Fiction
Sunyi [4]

12 May 2012


Setelah hari itu, telepon dari Dokter Wisnu tak pernah berhenti. Namun, tak pernah kuterima. Aku tak ingin mendengar apa pun tentang Ibu. Cukup kukirim biaya perawatannya setiap bulan, dan kuteruskan hidupku. Hidup yang tak pernah kutahu, untuk apa kujalani. Bergulir seperti jarum jam, dari detik ke menit menuju jam. Pergi ke kantor, menghadiri rapat, lembur, tidur, makan, mandi, tanpa ada rasa. Aku memang takut memiliki perasaan. Sudah cukup kurasakan semua ocehan di kepalaku. 

Sudah cukup aku sengsara karena kebisingan suara, yang harus kutepis setiap waktu, kalau aku tak mau berakhir seperti Ibu, tinggal di tempat itu. Atau, jangan-jangan, aku sudah harus menabung untuk nanti, sekiranya aku memang akan berakhir di tempat itu.

Kadang-kadang, aku lelah dan ingin menerima tawaran Dokter Wisnu. Terbayang, betapa damainya berhadapan dengan wajah sabar itu. Betapa tenteramnya merehatkan jiwa di ruangan praktik miliknya. Entah mengapa, semua itu tak ingin kuwujudkan. Meski aku ingin menghilangkan suara-suara di kepalaku, aku merasa, segala usahaku akan sia-sia. 

Masih ada hal lain yang ingin kucari. Aku ingin mencari cinta. Aku ingin dikasihi, disayangi. Juga, aku ingin dapat mengasihi dan menyayangi seseorang secara normal. Hal yang selama ini tak mampu kumiliki. Hal yang selama ini tak mampu kutebus, walau materi kini sudah kudapat. Hal yang selama ini menjadi kemis­kinan tersendiri bagiku, karena ketidakmampuan hatiku menga­lami hal-hal seperti itu. Dan, aku benci Ibu karena itu.

Ia membuatku selalu merasa gagal. Gagal karena aku menja­di miskin cinta, miskin kepercayaan pada diri sendiri maupun pada keberadaan Yang Kuasa, miskin kepercayaan pada orang lain. Hing­ga kini aku tak punya sahabat karib, yang membuatku berani bercerita tentang suara-suara di kepalaku….

Aku pun tak dapat mencintai diriku sendiri. Aku bahkan sudah terbiasa dianggap dan dipandang ‘aneh’ oleh orang-orang di sekelilingku. Terkadang, aku ingin membisu di tengah keramaian. Tapi, di saat lain aku tak dapat mengendalikan mulutku. Kepalaku terlalu penuh. Aku tak menyalahkan mereka jika mereka tak mengerti sikapku. Karena, mereka tak pernah mengalami apa yang kualami. Aku hanya iri pada mereka. Iri pada kenormalan hidup orang lain. Dan, semua kekacauanku ini tak ada yang tahu. Kecuali, dia, Yo.

Aku amat merindukannya. Hanya dia yang sanggup membuat jantungku berdegup tak berirama. Hanya dia yang sanggup membuat mimpi burukku selama bertahun-tahun menjadi mimpi indah dan dapat membuatku menyambut pagi dengan senyum. Hanya dia yang pernah mengerti diriku. Hanya dia yang tak pernah memandangku aneh. Dan, cuma dia satu-satunya orang yang pernah kuceritakan mengenai Ibu dan suara-suara di kepalaku.

Tapi, semua sudah berlalu. Aku harus melupakannya, menguburnya pada liang terdalam pada ingatanku, dan tak pernah kugali lagi. Hanya, sayangnya, aku tak pernah mampu. Bahkan, semua keingin­an itu menguap entah ke mana, saat aku menerima telepon darinya dan mendengar suaranya lagi.

“Nina, ini aku.” Napasku terhenti sesaat.

“Apa kau masih ingat padaku?”

Dalam tidur pun aku tetap dapat mengenali suaranya.

“Yo…,” tanpa sadar aku menyebut namanya, lirih.

“Ah, kau masih ingat suaraku, Nina! Apa kabar?”

Aku membentak suara di kepalaku agar tidak bersorak.

“Aku sudah lama ingin menghubungimu, tapi takut mengganggu. Menyesal sekali sewaktu di kafe kemarin kita tak sempat ngo­brol,” lanjutnya. “Bagaimana keadaanmu? Kudengar, posisimu di kan­tor sudah lumayan, ya?”

Aku mengeluh tanpa sadar.

