Fiction
Tanggul Kali Bedog [1]

21 May 2012

Aku adalah gerimis bulan Oktober
Kau spektrum ungu muda
Suatu pagi lebih indah saat terjaga
Melengkung di atas tanggul seribu sungai

Pria yang patah hati
Jalan raya Yogya-Bantul sore itu terasa muram, meski udara jernih dan segar. Hujan deras baru saja berhenti. Sisa-sisanya, yang berupa tetes-tetes air sehalus jaring laba-laba, melayang ringan terbawa angin sepoi. Saluran irigasi sepanjang tepi jalan diluapi air berwarna cokelat keruh yang menderu kencang, nyaris menggapai tepi-tepi tebingnya. Hujan yang baru turun benar-benar lebat. Sekarang, di atas aspal yang basah mengilat dan licin, berhati-hati karena tidak menguasai medan, Herumanto meluncur di atas sepeda motornya dengan kecepatan 40 kilometer per jam.

Dia ingin mengurangi tusukan hawa dingin yang menerobos ke balik jaket parasut birunya. Angin menampar dari muka, menyergap dari petak-petak sawah dan ladang jagung di kanan-kiri jalan. Sesekali, menyembul sendirian dan terpencil di tengah lautan hijau itu, tampak bangunan dari batako yang tak diplester. Heru melihatnya sepintas lalu saja.

Samar-samar dia merasakan kesepian dan keterasingan yang dibisikkan dinding-dinding bangunan itu. Namun, dia tak menoleh untuk meresapinya lebih lanjut. Motornya terus melaju. Telinganya menangkap suara mesin yang berputar datar bercampur desau angin. Dia akan sedikit melambatkan laju motor untuk mengurangi empasan angin yang tiba-tiba menerpa, sedikit minggir agar terhindar dari cipratan air dan memaki lirih bila terlambat melakukannya. Lalu, dia akan ganti dimaki oleh pengendara sepeda, yang kebetulan dilewatinya, saat motornya melintasi genangan dan menimbulkan cipratan besar yang memercikkan air kotor ke mana-mana. Tapi, memang beginilah cara melewatkan waktu seusai hujan di jalan raya, pikirnya tenang.

Suatu sore di akhir bulan Oktober 2000
Di jalan basah yang membelah tanah persawahan dan ladang tebu, di antara angin yang membawa bau air dan udara lengas, seorang pria berjaket parasut biru tua, menunggangi motornya, menuju masa depan yang tidak diketahui. Dengan acuh tak acuh, ia memikirkan, apakah pakaian dalam ransel besar di punggungnya basah atau tidak. Dia mulai menoleh ke kanan-kiri, mencari tanda-tanda yang dikenalnya. Kira-kira dia sudah menempuh beberapa belas kilometer dan sudah saatnya mulai mengenali daerah yang sedang dilalui. Nyatanya, dia terus berjalan dan tetap merasa asing dengan sekitarnya.

Barangkali, aku tersesat, pikirnya. Mungkin, seharusnya, berbelok di pertigaan tadi. Tapi, kelihatannya bukan belokan yang itu.
Motornya merayap terus dengan pelan, seakan enggan dan mulai bosan. Dia merasa lucu dengan pikiran tersesat tadi. Dia hanya harus menyusuri jalan raya, yang membentang nyaris lurus antara Yogya hingga Pantai Laut Selatan, melewati pusat kota yang kecil dan sunyi, terus mengikuti jalan utama, sampai di sebuah perempatan, berbelok untuk pertama kalinya, lalu sekali lagi memilih belokan yang tepat, membelah bulak persawahan panjang, lalu tiba di tujuan. Ide tentang tersesat benar-benar tak masuk akal. Dan, menanyakan hal itu pada seseorang hanya akan mengundang senyuman iba.

Namun, di manakah ‘belokan’ yang tepat itu?

Sementara dia mencari-cari dengan matanya, ingatannya tiba-tiba menghadirkan belokan lain. Belokan dan jalan raya lain. Tidak lurus, namun berliku-liku. Tidak di tengah hamparan sawah yang segar oleh hujan deras setengah jam lalu, serta ditunggui saluran irigasi yang airnya nyaris meluap. Jalan di kepalanya itu, dengan aspal yang sama mulusnya, meliuk-liuk menyusuri punggung bukit, yang jarang disinggahi hujan. Gersang dan terik. Namun, di kejauhan dia bisa melihat laut, yang birunya mengalahkan warna langit, dan yang membuat bukit-bukit tandus itu mendadak terlihat cantik.

