Fiction
Sunyi [6]

12 May 2012


Kamar mandi adalah tempat yang paling kusukai. Aku betah berlama-lama di dalamnya. Alasannya diare, padahal aku muntahkan kembali semua sampah itu. Alasannya sakit perut, padahal aku melamun, sambil mendengar gemercik air dari keran. Aku tak peduli bila karena itu aku kembali harus diseret Ibu. Dulu, sebelum remaja, ia gemar mengajakku ke dokter, berganti-ganti obat, karena keheranannya pada tubuhku. Tubuhku yang kurus, ‘diare’ yang tak kunjung henti, sakit perut yang tak juga lenyap.

Ibu tak juga mengerti. Ya, pintu kamar mandi masih lebih enak dilihat dibandingkan harus menghadapi kemarahannya. Aku takut bertemu dia. Takut disuruh makan lagi. Takut ditampar lagi kalau aku menolak makanan yang disodorkan. Sering kali tenggorokanku luka, karena terlalu sering kupaksa untuk mengeluarkan sampah-sampah yang masuk.

Aku juga tak peduli mendengar ocehan, omelan, dan keluhannya, karena ia harus banting tulang untuk membiayai pengobatanku. Sakitkah aku? Terkadang, aku merasa sehat. Namun, di saat lain aku merasa begitu sakit. 
Hidupku makin nista saja rasanya. Aku makin yakin, aku tak punya harga untuk hidup. Jadi, untuk apa diperpanjang? Tekadku  makin bulat. Malam seusai sidang, aku merasa amat lelah. Baik fisik maupun jiwa. Lelah fisik karena semalaman aku hampir tak tidur karena belajar untuk sidang pagi harinya. Belum lagi malam-malam sebelumnya. Namun, jiwaku lebih lelah lagi. Sepagian jantungku berdebar tak keruan, tanganku gemetar, dan dadaku sesak. Aku beruntung tidak sampai pingsan!

Pulang ke rumah, aku mendapat amukan luar biasa dari Ibu, ketika ia tahu nilaiku hanya C. Ia tidak tahu perjuanganku untuk C itu, termasuk agar tidak pingsan di hadapan para dosen pe­nguji. Cukup. Cukup sudah. Aku merasa, kewajibanku untuk lulus kuliah sudah selesai, meski hasilnya jauh dari yang dapat dibanggakan Ibu. Aku teringat semua sisa obat yang selama ini tak pernah kuhabiskan. Kukumpulkan butir-butir itu menjadi satu. Kubawa sebotol besar air ke dalam kamar.

Aku lelah, Ibu. Aku bukan anak kecil yang bisa kau tendang, kau ma­ki, kau tampar, kau pukul, kau tarik rambutnya…. Kalau kehadiranku tak per­nah kau harapkan, mungkin kematianku akan membawa kelegaan bagimu.

Pukul 12 malam. Kuharap, Ibu sudah mendengkur, karena lelah mengamuk sejak siang. Kuraup obat berwarna-warni itu. Obat flu, obat jantung, obat penenang, obat asma, obat diare, apa pun, aku tak peduli! Aku percaya, semuanya akan bersatu dan bereaksi menjadi racun hebat di dalam tubuhku, untuk membawaku pergi.

Aku tak tahu, sudah berapa kapsul atau pil atau tablet yang melewati kerongkonganku. Yang pasti, setelah beberapa saat, aku merasa melayang. Terdengar suara jeritan Ibu. Aku merasa tubuhku diguncang. Dan, aku tak tahu, mengapa ketika Ibu melayangkan tangannya ke pipiku, aku tak marah lagi. Aku merasa tak lama lagi semua akan berakhir. Tak akan lagi kulihat matanya mendelik, seperti orang kesurupan, ketika marah.

Aku tertawa geli, bahagia melihat bayangan samar Ibu yang menjerit dan membuang botol berisi obat-obatan yang masih ter­ge­letak di meja dekat tempat tidurku. Maaf, Ibu, aku tak sempat membereskannya lagi, aku tak peduli bila semuanya berantakan, karena aku akan pergi jauh. Aku bahagia karena merasa menang melawannya.

Antara sadar dan tidak, aku merasa ada seorang pria yang menggendongku dengan paksa. Seketika aku menolak dan meronta-ronta. Sesudah itu kegelapan menyelimutiku. Aku tak ingat apa-apa lagi. Beberapa hari kemudian, aku baru tahu bahwa pria itu adalah seorang tetangga, yang baru satu bulan menyewa rumah di sebelah kanan rumah kami. Dokter Wisnu.