“Hei, jangan diam, dong. Kau tidak suka aku meneleponmu?”

Bukan, masalahnya, aku tidak suka pada kenyataan bahwa hanya kau yang pernah membuat hidupku merasa berarti.

“Maaf, aku tidak bermaksud begitu.”

“Sore ini aku senggang. Kuharap, kau bisa meluangkan waktumu untuk bertemu. Nanti kita bisa ngobrol lebih enak. Bagaimana?”

Jangan mau! Kau mau mengulangi kesalahan yang sama? Bodoh!

“Ayolah, Nin, kita sudah lama tak bertemu.”

Tenggorokanku tercekat. Otakku melarang, tapi hatiku sebaliknya. Apa yang harus kulakukan?

“Nina, aku janji, kita hanya ngobrol. Tidak lebih. Paling tidak, kita pernah jadi sahabat baik, bukan? Apa kau masih takut padaku?”

Cepat kuusap air mata yang meleleh. Takut? Tidak! Aku merindukanmu! Aku justru takut pada diriku sendiri!
“Mengapa aku harus takut padamu?” akhirnya aku bersuara.

“Maaf, hanya dugaanku saja. Berarti, kau setuju?”

“Sore aku tak bisa. Ada yang harus kuselesaikan. Malam saja.”

“Oke, sekalian makan malam saja.” 

Kudengar suaranya lebih santai, tak seserius tadi. Pasti ia sedang tersenyum simpul di seberang sana. Aduh, Tuhan, aku kangen sekali melihat senyumnya. Hush! Lihat, Nina, kau mulai tak bisa mengendalikan diri.

“Mau bertemu di mana?”

“Warung favorit kita digusur, ya?. Bagaimana kalau di hotel?”

Hotel? Hotel identik kan dengan kamar.

“Ehm, lebih baik di kafe dekat kantorku saja, lebih strategis.”

Kudengar suara tawanya. “Kita ke hotel dekat kantormu. Ada restoran yang baru buka di sana. Aku belum pernah mencobanya. Tapi, kata teman-temanku, suasana dan makanannya enak. Tapi, terserah kau saja.” 

“Baiklah, kita coba rekomendasi temanmu. Setengah delapan?”

Aku tak mau banyak bicara lagi.

Aku tak pernah bermimpi akan duduk dan makan bersamanya lagi. Mungkin, aku harus belajar dewasa, melepaskan masa lalu. 

Aku sengaja datang terlambat. Lebih enak ditunggu daripada menunggu. Aku tak mau memberi kesan niat sekali bertemu dengannya. Hmm, dia masih suka duduk di tengah-tengah ruangan seperti dulu. Biar belajar untuk percaya diri kalau dilihat orang. Begitu katanya dulu.

Kami lalu duduk berhadapan. Kebisuan menyelimuti setelah kami memesan menu. Oh, ternyata aku memang amat merindukannya. Tiga belas tahun. Ternyata, waktu yang terentang tak meng­ubah perasaanku padanya. Ia memandangku dalam, tanpa menya­d­ari bahwa mungkin mataku juga telah mengatakan beribu arti. Aku masih mengingatnya seperti kemarin. Masih mengingat geng­gaman tangannya yang hangat, pelukannya yang nyaman, kata-katanya yang menghibur. Aku terbawa perasaan saat memandang mata kelamnya dalam-dalam. 

Rasa maluku menguap entah ke mana, saat ingatan menyatu dengan detik ini. Kerinduan yang melimpah ruah telah menga­lah­kan segalanya. Sesaat jiwaku menjerit, ingin merengkuhnya kem­bali ke dalam kehidupanku. Walau aku tak tahu, apakah masih ada ruang dalam hatinya untukku. Suara-suara di kepalaku bising berceloteh mengecamku. Tapi, jeritan jiwaku yang menang. Sesungguhnya, aku tak dapat berbohong pada lubuk hati yang terdalam, tak peduli betapa munafik dan kerasnya kusangkal, aku masih mencintainya.

Cinta? Aku tersentak sadar kala kata itu terpental keluar dari otakku. Konyol! Bodoh! Jangan katakan itu lagi. Dia bukan untukmu. Dia bukan milikmu, Nina! Kalian tidak dapat saling memiliki! Tak pantas! Apa kau lupa mengapa kalian berpisah? Dan, kau harus selalu ingat, tak pernah ada masa depan dalam hubunganmu bersamanya. Jangan bermimpi, Nina!

                                                                                        cerita selanjutnya >>

Penulis : Inawati




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?