Fiction
Sepotong Harapan Dini Hari [1]

5 May 2015

Aku sedang berantakan. Kami tidak saling cocok, menjadi alasan basi yang diembuskan secara otomatis kepada  tiap pertanyaan. Entah untuk yang benar peduli, atau untuk yang cuma ingin tahu.  Tidak ada penjelasan. Mungkin memang kesamaan terbesarku dan Vandi adalah ini. Kami sama-sama benci menjelaskan.

Sudah hampir setengah tahun aku harus menghadapi pengadilan, berbagai macam metode mediasi, dan tampang-tampang sedih kolega dan keluarga yang mendadak menjadi kompak. Mereka tak henti menasihati, mempertanyakan masalah kami, membujuk, melakukan apa pun agar kami memikirkan kembali perceraian ini. Sampai putusan cerai sudah final mereka tetap bergunjing, menyalahkan aku atau Vandi atas kegagalan ini, menyayangkan hubungan kami yang kandas.

Aku sangat lelah. Proses perceraian ini menguras tenaga, pikiran, dan emosiku. Pertahanan diriku pun tergerus aus. Aku sudah patah. Menghadapi orang lain membuatku mudah terprovokasi. Rasa putus asa mendorongku menghubungi ketiga sahabat lelakiku. Sahabat lama tempatku selalu kembali di saat sulit. Kami buat janji ketemu.

Tak buang waktu, segera kukemas keperluanku, kupesan tiket. Kuhabiskan hampir seluruh perjalanan menahan tangis. Aku mendengar otakku mendesiskan kalimat-kalimat. Mulai dari malu dilihat orang sampai jangan jadi pengecut. Dan sedikit banyak kalimat-kalimat itu berguna juga. Aku tersenyum saat menyerahkan tiketku, saat ibu di sebelahku menceritakan tentang cucunya yang lucu, saat Tama, Wisnu, dan Ganang, teman-teman terbaikku sejak SMA akhirnya menjemputku di stasiun.

Kami berempat pun pergi. Ke tempat yang cuma kami yang tahu. Mendaki gunung, membuka tenda, memasak air, membuat minuman hangat, bicara tentang cuaca, berusaha seakan-akan tidak terjadi apa-apa, tapi di depan mereka, pertahananku akhirnya ambyar. Kupinjam pundak salah satu dari mereka. Membasahinya. Satu jam. Dua jam. Entah berapa banyak waktu yang kuhabiskan. Aku tidak tahu kenapa aku menangis. Kuperintahkan air mataku untuk berhenti mengalir, kubujuk hatiku untuk tidak cengeng. Hari hampir subuh. Kejora benderang hampir tenggelam. Aku masih sesenggukan, dan mereka masih di sana. Diam terjaga. Tahu kapan harus bicara, kapan mesti diam. Mungkin lamanya pertemanan kami membuat kami saling memahami melebihi keluarga kami sendiri.

Pagi itu kukatakan aku sudah lebih baik. Aku ingin mandi dan sekalian mengambil air, jadi aku pun beranjak ke air terjun di dekat tenda kami. Mula-mula membasuh tangan, merasakan seberapa deras airnya. Seberapa jarak aman untukku mendekat, kemudian kepalaku kudekatkan. Bertimba-timba air dingin tumpah menimpa kepalaku. Kudengar bunyi air yang menerobos celah tebing, kucium wangi semak berbunga ungu yang baur dalam air sungai, kuresapi dinginnya air yang mengalir membasahi bajuku. Berdoa semoga air sungai ini menghapus semua tentangnya dari pikiranku. 

Cukup lama aku mandi, sambil mengompreskan lumut tebal di mataku yang sembap dan bengkak. Sedikit banyak air ini menenangkanku. Selesai mandi, kubawa persediaan air ke tenda berencana memasak. Kami berempat tahu tugas masing-masing. Biasanya Tama dan Ganang akan menemaniku menyiapkan sarapan. Mencerewetiku tentang menu dan cara memasak nasi yang benar. Sekalipun laki-laki, mereka lebih ahli dalam bumbu dan bahan makanan.  Wisnu akan berburu entah ke mana. Perlu satu jam untuk berkumpul kembali.