Begitulah kesannya saat pertama menyusuri jalanan di luar kota Dili dalam sebuah angkutan umum yang penuh sesak. Kira-kira sepuluh atau sebelas tahun lalu. Kesan itu tak berubah dalam tahun-tahun berikutnya, ketika untuk kedua, ketiga, kesepuluh, dan entah keberapa kalinya, dia melewati jalan yang sama. Meski semua itu lalu menjadi rutinitas, dia tak pernah kekeringan ide untuk menerjemahkan keindahan yang dilihatnya melalui pigura berbeda.
Begitulah caranya melawan kejenuhan, yang dari waktu ke waktu terus mengintai, seperti singa lapar di tepi Padang Kalahari, diam menunggu lengahnya anak antilop (sejenis kijang), merunduk di belakang belukar, hati-hati dan sabar, lalu pada saat yang tepat, menerkam dengan kepastian mematikan.

Kadang-kadang, pada saat-saat terburuk, dia menyesali hari, ketika pak pos mengantar surat panggilan itu. Lalu, dia, tanpa pikir panjang, mabuk oleh kegembiraan seorang pengangguran, yang berhasil mendapat pekerjaan, setelah beberapa kali kegagalan, menerima penugasan di sebuah SLTP di luar kota Dili nyaris dengan sukacita. Tapi, sukacita itu adalah sisa-sisa pembawaan mahasiswa idealis yang naif dan sepenuhnya masih mentah.

Betapa mentah, pikir Heru bertahun-tahun kemudian, sambil mengingat-ingat perasaannya waktu itu. Seseorang yang datang ke dunia tak dikenal hanya dengan tangan kosong dan huruf-huruf besar terpahat di benak: BERJUANG.

Benar, dia membayangkan suatu perjuangan atau sesuatu yang se­rupa dengan itu. Dia memang menyiapkan diri. Namun, sebenarnya, dia tak betul-betul tahu, medan macam apa yang bakal dimasukinya, kecuali informasi dari mulut ke mulut dan sedikit berita dari koran.

Pada akhirnya, dia memang harus berjuang, tapi untuk sesuatu yang ternyata jauh lebih sulit daripada tugas mencerdaskan bangsa, yang kelihatan dan kedengaran (dan sesungguhnya) begitu mulia. Berjuang untuk hidup dan bertahan hidup di tengah masyarakat, lingkungan, situasi serta segala sesuatu yang asing, dan diam-diam juga menganggapnya asing.

Dia tiba di Dili dalam sebuah rombongan besar guru, perawat, dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap), pegawai entah apa, yang hampir semua masih muda, lulusan terakhir. Dan, sepasukan tentara.

Kemudian, hari-harinya sebagai pengabdi, pejuang, perantau, dan orang yang kesepian, dimulai. Ada kalanya, dia merasa, waktu yang dilewati begitu berat. Lalu, kejenuhan, kebencian akan rutinitas yang sering kali dipertanyakan manfaat dan kebaikannya, memangsanya tanpa belas kasihan. Kesunyian muncul dengan sempurna. Pada saat seperti itu, dia sering berpikir tidak sabar, kapan masa tugasnya akan mencukupi untuk mengajukan surat permohonan pindah. Persetan dengan pengabdian.

Lalu, datanglah Hesti. Seorang perawat dengan begitu banyak darah mengalir di tubuhnya. Jawa, Makassar, Timor, dan sedikit Portugis. Suatu hari Heru mengantar murid yang mendapat kecelakaan kecil pada pelajaran olahraga. Puskesmas penuh. Dia ingin luka muridnya segera ditangani. Tapi, petugas di pintu depan, yang lebih berbakat sebagai birokrat daripada perawat, berkeras agar dia mendaftar lebih dulu, dan antre.

