Fiction
Sewangi Alamanda [4]

5 Aug 2013



<<<<<Cerita Selanjutnya

Kisah Sebelumnya
Kehilangan istrinya saat melahirkan anak pertama mereka membuat Idham, seorang wartawan, shocked. Sayangnya, Idham pun tidak menyukai Alamanda, bayi mungil yang ia anggap membuat Ranti meninggal yang kini diasuh ibunya. Tapi, dia juga tidak suka ketika Nadia, gadis sebelah rumah, menyayangi anaknya yang belum ia beri nama. Di saat yang sama, Idham juga dekat lagi dengan Sandra.

    Setelah beberapa hari tak membicarakan hal-hal yang membuatku kurang nyaman, sore itu Ambu mengungkit-ungkit lagi soal Nadia.
    “Ambu kan sudah tahu! Aku lebih baik memilih Sandra daripada Nadia yang masih ABG itu….”
    “Tapi, dia sudah pandai mengurus anak, Idham!”
    “Ambu sudah tahu kebutuhanku, tapi soal pilih istri, itu kewenanganku!”
    “Lalu, mengurus Putri kewenangan Ambu, begitu? Kamu sudah melepaskan diri dari tanggung jawabmu sebagai seorang ayah, Idham. Dan hal itu kau bebankan pada Ambu. Ibumu!” Ambu berkata begitu seraya meninggalkan diriku.
Ambu benar-benar marah padaku. Tapi, tak semudah itu aku harus menikahi Nadia. Aku duduk membisu, menekuri lantai. Di kejauhan, suara beduk bertalu-talu, mengantarkan azan magrib yang segera bergema mengurai senja menuju malam.
Desakan Ambu membuatku gelisah semalaman dan keesokan harinya aku sengaja mengundang Sandra makan siang. Hanya satu tujuanku: melamarnya!
***

Siang itu aku melamar Sandra di sebuah restoran fast food yang kebetulan sedang tidak terlalu ramai. Dia malah terbahak, aku terkesima. Seumur hidupku, yang kutahu adalah: bila ada seorang pria melamar kekasihnya, sang gadis akan tersipu malu, menolak atau mengiyakan permintaan pujaannya. Ini benar-benar di luar dugaanku. Kalaupun Sandra menolakku, minimal dia akan berkata lugas. Sandra memang wanita unik. Bukannya mengiyakan lamaranku, di sela-sela senyumnya yang mekar, dia menguliahi aku panjang lebar.     
“Kamu belum bisa menerima bahwa istrimu sudah meninggal. Hal ini pula yang menyebabkan kamu enggak mau nerima kehadiran Nadia! Gadis itu lebih dulu menyayangi anakmu, semata-mata karena anakmu. Bukan mencintai kamu dulu, terus baru belajar mencintai anakmu. Ini sebuah peluang besar, Idham…!  Tidak mudah menemukan calon ambu tiri yang tulus mencintai anakmu.  Belum tentu kamu bisa menemukan wanita seperti itu lagi. Kenapa harus bersikeras ingin menikah denganku…?!”
Mata Sandra menatapku begitu tajam, hingga kuperlukan beberapa helaan napas sebelum berkata padanya.

“Daripada gadis itu… aku lebih memilih kamu!”
“It’s impossible Idham, aku sudah menentukan pilihan hidupku. Menjadi wanita karier. Aku bukan orang yang sabar, apalagi mengurus bayi merah seusia anakmu!”
“Aku akan mencari babysitter,  jadi kau tak perlu repot-repot mengurusnya!”
“Ya, tapi statusku tetap seorang ibu baginya, walaupun ibu tiri. Aku harus mendidiknya, menemani dia bikin PR. Dan dia bukan   anak yang lahir dari rahimku. Jadi, aku harus bekerja keras menciptakan ikatan batin sebagai ibu dan anak.”  Sandra melunakkan nada suaranya,  “Aku bukanlah orang yang tepat untuk itu, please Idham, carilah wanita lain. Bukan diriku!”  
Kutatap mata wanita itu, Sandra balas menatapku. Ada kesungguhan di sana. Aku tak punya hak untuk memaksanya berubah. Aku tak bisa memaksanya untuk membalas cintaku. Kuhela napas, gelas kopiku sudah kosong. Lalu kuraih gelas kopi yang lain. Kuhirup sedikit, kopi yang dingin. Tapi, kubiarkan diriku menghabiskannya hingga tandas. Sandra tertawa kecil.
“Kau habiskan kopiku…. ayo ganti!” ujarnya, ringan. Aku balas tersenyum. Rasa pahit masih menjelajah lidahku. Tapi, senyuman itu tak mampu mengubahnya menjadi rasa manis yang kuharapkan.  
***