Melingkari makanan yang sudah matang di atas matras. Berbagi suapan dan cerita. Kadang aib, kadang gurauan, kadang nostalgia, bicara tentang ilmu, atau debat kusir tentang arti terselubung lagu-lagu tua yang bahkan penyanyinya sudah jadi tanah. Apa saja yang kami bahas, aku sudah tak ingat. Yang kuingat pagi itu, kami tertawa-tawa sampai serak.

Hari beranjak siang, namun langit tak lantas menjadi terang.  Wisnu dan Tama mengajakku ikut berburu dan mencari kayu bakar. Memaksaku yang malas bergerak menerobos kabut tebal dan pepohonan yang rapat.

 “Makan saja tikus itu sendiri!” kataku merutuk saat pisau lipat Wisnu menebas hewan pengerat yang sedang sial itu.  Aku lebih suka dapat tangkapan ikan atau udang. Paling banter ayam hutan. Less risk. Mereka tertawa-tawa. Lalu melepaskan tikus malang itu. Kurasa mereka juga sedang malas. Daging merah memang kelihatan mewah, tapi merawatnya merepotkan sekali. Menyembelih, menguliti, membersihkan jerohannya, mematangkannya pun butuh api stabil. Kami berjalan pulang tanpa membawa buruan, hanya mengangkut kayu kering yang tumbang, atau dahan pepohonan besar untuk kayu bakar, sebisa mungkin tidak menebang pohon hidup.

Sesampainya di tenda, kulempar kayu-kayu itu. Kukibaskan baju dan tangan dari rayap-rayap yang bersarang di kayu tersebut. Segera beranjak ke sungai, ketika Tama menahanku, dan  menyerahkan parangnya
“Maksudnya?” kataku sengit, apatis.

“Belah kayunya lebih kecil.” Tama menggenggamkan parang ke tanganku. Aku mendengus kesal. Sekalipun sering naik gunung, aku adalah tuan putri buat mereka. Aku selalu membawa barang paling ringan, jaket tertebal, tidur di dalam tenda dengan sleeping bag, dan semua kemewahan yang memungkinkanku dapat berada di tempat itu karena teman-temanku yang lain bisa diandalkan. Aku menolak berburu kecuali mencari umbi atau memancing. Dan tentu saja membelah kayu bakar termasuk dalam daftar pekerjaan kasar khusus buat kaum lelaki.

“Ayo! Mau tidur menggigil nanti malam? Lagi pula, bukannya kamu sedang marah? Lumayan  kan untuk pelampiasan?” Ganang memanas-manasi.
Dengan malas-malasan aku beranjak. Membelah kayu-kayu sebesar paha gajah dewasa. Sekali, dua kali kucoba. Tidak buruk. Dan aku menikmatinya. Kayu yang perlu dibelah cukup banyak. Di antara parang, kayu, dan batu, aku tiba-tiba melihat wajah Vandi. Dengan benci kuayunkan parangku. Dengan marah kucacah-cacah bayangan mukanya. Berharap bisa pecah. Makin lama,  makin kencang aku mengayun. Napasku terengah-engah, keringat menetes dari ujung hidungku, dan air mata meleleh turun ke punggung tanganku yang gemetar memegang parang. Aku menancapkan parang di tanah dekat tenda dan berbaring di matras kecapaian. Jangan tanya sisa energiku, mungkin aku malah sudah defisit. Aku tidak tahu alasanku menangis. Terlalu banyak yang terbang di otakku dan meminta diperhatikan lebih dulu.

Siang itu setelah makan siang. Entahlah,  mungkin aku sudah jengah menanggung duka, mungkin aku terlalu lelah membelah kayu. Entah bagaimana,  entah siapa trigger-nya, aku pun bicara.
Jadi kukatakan semuanya. Semua dari awal. Bagaimana dulu aku meriset Vandi. Mengamati bagaimana perilakunya. Bagaimana sikapnya pada teman dan orang tua. Data yang kudapat pun tak sedikit. Aku mulai menganalisis, memprediksi, dan melihat adanya peluang hubungan yang baik dengannya. Aku pun percaya diri menikah dengannya. Tapi ternyata, tidak begitu hukumnya. Setengah tahun di awal pernikahan adalah waktu terbaik kami.