Hal pertama yang kulakukan ketika aku sadar adalah marah! Ya, aku marah, terutama pada orang yang sok pahlawan menyelamatkanku. Aku marah, karena aku tak berhasil pergi dengan rencana yang sudah kususun! Aku frustrasi. Kukira, aku telah pergi jauh, melintas batas langit. Namun, ternyata, aku malah terdampar di sebuah ruangan putih berbau obat, sambil merasa ketakutan setiap detik, setiap menit. Takut bertemu Ibu. Takut pulang.

Beberapa perawat menasihati, aku harus bersyukur karena Tu­han menyayangiku. Karena, aku masih hidup. Utuh, tanpa ke­rusakan. Kalian tidak tahu, apa yang menantiku di rumah.

Kedatangan Dokter Wisnu untuk menengok, kusambut de­ngan lemparan botol minum. Aku muak ketika tahu bahwa ia menolongku. Aku benci dia, aku benci Ibu, aku benci hidupku, aku benci semuanya! Tapi, aku tak tahu, mengapa ia begitu sabar menghadapi luapan emosi keputusasaanku. 

Namun, ternyata, aku salah besar. Ia menguatkan aku. Sedikit demi sedikit mengobati luka jiwaku yang sudah berdarah semenjak aku mengingat dunia. Satu hal yang tak pernah ia sadari, kebencianku pada Ibu tak pernah pupus, tak pernah surut. Makin aku merasa diriku kuat, makin besar hasratku untuk menaklukkan Ibu, menyakiti Ibu….

Selama proses pemulihanku, kami menjadi sahabat. Dokter Wis­nu bercerita, selama satu bulan sejak kepindahannya, ia sering merasa curiga mendengar suara makian dan jeritan Ibu. Ia ingin menolong, tapi tak tahu bagaimana caranya. Hingga pada tengah malam itu, ia terkejut mendengar jerit ketakutan Ibu. Ketika menerobos masuk, ia melihatku terkapar. Secara tak langsung, ia mengerti apa yang terjadi, mengapa itu terjadi. 

Aku tak tahu, harus berterima kasih atau menyesali pertolongannya. Aku tak tahu, lebih baik hidup atau mati. Tapi, kehadirannya telah membantuku menata hidup. Aku mulai mencari pekerjaan. Aku belajar menggapaikan tangan dan keluar dari kungkungan masa laluku yang amat gelap.

Ibu tak melarang aku bergaul dengan dokter itu. Ibu bilang, aku ‘gila’ dan membutuhkan bantuan dokter jiwa untuk mengatasi kegilaanku. Bila ada dokter gratis yang mau menolongmu, mengapa tidak? Kau sudah menghabiskan uangku terlalu banyak hanya! 

Aku tak peduli apa pun komentar Ibu. Ada rasa dendam yang begitu membara, hingga semangatku terpecut untuk segera bangkit. Cita-citaku saat itu hanya satu, mencari cara untuk segera keluar dari rumah itu! Aku ingin menghidupi diri sendiri dan pergi meninggalkan Ibu. Aku bukan lagi anak kecil yang ketakutan bila Ibu mengancam akan mengusirku keluar dari rumahnya.

Kalau benar Tuhan itu ada, Ia sungguh menolongku kali ini. Aku bekerja sekeras-kerasnya dan sebaik-baiknya. Aku sabar menunggu saat yang tepat. Aku menyewa sebuah kamar kos ketika gaji mencukupi. Aku amat hemat. Bahkan, kadang-kadang uang makan tak kupakai sama sekali. Sebagian uang selalu kusisihkan untuk disimpan dan sebagian lagi untuk Ibu. Bukan karena aku anak berbakti dan tahu membalas budi. Tidak. Aku hanya tak ingin Ibu memaki aku pelit. 

Ibu tak tahu, aku sudah menyusun rencana ini dengan matang. Baju dan benda-benda milikku yang tak seberapa jumlahnya, sudah kuselipkan di dalam tas kerjaku. Sedikit demi sedikit setiap hari. Lalu, menyimpannya di kamar yang telah kusewa, setiap kali sepulang kantor. Ibu tak pernah curiga, karena aku jadi pandai bersandiwara, berusaha bersikap wajar, seolah-olah aku masih di dalam genggaman kekuasaannya. Hingga kurasa apa yang kubutuh­kan sudah mencukupi, aku tak pernah pulang lagi ke rumah.

