Fiction
Sunyi [2]

12 May 2012


Aku mencuci tangan pelan-pelan, mencuci bersih semua sela jari.

Ya, kau harus mencuci tanganmu yang kotor itu, kotor seperti bapakmu!

Kulirik wanita bertubuh gempal di sebelahku, yang sedang me–rapikan rambut anehnya. Perutku terasa penuh. Segelas besar iced latte, sepiring kentang goreng, caesar salad, apple pie, entah apa lagi. Kalau ada Tris, pasti ia akan kupaksa membantu menghabiskan pe–sananku. Sayang, ia tak jadi datang.

Aku tak suka pada pantulan wajah di cermin ini. Kuraba pipi yang penuh daging, seperti kue bantal. Apa kata Ibu nanti? Apa kata orang-orang di kantor bila melihat tubuhku seperti karung beras berjalan? Ah, Ken pasti akan kesenangan setengah mati melihatku gendut. Tentu ia berharap aku akan putus asa karena dicampakkan keluarga Tanaka! Bagaimana mungkin aku dapat melakukan presentasi dengan penuh rasa percaya diri, bila tubuhku bulat? Aku harus melakukan sesuatu!

Wanita gemuk tadi sudah keluar. Aku tak mau badanku jadi seperti dia. Aku segera masuk ke dalam pintu paling pojok, kukeluarkan sebatang bambu kecil kesayangan yang selalu tersedia dalam tas, pelan-pelan memasukkannya ke dalam kerongkonganku. Tak lama kemudian, seperti biasa, aku merasa lega.

Sato kini sungguh-sungguh hilang dari hidupku. Aku mulai merasa kehilangan perhatian, yang telah memanjakanku selama empat bulan terakhir. Sehari setelah aku mendapat teguran dari Mr. Tanaka, Sato menjumpaiku untuk berpamitan. Menyampaikan kabar bahwa ibunya sedang menjalani perawatan di Tokyo. Entah sakit apa, tapi tampaknya serius. Yang pasti, ia harus segera pergi untuk menemaninya.

Ia memintaku untuk menunggu kabar darinya dan mengatakan bahwa ia amat menyukaiku, mengasihiku. Aku hanya terdiam. Tak ada ’ya’, atau ’tidak’. Aku hampir tak dapat bernapas mendengar kata-katanya. Meski aku tak punya rasa cinta, lebih dari seorang sahabat, ini sungguh mengejutkan. Terlepas dari perasaanku bahwa aku memang tak layak baginya.

Aku termangu saat ia menggenggam erat jemariku. Mera–sakan ketulusan dan kehangatan tatapannya. Ia terlalu baik dan terlalu tampan. Aku tak pernah mengerti, bagaimana mungkin ia dapat menyukaiku. Gadis yang selalu dianggap aneh. Gadis paling tak acuh dan berwajah paling sederhana dibandingkan yang lain. Aku pun tak dapat memahami hatiku, mengapa aku tak bisa jatuh cinta padanya. Normalkah aku? Layakkah aku dicintai? Disayangi?

Air mataku bergulir, ketika kubuang pandang, menatap lampu kota Jakarta, yang berkelip indah dari lantai 27, tempat kami duduk tanpa menyentuh piring makanan masing-masing. Aku memang tak pernah mencintai Sato, tapi ia dapat membuat diriku merasa berharga ketika ia memerhatikanku. Dan, aku akan kehilangan perhatian itu tak lama lagi.

Ini membuktikan bahwa aku sesungguhnya memang tak layak bagi pria mana pun! Bahkan, Mr. Tanaka tak sudi mendengar kabar bahwa anaknya berhubungan denganku. Benar kata Ibu, aku tak cukup berharga, tak cukup cantik, tak cukup baik. Aku anak yang tak pernah diinginkannya sejak semula.

Sato tak pernah tahu apa arti air mataku yang jatuh bergulir saat itu. Mungkin, ia berpikir, aku menangisi kepergiannya, takut kehilangannya. Andaikan ia dapat mendengar jeritan jiwaku kala ia menghapus air itu dari pipiku, ia akan tahu keputusasaanku, ke–takberdayaanku menghadapi kenyataan. Kenyataan bahwa aku tak dapat mencintai sosok sesempurna dia, terasa jauh lebih memilukan dibandingkan kepergiannya….

Jiwaku sudah banyak sekali mengerang kesakitan. Namun, kali ini, eranganku terasa lebih tragis. Kehadiran sekaligus kehilangan Sato membuatku makin mengerti diriku sendiri. Kenyataan yang selalu kusangkal, namun makin hari makin tak dapat kuingkari. 

Siang ini matahari begitu terik membakar Jakarta. Suhu panas di luar tampaknya tak dapat menularkan kehangatan di dalam sini. Lorong-lorong dingin bercat putih kusam dengan noda cokelat tersebar di segenap penjuru. Entah karena apa. Bercak kuning bekas bocor rembesan air hujan di langit-langit, lantai berwarna hijau pupus yang sudah pecah sebagian dan pantulan langkah kaki membuat bulu kuduk meremang setiap kali datang ke sini. Sungguh, ini adalah tempat paling menyebalkan untuk dikunjungi. Terutama, karena salah satu penghuninya adalah Ibu.

Dokter Wisnu menelepon tadi pagi, ketika aku sedang bersiap ke kantor. Pertama, isinya basa-basi. Sisanya sudah dapat kutebak.

“Ibumu mengamuk lagi. Jenguklah dia. Tekanan darahnya tinggi akhir-akhir ini. Saya khawatir, ia terkena stroke lagi.”

Apa peduliku? Batinku menjerit. 

“Mungkin, ia kangen padamu….”

Dia tak mengharapkanku, bagaimana mungkin ia kangen? 

“Dokter, saya minta maaf. Tapi, hari ini saya repot sekali.”

“Nin, kau boleh berdalih apa saja, tapi tidak pada saya. Saya me–ngenalmu lebih dari yang kau tahu. Dan, saya mengerti keenggan–anmu. Datanglah ke tempat saya kapan-kapan. Sesempat yang kau bisa. Tinggal kau angkat telepon, saya pasti akan meluangkan waktu untukmu. Bagaimana?”

“Terima kasih, Dokter.... Kalau ada waktu senggang, saya akan datang.”

“Bagaimana kalau siang nanti?”

Tak secepat itu.

“Saya akan coba. Terima kasih.”

Klik. Ya, hanya itu yang kuinginkan sejak awal menerima telepon. Memutuskan pembicaraan tersebut secepat mungkin.

Dan, akhirnya, aku di sini. Makan siang yang tak dapat kutelan, mengubah keputusan yang kuambil tadi pagi untuk tak menengok Ibu siang ini. Jantungku berdetak makin keras ketika langkah kakiku mendekat ke pintu kasa berwarna cokelat tua di ujung lorong suram. Di antara jeruji abu-abu, kulihat ia sedang duduk di kursi roda. Punggungnya membungkuk, mungkin tulang yang dulu begitu gagah dan kuat kini merapuh. Aku tak dapat melihat wajahnya, karena ia membelakangi pintu. Tampaknya, ia baik-baik saja.

                                                                                     cerita selanjutnya >>

Penulis: Inawati


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?