Semuanya dalam kendali. Kami bahagia. Semua orang memuji kami pasangan ideal, namun selama waktu berjalan kami  makin bentrok. Kami menjadi saling tuntut untuk memperbaiki diri. Setahun konflik tanpa solusi membuat aku mulai putus asa. Vandi mulai jarang pulang.  Aku pun  makin tenggelam dalam pekerjaanku. Berusaha mengalihkan diri dari konflik. Sampai kemudian teman-teman kantorku memergoki Vandi dengan wanita itu. Aku marah. Meskipun aku tahu tidak punya masa depan lagi dengan Vandi, aku tetap berpegangan padanya. Dengan keras kepala kukatakan, aku percaya pada hubungan ini, pada risetku, pada prediksiku, pada kemampuan kami menyatukan langkah.

Kenyataannya, toleransi dan komunikasi kami cuma sanggup menambal sulam hubungan yang sudah morat-marit. Aku menyangkal telah gagal. Butuh waktu, sampai kami mulai saling menyakiti dan saling benci untuk menyadari bahwa berpegangan pada hati yang tidak lagi ada kamu di situ, bukan cinta namanya. Itu obsesi.

Kutunjukkan pada mereka tentang riset di atas kertasku selama setahun beserta catatan antisipasi cadangannya. Tak kuakui hasil pengamatanku yang cacat di sana-sini. Kusampaikan pembelaanku, usaha kerasku, luka-lukaku. Kuceritakan brengseknya, proteksinya yang membekapku, usahanya yang tak pernah sepadan dengan usahaku, pengkhianatannya. Mereka mendengarku. Cuma tertawa-tawa. Mengatai ketololanku. Tak sekali pun mereka mengatai Vandi laki-laki bajingan atau menjadi benci padanya. Aku ikut tertawa. Menertawai kebodohanku. Makin lama lelucon tentang pernikahan yang gagal ini menjadi melebar ke mana-mana. Makin ironis dan tragis. Dalam tawa sore itu, satu dua air mataku jatuh menetes.

Sehabis makan malam kami sudah lelah. Di luar dingin menggigit. Aku masuk ke tenda. Memonopoli sleeping bag yang paling hangat untuk kupakai sendiri lalu merebahkan diri. Entah sudah berapa jam aku tertidur, dan suara dengkuran Tama membangunkanku. Aku terduduk. Di luar masih gelap. Di tenda hanya ada aku, Tama, dan Ganang. Kubuka pintu tenda. Angin dingin menerobos masuk. Aku bergidik kedinginan, tapi tetap keluar juga. Ada Wisnu di depan tenda. Duduk di depan perapian, di atas matras.

