Fiction
Sop Buntut Karina [1]

6 Apr 2015


Sudah lewat tengah malam, tapi Karina masih saja gelisah di ranjangnya. Ada sesuatu yang mengganggunya. Ini tentang mimpinya semalam. Ia bermimpi mendiang Papa datang dan menjemput Mama. Karina memang sering memimpikan mereka berdua. Biasanya mimpi itu indah. Mereka akan pergi ke pantai dan berlibur bersama. Tapi, mimpi yang ini berbeda.
Mama mengatakan ia akan pergi bersama Papa ke suatu tempat. Tanpa Karina, hanya mereka berdua. Karina tak menyukai mimpi itu. Kenapa ia tak diajak? Ke mana mereka akan pergi? Apa mereka akan kembali? Apa arti mimpi itu?

Karina menghela napas, membalikkan badan dan yang ia lihat sekarang adalah langit kamarnya. Abu-abu terang. Muram. Seperti mimpinya.
“Argh, mimpi itu lagi,” gumam Karina. Ia beringsut  dari ranjang, meraih mantel tidur dan memutuskan pergi ke dapur.

Suasana gelap menyergap Karina saat ia melangkah ke dapur. Bik Jum tak pernah lupa mematikan lampu setelah membersihkan dapur. Karina meraba dinding dan langsung menemukan saklar. Lampu menyala dan membuat Karina sedikit silau. Ia hanya perlu air segar, itu saja.

Bersandar pada meja dapur sambil menggenggam gelas berisi air putih, pandangan Karina jatuh pada deretan stoples Mason di ujung dapur. Karina tersenyum dan beranjak mendekati mereka. Ia membungkuk di depan barisan rapi stoples itu.

Ada kapulaga yang serupa balon kecil, bunga lawang yang tetap tangguh dengan bentuknya yang cantik, dan cabai bubuk yang merahnya menantang. Butiran merica dan ketumbar membisu dalam tempatnya masing-masing. Jintan, cengkih, kayu manis, dan beberapa rempah lagi.
Karina sangat menyukai rempah, dan melihat mereka meringkuk terpenjara dalam stoples itu membuat Karina tak enak hati.

“Tenang saja, aku akan membebaskan kalian,” ujarnya, sambil membuka beberapa tutup stoples.
Karina mengambil bongkahan bawang putih yang aromanya menggoda. Karina tak pernah memahami kenapa beberapa orang sama sekali tak menyukai aroma bawang putih. Beberapa butir bawang merah. Kemiri yang paling sempurna bulatannya. Sedikit ketumbar. Dan ah, tentu saja....

“Jangan lupa tambahkan cengkih dan kayu manis untuk opormu, Karina. Aromanya akan membuat opor ayammu dikenang orang.”
Karina terpaku beberapa saat di depan stoples penuh kayu manis dan cengkih. Dua batang kayu manis dan beberapa butir cengkih. Sempurna. Ide Mama tentang opor berempah itu memang hebat. Karina memang dikenal dengan opornya saat potluck di kantornya, meski beberapa rekan tak menyukainya.

“Ini bukan opor Jawa. Opor Jawa enggak pernah pakai kayu manis dan cengkih,” sembur Hanum.
Peduli setan, batin Karina. Yang jelas dua rempah itu punya peran penting dalam kuah opor ayam. Karena, lewat opor ayam itulah, awal kedekatan dengan Geo, manajernya, dimulai. Cinta dimulai dari perut agaknya memang benar.

Pandangannya tak lepas dari kuali di hadapannya. Ia tak mau santannya pecah. Kuah di dalam kuali mulai menggolak, aromanya ke mana-mana. Karina tersenyum, tapi ia belum puas. Resah itu masih ada. Karina tak suka aroma keresahan yang menggantung di udara.
Lalu ia ingat dua kilogram buntut sapi yang Bik Jum beli kemarin. Entah kenapa, perempuan tua itu membeli buntut sapi sebanyak itu. Tapi, sop buntut kelihatannya enak untuk makan siang.