Waktunya memang kuatur sedemikian rupa. Aku takut Ibu mencariku ke kantor. Karena itu, aku mengajukan surat pengunduran diri jauh-jauh hari dan keluar dari rumah di hari terakhir aku bekerja. Kukatakan, Tuhan sungguh menolongku, karena tak kusangka aku memperoleh pekerjaan baru dengan mudah. Aku tak pernah menganggur. Dan, jelas-jelas, aku tidak akan jadi gembel, seperti yang selalu dikatakan Ibu ketika mengancam akan mengusirku dari rumah. Benar, aku bukan lagi anak kecil yang selalu ketakutan dengan tubuh mengerut. Kini, aku sudah dewasa. Sudah kuat, walau mungkin masih rapuh di dalam. Tapi, yang pasti, aku tak membutuhkan Ibu.

Sejak keluar dari rumah, aku berhenti berkonsultasi pada dokter baik hati itu. Aku tak nyaman bila ada yang tahu tentang diriku terlalu banyak. Aku pun tak nyaman saat merasa ada ketergantungan dan kebutuhan untuk bertemu dengannya. Bukan karena jatuh cinta padanya, tidak. Aku masih merindukan Yo. Aku hanya tak mau tergantung pada seseorang, sebagaimana aku membutuhkan Ibu dulu. Ingatan akan hal itu membuatku merasa terpenjara.

Satu kali aku datang ke tempatnya. Aku ingin berterima kasih, karena kesabarannya, aku dapat menjadi kuat dan berhasil keluar dari rumah Ibu. Sesungguhnya, ia tidak menyetujui kepergianku, walau ia dapat memahaminya.
Ia hanya menatapku. “Di mana saya dapat menghubungimu? Saya takut terjadi sesuatu pada ibumu. Bagaimanapun, beliau sudah tua, kupikir, tentunya, kau ingin tahu bila terjadi sesuatu padanya, kan?”

Aku hanya ingin dikabari bila terjadi sesuatu yang buruk menimpanya.Karena, hanya itu yang kuharapkan!

Aku memberikan nomor telepon tempat kosku. “Saya ha­nya dapat dihubungi malam hari, Dokter. Saya juga mau mengatakan bahwa sekarang saya sudah sehat dan jauh lebih kuat. Terima kasih banyak.”

Aku membohonginya. Aku tak sekuat yang kukatakan. Ia tak tahu, ada beberapa hal yang tak pernah hilang dari diriku. Suara-suara di kepala yang masih kumiliki hingga detik ini, mimpi-mimpi buruk yang seakan tak pernah berakhir, kerongkongan yang kadang-kadang luka karena aku masih merasa nyaman saat memuntahkan makananku, kebencianku pada cermin....

Hampir dua tahun setelah kepergianku dari rumah, suatu siang Dokter Wisnu mengabari Ibu terserang stroke. Ibu mengalami kelumpuhan saraf hingga tak dapat berjalan lagi. Paman Satrio yang membawanya ke rumah sakit. Masalahnya, Paman merasa keberatan menanggung semua biaya. Dengan uang tabungan yang tak seberapa, Paman kewalahan melihat tagihan rumah sakit. Jadi, ia mengusulkan pada Ibu untuk menjual rumah kami. 

Ah, aku melihat kesempatan emas di depan mataku untuk membalas dendam! Sungguh aku berterima kasih kepada Dokter Wisnu yang telah menyampaikan kabar ini. Karena, setelah masa kontrak rumah Dokter Wisnu di sebelah rumah kami berakhir, kupikir, aku tak akan pernah mendengar kabar Ibu lagi. Rupanya, nasibku memang baik. Ibu dirawat di salah satu rumah sakit tempat Dokter Wisnu praktik. Ia segera mengenali suara Ibu, yang berteriak-teriak marah pada Paman, saat Paman minta izin menjual rumahnya.

Lalu, sisanya, semua jadi begitu mudah. Yang perlu kulakukan hanya datang ke rumah Paman dengan manis dan mengutarakan maksudku. Kukatakan pada Paman, bahwa sebagai putrinya, aku merasa bertanggung jawab untuk merawat Ibu dan menye­sal telah pergi meninggalkannya tempo hari. Jadi, sekarang aku hendak memperbaiki kesalahanku dan mengurusnya seusai dari rumah sakit nanti. Hanya sayangnya, pekerjaanku yang sekarang tak memungkinkan bagiku untuk sering berada di rumah, karena harus sering bertugas ke luar kota. Begitulah alasanku.

                                                                                           cerita selanjutnya >>

Penulis: Inawati


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?