“Insomniamu enggak pernah sembuh, ya, Wis?” kataku, dengan suara diriang-riangkan, sambil menyerahkan sleeping bag.
“Belum ngantuk. Enggak perlu, pakai aja,” balasnya, menolak sleeping bag. Aku duduk di sampingnya, memasukkan kaki ke dalam sleeping bag, mendekatkan tangan ke api.
“Aku sudah bosan lihat kamu nangis. Kamu yang ngejalanin enggak bosan?”
“Terus solusinya gimana?”
“Kamu sama aku aja. Kenapa, sih, enggak pernah mau?”
Aku menghela napas. Sejak lama Wisnu menyimpan cintanya untukku. Ia tak pernah menikah, tak juga memaksaku hidup dengannya. Perasaannya tak pernah kubalas. Aku selalu beralasan bila hubungan kami gagal, aku takut dia akan mendepakku keluar dari hidupnya.
“Ketakutanmu keterlaluan, Ras. Everybody’s damaging, in their own way.”
“Sshhhhh!” segera kusudahi percakakapan ini. Kalau dilanjutkan, ini adalah jenis percakapan yang tidak akan ada akhirnya. Kusandarkan pelipisku ke pundaknya. Kupejamkan mata.
“Balik ke Jakarta lagi kapan, Ras?” tanya Wisnu, sembari meminum kopinya.
“Don’t intend to, tapi mau enggak mau harus besok. Aku sudah sering bolos kantor gara-gara masalah ini. Kamu sendiri kapan balik ke Jepang, Wis?” kataku, tanpa membuka mata.
“Bulan depan. Ngapain, sih, balik lagi? Resign dari kantormu! Keluar! Pergi traveling. Ke mana, kek.”
“Kayak di film aja, Wis. Patah hati terus traveling,” kataku tak tertarik.
“Nyatanya, it works. Kamu perlu ketemu orang lain. Ke tempat asing. Orang-orang yang menderita akan membuatmu bersyukur, orang yang bahagia akan membuatmu belajar. Atau mau ikut relawan penyelamatan orang utan?”
“Di mana?” Aku sedikit terkejut. Wisnu tak pernah lupa dengan hewan favoritku itu.
“Kalimantan.”
Aku langsung duduk tegak. “Kapan?”
“Bulan depan. Bangkit kemarin cerita. Dia butuh relawan. Ingat Bangkit, ‘kan? Teman SMA kita dulu?”
“Enggak, deh, Wis. Aku enggak mau dianggap lari dari masalah.”
“Dan rela disembelih untuk kesekian kalinya oleh orang-orang kantormu yang suka ikut campur itu? Hell, no, Ras, I respect you too much.”
“You guys suck with your stupid respect,” aku membantahnya keras.
“Kau tahu, ketakutanmu itu sering enggak masuk akal.”
“Stop, okey. Aku sudah muak dihakimi. Aku sudah kenyang dengar nasihat.”  
Hening tiba-tiba. Wisnu menghela napas menghirup kopinya menengadah mengawasi bintang.
    “Bintang apa yang kau tatap itu, Wis?”
    “Great bear.”  
 “Great bear? Beruang besar? Ceritakan aku soal itu,” kataku mengisi diam yang tiba-tiba canggung.
“Great bear muncul di utara. Bintang pembentuknya tujuh…,” Wisnu  bercerita. Tentang great bear. Tentang rasi konstelasi yang lain. Kegunaannya, waktu munculnya. Entahlah aku tidak ingat. Kusandarkan kepalaku ke bahunya. Kupejamkan mataku. Mungkin dari awal pernikahanku dengan Vandi memang salah. Mungkin aku tidak siap kehilangan seseorang. Mungkin aku sedang bersikap dangkal karena ketakutan besarku akan dilupakan. Mungkin aku cuma marah dan mencari sosok yang patut disalahkan. Entahlah, aku tidak tahu aku kenapa. Atau harus bagaimana?
Mungkin memang perlu membusuk dulu agar bisa sembuh. Mungkin ketika kita hancur terbakar akan ada kelahiran kembali dari abu. Mungkin harus melewati angin salju musim dingin sebelum merasakan hangatnya matahari musim semi. Kuhela napas. Mungkin sudah waktunya menyerahkan diri pada harapan yang tak pernah kutahu bagaimana akhir buahnya.
    “Wis, apa aku masih bisa diperbaiki? Atau aku lebih baik mati saja?”
“Jangan cemas. Waktu. Waktu akan menyembuhkan, Ras.”
    “Apa pergi akan membantu?”
    “Dari pengalamanku, iya.”

 Kutatap api perapian yang mulai padam. Kayu berderak habis dimakan api. Ada bayangan Vandi di sana. Aku tersenyum. Berbisik pada hatiku untuk mengurai kebohongannya. Menyudahi kepengecutannya untuk menghadapi sakit hati dan rasa takut dilupakan. Kudengar samar-samar suara Wisnu di sampingku. Angin subuh bercampur embun bertiup. Aku menggigil sedikit. Bersamanya aku mantapkan hati untuk pergi dan mengunci mati. Meletakkan seluruh ingatan tentangnya di kotak sepatu yang tak terpakai dan menguncinya di gudang.
“Kabari ke Bangkit, aku ikut programnya, ya, Wis. Mulai minggu depan aku resign.”
    “Ya, pasti,” katanya, sambil mengelus lembut rambutku. “Berjanjilah padaku, jangan pernah menangis lagi.”  (f)


***********
Y. Maharani


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?