    Dari balik pintu kamar Ambu yang sedikit terbuka, kulihat Ambu tertidur lelap dengan posisi telapak kaki menggantung di pinggir ranjang. Boks tempat Putri tak jauh darinya. Aku berjingkat-jingkat, supaya langkahku tak membangunkan keduanya. Kupindahkan kaki Ambu pelan-pelan agar berada dalam posisi yang lebih enak.
    Sambil bersarung handuk, kubuat susu untuk Putri. Sesuatu yang tak pernah kulakukan sebelumnya, membuat susu untuk anakku sendiri.

    “Tumben…,” ujar Ambu di belakangku. Ambu sudah bangun rupanya.    
    “Sini Ambu buatkan, kamu cepat ganti baju, nanti terlambat ke kantor….”
    Hatiku berdesir, biasanya Ranti yang berkata seperti itu, bila aku membuat kopi atau sarapan sendiri.
    Terdengar suara orang memanggil nama anakku, seperti seorang anak yang nyamper anak lainnya mengajak pergi bareng ke sekolah. Hmm…  mungkin waktu akan berjalan tidak terasa. Putri akan segera memakai seragam TK dan aku akan mengantar dia  tiap pagi sambil berangkat kerja. Lalu, siapa yang menjemputnya kalau aku dinas ke luar kota?
    Tanpa mengetuk pintu, Nadia masuk ke rumah kami, langsung menuju ruang tengah.
    “Putri masih tidur, Nadia, semalam begadang menemani ayahnya mengetik…,”
sambut Ambu.
    Nadia menatap ramah sambil tersenyum. Aku mencoba membalasnya dengan senyum pula. Sekali lagi mencoba. Mulutku terasa kesat, sudah mandi tapi belum gosok gigi. Beberapa saat kemudian, senyum Nadia berubah. Pipinya semburat merah. Aku baru sadar, badanku hanya dililit selembar handuk besar, tanpa kaus singlet. Tentu saja gadis itu jengah. Ambu pura-pura tidak tahu. Suara tangis Putri membuat Ambu punya alasan kuat untuk segera beranjak dari situ.
    Giliran aku yang merasa risi  ditinggal berdua dalam situasi seperti ini. Nadia menunduk, tak berani menatapku. Segera aku bergegas meninggalkannya tanpa pamit.
***

    Pagi itu aku ke kantor agak siang. Sebetulnya tak ada alasan penting yang membuatku berencana pergi ke kantor lebih siang. Entah mengapa, rasanya hari ini aku agak enggan berangkat ke kantor. Aku asyik mengetik di teras rumah. Ambu menggendong Putri yang baru saja selesai dimandikan. Wangi minyak telon dan bedak bayi sempat singgah menyentuh indra penciumanku. Aku hanya tersenyum, lalu meneruskan pekerjaanku dan membiarkan Ambu berlalu menuju meja tempat menjemur Putri. Meja itu sudah disiapkan Farid tadi pagi sebelum berangkat kuliah. 

    “Idham, titip sebentar, ya, Ambu mau  mandi dulu. Jangan lengah, Putri gerakannya sudah  makin lincah! Gerak tangan dan kakinya sering bikin dia   makin bergeser ke pinggir meja….”