Ketika pembuluh-pembuluh darahnya yang membengkak oleh kecemasan nyaris meledak dipicu rasa marah, seseorang menggamit lengannya. Dia berpaling, masih dengan amarah, siap memuntahkannya. Lalu, terbungkam. Seorang gadis berseragam putih tersenyum, tanpa kata-kata memberi isyarat untuk mengikutinya. Kejadian selanjutnya, yang dia ingat adalah luka muridnya dibersihkan, mendapat tiga jahitan, diperban, dan terakhir dokter menuliskan resep. Semuanya tak lebih dari sepuluh menit. Tapi, waktu sesingkat itu telah mengubah raut kesakitan dan ketakutan muridnya kembali normal.

Hesti berumur 22 tahun, pemilik senyum terindah di antara semua senyum yang pernah ditaburkan manusia di muka bumi ini.

Heru menghentikan motornya di ujung sebuah perkampungan, di depan kios bensin kecil yang sudah tutup. Tapi, dia melihat pintu kios itu separuh terbuka. Lagi pula, ada seorang pria sedang menata botol dan jerigen-jerigen kosong di rak depan kios, siap menentengnya ke dalam.

Dia memberi salam, minta maaf dalam bahasa Jawa halus, lalu menanyakan arah. Ternyata, jalan yang dicarinya telah lampau. Dia harus berbalik sekitar dua kilometer, kemudian pada pertigaan kedua berbelok ke kiri. Itulah belokan yang dicarinya. Dia mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke motornya, diiringi tatapan pemilik kios bensin, yang pikirannya mengatakan, ”Tidak tampak seperti wisatawan, meski ransel besar di punggungnya memberi kesan demikian. Terlalu tua untuk seorang mahasiswa. Tamu dari jauh? Petualang? Jangan-jangan malah orang jahat? Zaman sekarang, wajah orang jahat kelihatan lebih baik dari orang yang benar-benar baik.”

Heru mengikuti rute yang ditunjukkan padanya. Motornya berjalan pelan. Dengan hati-hati dia memerhatikan jalan yang dilalui. Pertigaan pertama, sebuah jalan kecil beraspal yang muncul dari cakrawala membelah persawahan, lalu bergabung dengan jalan raya utama, dilewatinya. Sebentar kemudian dia melihat sebatang pohon asam besar di kejauhan. Di sebelah pohon itu ada jalan beraspal yang menjulur di antara petak-petak sawah menuju sebuah pulau hijau di kejauhan, yang sebenarnya adalah perkampungan yang dicarinya. Dia membelokkan motornya, lalu dengan lega mulai mengenali jalan yang pernah ditempuhnya seminggu lalu.

Mereka berpacaran setahun, lalu menikah secara sederhana. Orang tuanya tak bisa datang. Malam pertamanya diisi oleh ulangan kisah panjang masa kecilnya. Cerita tentang sawah keemasan di musim panen, tentang Kali Serayu di pinggir desa, musim layang-layang, saudara dan teman-temannya, dan banyak hal lain, yang pada saat itu hanya terasa seperti mimpi, yang takkan pernah terulang.

Hesti mengusap lengannya lembut, lalu berbisik, “Aku punya sedikit tabungan. Dulu, aku berharap, suatu ketika nanti dapat pergi ke Jawa dan melihat kota-kota di sana.”

Dia memiringkan tubuh. Dipeluknya Hesti penuh rasa syukur.

Tahun berikut dia membawa istrinya ke kampung halamannya di pedalaman Pulau Jawa. Dengan kebanggaan seorang pria yang sedang jatuh cinta, ia memperkenalkannya pada semua kerabat dan tetangga. Selanjutnya, dia merasa Dili tidaklah terlalu buruk dengan adanya seorang istri. Dia bahkan mulai menyukainya. Untuk pertama kali dia tidak lagi berpikir tentang pulang. Perasaan asing yang selama bertahun-tahun menghantuinya di Tanah Loro Sae itu, perlahan-lahan menghilang.

Hesti masih bekerja di puskesmas, kemudian dipindahkan ke sebuah rumah sakit, yang namanya tak ingin dia ingat. Di tempat itu pula dia meninggalkan bayi perempuan, yang tak pernah sempat mengingat wajah ibunya, juga seorang pria yang patah hati.


Penulis: Wahyuni Sayekti Kinasih
Pemenang Pertama Sayembara Mengarang Cerber femina 2006



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?