disapunya pekarangan rumahku, depan dan belakang, yang luasnya sama dengan lapangan bulu tangkis di kantor kecamatan. Ibu juga memintanya mengangkut sampah kotor kami ke tempat pembuangan sampah di pasar. Lastri suka melakukannya. Tiap pukul 5.15 pagi, ditentengnya seplastik besar sampah, dibawanya ke pasar. Lalu pulang dan menyapu halaman. Begitu saja kerjanya tiap hari. Membuang sampah, menyapu pekarangan, lalu mengantarkanku bersekolah sampai pintu pagar.

Saat Jani mulai bersekolah juga, kesibukan Lastri bertambah. Ibu membelikan kami sebuah sepeda mini. Berboncengan aku dengan Jani menuju sekolah yang hanya sepelemparan kerikil dari rumah kami. Tiap pagi Lastri mengelap sepeda kami yang berwarna merah, menggosok belnya sampai berkilau mengilap. Sayangnya, Lastri tak tahu cara mengendarai sepeda. Jadi, dilapnya saja sepeda kami, tak pernah ikut menunggangi. Itu saja sudah cukup membuatnya kegirangan.

Sekali kuajak dia berkendara dengan Si Merah. Kubonceng dia di belakang. Berputar-putar kami sampai kantor kecamatan. Lastri sungguh kegirangan. Ibu marah besar karena kami lupa pulang. Sejak saat itu, Lastri tak mau lagi kuboncengkan.

    Ibu mengganti Si Merah dengan sepeda motor di tahun terakhirku di SMP. Senang benar rasanya. Tak perlu lagi mengayuh pedal, jadi berkeringat dan bau. Senangnya mengendarai sendiri sepeda motorku. Dengan helm warna kuning terang, aku sungguh menarik perhatian. Termasuk perhatian Winan, teman sekolahku yang tinggi, pendiam, namun cakap mengutak-atik alat elektronik. Winan, yang kemudian menjadi pacar pertamaku. Pria pertama yang kuajak pulang dan kuperkenalkan kepada Ibu bukan sebagai teman.

    Lastri tersipu malu saat kuperkenalkan kepada Winan. Menunduk saja ia sembari kakinya menggores-gores lantai teras. Lastri selalu menggoyang-goyangkan kaki ketika sedang gugup, atau bingung, atau malu. Winan mengangkat kedua alisnya bertanya ke arahku.

         “Ini Mbak Lastri. Yang bantu-bantu nyapu halaman rumah,” jelasku kepadanya.
          Winan hanya mengangguk tipis. Setelah Lastri berlalu, kuhabiskan satu setengah jam untuk menceritakan segala tentang Lastri kepada Winan. Winan pun paham.
    Winan mengisi hari-hariku hingga bertahun-tahun kemudian. Empat tahun kemudian, ketika aku lulus SMA dan memutuskan untuk melanjutkan sekolahku di Kota Yogyakarta, Winanlah yang mengantarkanku ke stasiun kecil di kota kami. Ditungguinya sampai keretaku melaju. Sesaat kulihat ia berlari mengikuti deru kereta, tangan melambai ke arahku. Dengan saputangan Ibu yang sengaja kubawa, kususut air mata. Pertama kalinya kutinggalkan kota kecilku. Jauh dari Ibu. Jauh dari Jani. Jauh dari Winan. Jauh dari Lastri. Jauh dari kota kecil yang amat kukenal.

    Masa-masa kuliahku berjalan cepat. Waktuku habis kuisi dengan membaca berbagai literatur dan karya sastra di perpustakaan kampus, belajar gamelan dan wayang di Balairung dan menulis surat-surat cinta panjang untuk Winan, kekasihku yang terpisah jarak ribuan kilometer. Kukatakan kepadanya untuk menyusulku di Yogya, mencoba mendaftar ke fakultas teknik sesuai minatnya. Winan bergeming. Alasannya selalu sama: “Bapakku sudah tua, tak ada yang menemani.”

              “Tapi, aku butuh kamu, Winan,” balasku, bermelodrama.
Di tahun ketigaku, hubungan kami kandas. Tak berapa lama kudengar ia menikahi salah seorang gadis di kota kecil kami. Luluh lantak aku karenanya. Dalam perihku, aku pulang mencari sandaran. Kutemukan Lastri, masih di kamar mungilnya di sudut belakang halaman rumahku. Mbok Darmi sudah tak ada kala itu. Bebas kusandarkan tubuhku pada Lastri, kubuang perihku kepadanya.

Lastri mengelus rambutku, tak berusaha menghapus air mata yang mengalir deras membasahi kaus putihnya yang pemberian Ibu. Aku tak tahu apakah Lastri paham. Yang kutahu, ia tak berhenti mengelus kepalaku hingga aku  tertidur di pangkuannya. Itulah kepulanganku yang terakhir.

    Aku tak pernah berhasil menemukan pengganti Winan. Tidak di Yogya, tidak pula di Jakarta yang kutinggali begitu berhasil kutamatkan kuliahku. Tak lagi kuinjakkan kaki di kota kecilku, meski Ibu terus-menerus memintaku pulang.

            Kataku selalu, “Maris mau jadi orang sukses dulu, Bu…  baru Maris pulang.”
            Toh, kuyakin Ibu pun tahu alasan sebenarnya aku tak mau pulang.
            “Pulang, Nduk… Ibu kangen,” kata Ibu, lewat sambungan jarak jauh.
             Terkadang Lastri muncul dalam obrolanku dengan Ibu lewat telepon, sekilas-sekilas saja. Kalau sedang ingat, tak lupa kukatakan kepada Ibu untuk menyampaikan salamku untuk Lastri. Begitu saja.