    Meski sedikit menggerundel, aku mengiyakan permintaan Ambu dan bergerak menuju Putri. Pas giliran sedang mood ingin menyelesaikan artikel, Ambu malah menitipkan Putri! Di rumah memang hanya ada kami bertiga, pembantu kami hari ini tidak masuk kerja. Biasanya, Nadia suka datang menemani Putri berjemur. Namun, sampai saat ini dia belum datang-datang juga.

        Kusingkirkan kursi plastik di sebelah meja. Aku sengaja berlutut agar posisiku lebih dekat padanya. Putri menyambutku dengan gerakan-gerakan tangannya yang lucu. Kuulurkan jari telunjukku, dia menggenggamnya kuat-kuat. Kutarik jariku sedikit, dia menguatkan cengkeraman tangannya. Kugoyang-goyangkan jariku, dia kelihatan gregetan. Bibirnya maju, membentuk huruf ‘U’ dan mengeluarkan suara-suara gumaman yang lucu. Giliran aku yang gemas. Kusentuh hidungnya yang kecil dengan ujung jariku. Lalu kusentuh ujung bibirnya yang mungil. Dia menggerak-gerakkan bibirnya mengikuti arah jariku. Ada rasa perih terselip di dadaku, dia haus dan mungkin ingin menyusu.

Kalau saja Ranti masih sempat menyaksikan kelucuan putri kami, alangkah bahagianya!
    Sebuah tendangan kecil menyentuh dadaku, aku sedikit tersentak. Tendangan itu mencegah diriku yang hampir saja larut terbawa arus kenangan. Aku kembali ke alam nyata. Benar kata Ambu barusan, gerakan Putri  makin lincah dan kuat. Meja kecil ini sesekali agak bergoyang, terutama saat dia menggerak-gerakkan kedua kakinya.

    “Ayo…ayo…! Putri ingin cepat bisa jalan, ya…?!”
    Anakku menjawab dengan  entakan-entakan kaki yang lebih kuat. Aku tertawa lepas. Tiba-tiba dia menghentikan gerakan kakinya. Mungkin dia sedikit kaget mendengar tawa ayahnya yang cukup keras. Atau dia merasa asing dengan suara ayahnya sendiri, yang selama ini sering mengabaikannya?

    Kuajak dia bicara lagi, kali ini dia menjawab dengan ocehan-ocehannya dalam bahasa yang tak bisa kumengerti. Bahasa bayi. Sorot matanya  makin berbinar-binar bila aku bicara. Seekor kupu-kupu melintas terbang melewati kami. Bila Putri sudah besar sedikit, aku akan menangkap kupu-kupu itu untuknya. Lalu kubiarkan hinggap di telapak tangannya.

    Kupu-kupu itu terbang menuju pergola. Mencari bunga alamanda yang mekar. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ya, ampun! Artikel yang baru kuketik tadi belum sempat ku-save dan file-nya belum sempat kuberi nama. Mudah-mudahan hasil ketikanku itu tidak hilang! Kutinggalkan Putri sesaat, setengah berlari aku menuju teras. Belum sampai aku menyentuh laptop-ku, tanpa sengaja aku menoleh ke arah Putri. Mejanya kelihatan agak miring, tanah di daerah situ memang tidak terlalu rata. Gerakan tangan dan kaki Putri yang kuat, membuat letak kaki meja bergeser sedikit demi sedikit, dan membuat posisinya menjadi lebih miring.

    Sekuat tenaga aku berlari memburu anakku. Dia sudah berada di pinggir meja! Dalam situasi yang benar-benar genting, aku berhasil meraih anakku, meski aku sendiri nyaris terjerembab. Terlambat beberapa detik saja, Putri pasti jatuh!  Seandainya kepala Putri jatuh menimpa batu, lalu mengalami perdarahan yang membuatnya tak tertolong lagi, aku takkan bisa memaafkan diriku seumur hidup!