Kali ini balon-balon putih kecil itu yang jadi sasaran Karina. Kapulaga. Top secret dari sop buntut bikinan Mama. Karina membaui kapulaga di tangannya. Bulatan yang menggembung sempurna.

Untung bagi Karina, Bik Jum sudah membersihkan buntut sapi itu. Karina merebus sepanci besar air dan menunggu air itu mendidih. Giliran buntut sapi yang terjun bebas ke air mendidih. Karina menunggu tiga puluh menit, membuang air rebusan pertama dan kembali merebus buntut sapinya. Satu jam kemudian, dapur Karina dikuasai aroma rempah.

Karina mencicipi kuah sop buntut tepat ketika buntut sapi itu sudah empuk. Sengatan merica berpadu pas dengan harum pala yang langsung diparutnya. Karina lebih suka membeli biji pala utuh ketimbang yang sudah bubuk. Lebih manis dan segar.

Opor ayam untuk sarapan sudah. Karina berpikir untuk menyuruh Bik Jum ke pasar membeli lontong sebagai teman opor ayam. Makan siang, sop buntut dengan sambal kecap dan air perasan jeruk limau yang menantang. Selesai?

Karina menggeleng. Resah itu berubah jadi cemas. Ia ingat mimpi itu. Ia ingat Mama. Karina melirik jam dinding, pukul tiga dini hari. Mamanya pasti masih tidur sekarang. Percuma meneleponnya. Toh, malah akan mengganggu perempuan hebat itu.
Karina menghabiskan segelas air putihnya dengan beberapa kali teguk. Karina bukannya haus, ia hanya minum untuk menghilangkan kecemasan dalam dadanya. Dan itu sama sekali tak membantu.

Karina menyusuri dapur itu dengan pandangannya. Apa lagi, batinnya. Ia harus mengusir kecemasan itu pergi. Karina tahu ia harus berhenti memikirkan mimpinya itu. Dengan memasak.

“Jangan lupa masukkan dua butir kemiri untuk semur dagingmu, Karina. Kemiri membuat kuahnya agak sedikit kental dan menyatukan semua rasa di dalam semur dagingmu.”
Karina ingat pesan  mamanya. Maka, sekali lagi, Karina membuka lemari es dan mengeluarkan sekotak daging iga dari freezer. Mamanya tak pernah suka jika Karina menggunakan daging tanpa lemak untuk semur daging dengan banyak kuah.

“Gunakan daging iga, jangan lemusir. Lemak dalam iga akan lumer di mulut, Karina.”
Sekarang Karina senang karena ia memutuskan menggunakan daging iga untuk semur dagingnya. Semur yang ini berbeda dengan  semur Betawi atau Sunda dengan kuah kental. Semur daging yang dikenal Karina menggunakan kaldu dari daging itu sendiri. Berkuah banyak, dengan irisan tomat, cabai merah, cabai rawit, dan bawang daun. Membayangkannya saja Karina jadi lapar.

Kuah daging itu menggelegak di panci, sedikit berminyak dan tercampur sempurna dengan racikan bumbu. Kali ini Karina tak banyak menggunakan rempah. Dengan cekatan Karina melumatkan asam jawa seukuran ibu jari. Aroma asam yang menggoda menusuk hidung Karina, meninggalkan kesan manis sekaligus asam.

Dengan saringan kecil, Karina menuangkan air asam jawa itu ke dalam kuah semur.
Lalu ia mendengar bisikan mamanya, “Jangan lupa gulanya, Karina. Semur perlu keseimbangan rasa. Manis, gurih, sekaligus asam.”

Tangan Karina berlepotan gula pasir, tapi ia bahkan tak keberatan. Ia ingin mengenyahkan cemas itu. Mestinya kuah semur daging yang hangat mampu melakukan itu. Karina sudah bisa merasakan kuah hangat dengan sengatan merica, kerenyahan tomat yang dimasukkan di menit terakhir sebelum api dimatikan, pedasnya cabai rawit, dan segarnya asam jawa.
Sekarang Karina tinggal menunggu kuah itu mendidih dan tinggal memasukkan tomat, cabai rawit, cabai merah yang diiris tipis menyerong, dan tentu saja irisan bawang daun. Karina tahu bahan-bahan itu yang menyempurnakan penampilan dan rasa semur dagingnya.