    Begitu saja, hingga tiga bulan yang lalu Jani menangis di telepon, memintaku pulang.
           “Ibu sakit, Mbak. Jani bingung,” ujarnya, di tengah sedu sedan.
            Kukemas tas mungilku, pulang untuk menengok ibuku yang sudah renta. Kutata hati kecilku, kuatur otakku, namun tak urung melayang ingatanku pada memori tahunan yang lalu, lambaian tangan Winan padaku, sesaat keretaku melaju.

    Jani menjemputku di stasiun. Kepang rambutnya yang sepinggang sudah tak ada, dipangkas pendek mempertontonkan lehernya yang jenjang. Jani kecilku sudah jadi mahasiswi tingkat akhir sekarang. Sekolahnya jauh di Surabaya. Aku menemuinya setahun sekali, bisa di Jakarta atau Surabaya. Yang jelas, bukan di kota kecil kami ini. 
Dipeluknya aku erat-erat.

“Sehat kamu, Jan?”  sapaku.
 Jani mengangguk kecil, menyodorkan helm ke arahku. Berboncengan kami pulang, menyusuri jalanan yang dulu kami lewati dengan Si Merah. Setumpuk haru meruap. Kotaku yang tak kusinggahi nyaris lima tahun. Kotaku yang kurindukan sekaligus ingin kulupakan. Kota Winan.

Lima tahun membawa perubahan besar pada kota kecil kami ini. Sudah ada sebuah mal sekarang, lengkap dengan sebuah bioskop ternama yang tak pernah sepi. Mobil-mobil menyesaki jalanannya yang sudah diperlebar.  Taman dibangun di tengah kota, dengan bangku-bangku panjang dan rumput hijau tebal, untuk mengimbangi perluasan jalanan dan banyaknya angkutan. Entah rumah siapa yang dikorbankan.

    Rumah kami pun telah berubah. Pohon sawo yang dulu berdiri tegak di halaman depan, sudah hilang. “Kesamber geledek,” kata Jani. Pagar yang dulu bercat cokelat putih nyaris tak tampak, tertutupi tanaman merambat dari ujung ke ujung. Yang masih sama hanyalah rumah mungil di sudut halaman belakang itu.

Dan Lastri. Lastri yang menungguku di pintu pagar pun masih Lastri yang sama. Tak tampak setahun pun lebih tua. Menyeringai lebar tanpa beban, dengan rambut ekor kuda bergoyang-goyang ketika dia berlari untuk memelukku.
“Apa kabar, Mbak Lastri… sehat, toh?” tanyaku.

 Lastri mengangguk-angguk saja. Masih sama seperti dahulu, Lastri tak pernah banyak bicara. Sekalinya bicara, suaranya agak cadel seperti bocah, sesuai dengan tingkahnya yang selalu bak anak umur enam tahun. Diraihnya tas mungilku, ditentengnya masuk ke dalam rumah.

Aku menengok Ibu yang tergolek di pembaringannya. Wajahnya pucat, namun senyum tergurat di sana saat melihatku.
“Kamu pulang, Nduk….” 
 Kupeluk tubuh tua ibuku, kucium tangannya yang kisut karena usia.
“Maris pulang, Bu… Maris pulang…,” ujarku, di tengah hamburan air mata yang entah dari mana datangnya.

Ibu mengusap puncak kepalaku.  Mencium keningku dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya. Sia-sia kubujuk Ibu untuk opname di rumah sakit, demi mendapatkan pengobatan dan perawatan yang lebih baik.

“Sudahlah, Nduk… Ibu memang sudah tua.  Tak lama waktu tersisa bagi Ibu.”     
Benar ternyata, Ibu hanya menungguku untuk pulang. Lepas subuh keesokannya, Ibu berpulang dengan tenang. Jani menangis kencang. Aku tergugu di pojokan. Lastri terdiam.
Sejak pemakaman Ibu, hidupku tak lagi sama. Bukan sekadar sepi yang kini membalut rumah. Bukan sekadar rasa kehilangan yang tak kunjung usai. Bukan malam-malam panjang tahlilan yang kulewati tuntas tujuh malam meski lelah luar biasa.

Hidupku tak lagi sama semenjak surat wasiat Ibu kubuka dan kubaca. Lembaran kertas bergaris dengan namaku, Amaris, tercantum di amplop depan. Jani mendapatkan amplopnya sendiri.
Surat Ibu panjang, empat lembar bolak-balik rapat terisi tulisan Ibu yang meliuk-liuk miring. Kususuri satu per satu, kalimat demi kalimat, dengan kerinduan yang membuncah pada sosok ibuku yang penyayang, lembut, dan aristokrat Jawa. Kuserap   tiap kata ‘Nduk’ yang digunakannya sebagai pengganti namaku.

Selembar foto terselip di antara lembaran-lembarannya. Ada gambar Bapak dan seorang wanita menggendong bayi di ranjang rumah sakit bersalin. Wanita yang masih amat muda, dengan seringai lebar layaknya anak enam tahun. Lastri. Lastri muda yang tak tampak sedikit pun berbeda dari ia yang sekarang, menggendong bayi. Bayi yang menurut surat Ibu adalah aku.

Sejak pemakaman Ibu, hidupku sungguh tak lagi sama. Sejak surat wasiat Ibu yang berlembar itu kubaca, segalanya menjadi tak sederhana. Kutinggalkan pekerjaanku sebagai penerjemah di kantor asing di ibu kota, pulang ke kota kecilku demi memenuhi wasiat Ibu. Aku pulang untuk merawat Lastri. Merawat ibuku.(f)


***
Dewati  Asih Perdani



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?