    Cukuplah sudah  rasa berdosaku, karena tidak mendampingi ibunya saat melahirkan dia. Sampai kemudian istriku wafat, aku masih belum bisa memaafkan diriku yang dipenuhi rasa sesal, dan rasa kehilangan yang berkepanjangan.

    Aku tak bisa menimpakan semua rasa bersalahku kepada putriku   semata wayang. Aku tahu anakku hadir ke dunia ini karena rasa cinta kami, dan Yang Maha Mengabulkan Doa mengutusnya sebagai pelengkap kebahagiaan kami. Setiap manusia hadir di dunia untuk memenuhi takdirnya masing-masing. Kutatap mata Putri yang cerlang, dia sangat mirip Ranti. Aku tak mau kehilangan untuk kedua kalinya!

    Lekap kupeluk anakku, dengan mata terpejam kuciumi dia. Harumnya minyak telon dan bedak bayi, membuat naluriku sebagai seorang ayah bergetar hebat. Kucium pipinya, sambil kuhirup wangi yang segar itu. Namun, perasaanku mengatakan ada sesuatu yang berbeda, yang juga menyentuh indra penciumanku. Aroma yang lain. Wangi yang  makin kuat dan mendekat. Aku membuka mataku. Nadia. Ya, Nadia…!

    Gadis itu berdiri terpaku memandangku, tangannya terkepal. Menahan perasaan yang mungkin begitu kuat melanda hatinya. Dia menatap Putri dan aku bergantian. Tangannya kemudian terulur, ingin menggendong Putri. Aku masih enggan melepaskan anakku yang masih berada dalam dekapanku.

    “Putri tidak apa-apa, Kang…?” ujarnya dengan suara bergetar.
    Aku menggeleng. Gadis itu rupanya sempat menyaksikan kejadian tadi. Kantong plastik berisi belanjaan yang terburai berserakan di atas rumput, membuktikan hal tersebut. Tanpa bercerita pun, aku sudah tahu betapa paniknya dia barusan. Sementara itu fokus perhatianku benar-benar hanya tertuju pada Putri, sampai tak menyadari kehadiran Nadia. Sambil tetap mendekap Putri, aku membantu Nadia membereskan  belanjaannya yang tercecer di rumput dan sebagian masuk ke dalam kolam.

    Nadia tertawa, ketika aku mengangkat sekantong kerupuk yang sudah terendam air kolam. Kuulurkan benda itu, tapi Nadia malah mengulurkan kedua tangannya hendak menggendong Putri. Tangan kami bersentuhan sedikit. Kubiarkan kerupuk itu jatuh, lalu dengan sengaja kutangkap pergelangan tangannya. Nadia tidak berusaha mengelak, tidak pula menyambut. Dia menunduk. Aku tersenyum, karena sempat kupergoki dia mencoba mencuri pandang. Sudut matanya yang mencuat sedikit tak mampu menyembunyikan gerak bola matanya yang begitu samar.

    Ia mencoba melepaskan peganganku dengan halus. Aku tahu, tapi aku diam saja, malahan  makin mengeraskan genggaman tanganku. Sempat kutangkap rasa panik menyelimuti wajahnya, namun hal ini tak berlangsung lama. Rona merah di pipinya membuatku enggan melepaskan tatap.  

    Kupu-kupu tadi terbang meninggalkan pergola, bunga-bunga kuning itu bergoyangan seakan melambaikan tangan. Bunga alamanda memang tidak wangi, tapi warnanya cerah seperti matahari. Ia menyimpan segenap keindahan yang begitu lekat mewarnai hidupku. Tak ada wangi yang lebih menyengat pikiranku, selain wangi kenangan yang mulai terkubur bersama separuh hatiku. Aku harus belajar menerima bahwa separuh hatiku yang lain harus kubagi lagi untuk putri mungilku, dan…. seseorang yang mulai kuizinkan mengisi hari-hari kami berikutnya. Soal cinta,  biar waktu yang menguraikan kebekuan.(Tamat)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?