Suara berisik di belakangnya membuat Karina terperanjat. Ia menoleh dan menemukan Bik Jum ada di sana. Usianya sudah melewati 50 tahun, tapi tubuhnya masih tegap dan kuat. Rambut keperakan serasi dengan kulitnya yang gelap. Keriput menghiasi dahinya, tapi Bik Jum malah menyukai keriput itu.

Wanita tua dengan jarit dan kaus itu menyanggul rambutnya asal. “’Na, ngapain di dapur? Ini masih pagi.”
Karina tersenyum. Ia selalu suka ketika Bik Jum memanggilnya. Hanya ‘Na, tanpa embel-embel non atau mbak, tidak seperti pengasuh lain. Bik Jum telah merawat Karina sejak Karina berusia lima tahun dan Karina merasa Bik Jum sebagai orang tuanya. Bik Jum sudah bekerja di keluarga Karina selama dua puluh tahun. Itu sebabnya ketika ia harus pindah ke Jakarta, ia meminta izin agar Bik Jum ikut serta.

Bik Jum tak dapat meneruskan kalimatnya. Wadah kotor di mana-mana. Cobek dan muntu berlepotan bumbu, tutup stoples   berserakan, kulit bawang putih masih menumpuk di salah satu sudut meja dapur. Dan aroma itu. Aroma yang mengambil alih seluruh oksigen di ruang itu.
“Kamu masak semua ini, ‘Na?”
Karina mengangguk.
Bik Jum mengerutkan dahi. “Buat apa? Kamu mengundang teman-temanmu makan, toh?”
Karina menggeleng.

Bik Jum keheranan. Ia membuka tutup panci besar di atas kompor dan memekik kaget.
“’Na, buntut sapi itu pesanan Bu Malik untuk acara syukuran anaknya nanti sore!”
Ya Tuhan, batin Karina. “Maaf, Bik Jum.”
“Lagi pula cuma ada kamu dan aku di rumah ini, ‘Na. Ngapain masak sebanyak ini?”
Tangan Bik Jum kembali sibuk dengan centong sayur dan mengaduk semur daging. Lalu kepalanya melongok kuali yang dipenuhi opor ayam yang menggairahkan. Bik Jum bisa melihat kayu manis dan beberapa cengkih di sana. Persis seperti mamamu, ‘Na, batin Bik Jum senang.
“’Na enggak bisa tidur, Bik Jum. Ya sudah, ‘Na ke dapur dan masak. Sudah lama juga ‘Na enggak masak, ‘kan?”
Bik Jum mengangguk. “Ya sudah, biar Bik Jum bersihkan ini semua. Kamu mandi dan salat dulu. Sudah hampir subuh.”
Karina mengangguk senang. Ia memang tak mau kalau harus membereskan kekacauan yang sudah dibuatnya di dapur. Karina melenggang kembali ke kamarnya di atas dan bisa mendengar Bik Jum mengomel.
“Sekarang aku kan kudu ke pasar, beli buntut lagi buat Bu Malik.”
Karina tersenyum geli.
“Opor aja kalau ndak ada lontongnya kan ndak enak, ‘Na. Mudah-mudahan di pasar ada yang jual.”
“Aamiiin,” gumam Karina. Entah kenapa, ia senang mendengar omelan Bik Jum, meski awan cemas itu masih menaunginya.

***

“Elo ke mana aja, sih, ‘Na? Dari tadi aku telepon, enggak diangkat-angkat!” sembur Widya, kakak perempuan Karina.
Karina melepas handuk yang membungkus rambutnya. Ia baru saja selesai mandi ketika mendengar ponselnya berbunyi.
“Sori deh, Wid. Handphone-ku ada di kamar, dari tadi aku di dapur. Masak....”
“Ya, Tuhan, ‘Na! Keadaan gawat gini, kok, sempat-sempatnya masak.”
Karina tercekat. Keadaan gawat? Tubuhnya kaku. Desiran cemas di dadanya menjadi. Dan ia tahu, ini pasti soal mamanya.
“Mama, ya, Wid? Mama kenapa? Sehat, ‘kan?”
Yang didengar Karina kemudian adalah omelan Widya. “Kamu enggak baca BBM-ku, ‘Na? Gila, ya! Biasanya kamu akrab banget sama handphone canggihmu itu, sekarang malah....”
“Wid! Mama kenapa?!” bentak Karina yang langsung membuat Widya berhenti mengomel.
Karina bisa mendengar helaan napas Widya dan ia terus mendengarkan, “’Na, cepat pulang ke Bandung. Mama masuk ICU.”
Karina memejamkan mata. Jangan sekarang, Tuhan, jangan sekarang, batin Karina berkali-kali. Setelah meyakinkan Widya bahwa ia dan Bik Jum akan segera datang, Karina buru-buru menuju dapur.
“’Na, ayo sarapan! Aku sudah beli lontongnya, ‘Na. Sarapan lontong opor, ya, ‘Na?”
Karina menggelang dan menatap sayu mata Bik Jum.
“’Na, kenapa?”
“Kita ke Bandung sekarang, Bik. Semua makanan yang tadi sudah ‘Na bikin, masukin Tupperware aja. Kita bawa ke Bandung,” ujar Karina, pelan.
Bik Jum segera tahu ada yang tidak beres, tapi ia enggan bertanya. Ia tahu bagaimana kecemasan itu memenuhi wajah Karina. Bik Jum mengangguk dan tetap memaksa Karina sarapan.
“Perjalanan Jakarta-Bandung itu enggak sebentar, ‘Na. Nanti kamu masuk angin.”

***

Beberapa jam kemudian.
Karina mendengar bisik-bisik itu. Ia mengangkat wajahnya yang basah agar bisa mendengar lebih jelas. Suara perempuan itu berasal dari ruang keluarga yang berdekatan dengan kamar Karina.

“Opor ayamnya enak. Seenak bikinan Bu Laras,” ujar, entah siapa, dengan suara parau.
Suara lain menyahut, “Bumbunya dipakein apa, ya? Harumnya itu, loh.”
Lalu terdengar suara wanita yang mirip cicitan tikus, “Sudah coba sop buntutnya? Duuuh, anak itu pinter bener masaknya. Waktu aku pesan sop buntut ke Bu Laras, rasanya, ya, sama kayak gini.”

Karina menghela napas, meski dadanya sesak dan panas. Ia membenamkan wajahnya lagi ke bantal, tapi suara lain terdengar.

“Karina jago masak, enggak kayak Widya. Bu Laras pernah bilang kalau Karina selalu menuruti resep yang diberikan Bu Laras, makanya Karina lebih jago masaknya.”
“Hush! Kalian ini gimanah sih, lagi di tempat tetangga kesusahan, kok, malah ngomongin makan siang. Masakan itu memang bikinan Karina, tapi enggak sengaja disajikan buat tetangga yang sudah membantu pemakaman Bu Laras.”

Suara-suara yang lain terdiam. Karina hanya bisa mendengar denting sendok dan piring. Tak ada percakapan lagi. Suasana hening.

“Maaaam,” bisik Karina sedih. Karina sama sekali tak menyangka masakan yang dibuat berdasarkan resep dari sang mama akan mengantar kepergian wanita yang paling dicintainya itu.

Bik Jum masuk ke kamar. Hatinya pedih melihat Karina meringkuk di lantai, bersimbah air mata. Bik Jum memeluk Karina erat dan membiarkan tangis Karina jatuh lebih deras daripada hujan di luar. Pemakaman telah usai beberapa waktu yang lalu.
“’Na, begini mamamu ingin pergi. Mamamu ingin pelayat disuguhi hidangan yang layak. Dan beliau tahu siapa yang paling bisa memenuhi keinginannya itu. Mamamu pasti bahagia, ‘Na, dia pasti bangga sama kamu.”
Karina memeluk Bik Jum lebih erat. Kecemasan itu sudah tandas, seperti kuah terakhir sop buntut Karina.(f)
*************
Dyah Prameswarie



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?