Fiction
Sepatu-Sepatu Septi [1]

25 Oct 2012

Mata cemerlang Septi terus berbinar di setiap kedipnya. Pendaran cahaya mata dan senyum yang sedang mampir di bibir wanita cantik itu menyembunyikan sesuatu. Bukan tak menyadari, Dimas, suaminya, sengaja menunggu apa yang hendak diucapkan Septi.

Dimas tahu pasti, ada sesuatu yang hendak diminta istrinya, dan sering kali tebakan Dimas tak pernah meleset.
“Stiletto limited edition,” rajuk Septi, setelah makan malam berdua usai.
Dimas menghela napas pelan, benar kan, tebakannya tak salah. Ia mencoba tersenyum dan meraih air minumnya.
“Dua minggu lalu, kamu kan baru beli waktu kita ke Surabaya,” kata Dimas, masih mencoba tersenyum. Pendaran itu seketika menghilang berganti kilatan. Istri cantiknya itu cemberut, melirik sebal pada gelas yang ditaruh Dimas kemudian.
“Itu bukan stiletto! Aku mau yang ini,” kata Septi, mulai dengan nada -jangan sok mengatur- favoritnya. “Branded dan limited edition!”

Dimas tak langsung menanggapi. Ia memandang istri tercintanya itu, mencoba mencari jawaban, mengapa wanita ingin membeli sepatu karena limited edition, bukan karena membutuhkannya? Tak habis pikir.
“Tadi Devina bilang, barangnya sudah datang dan ia sudah menyimpan sepasang untukku,” Septi menekankan lagi, menggunakan nama pemilik salah satu butik sepatu langganannya sebagai manuver. Posisi Dimas rasanya  makin sulit untuk menetralkan emosi istrinya. Ia berdehem.
“Sayang,” Dimas memulai negosiasi, “bukannya aku….”
“Besok anniversary kita,” Septi memotong tegas. “Aku mau kau yang membelikannya untukku,” tutupnya dengan dramatis, sebelum membawa perangkat makan ke dapur.

Dimas masih tertinggal di meja makan. Ia menghela napas. Entah yang keberapa kalinya. Obrolan romantis yang gagal, setidaknya itu harapan Dimas jika mengingat besok anniversary pertama mereka. Kegigihan Septi ditunjukkannya dengan sikap dingin. Tak ada camilan, tak ada nonton televisi bersama atau karaoke kecil di rumah mereka sebelum jam tidur seperti biasanya.

Sunyi dan beku. Ah, Dimas benar-benar tak habis pikir. Bukannya ia tak mau membelikan sepatu itu, bahkan jika ia mau, gajinya sebagai manajer perusahaan sanggup membelikan sepatu branded yang diminta Septi selemari penuh. Atau gaji Septi sendiri sebagai karyawan bank juga bisa membawa stiletto yang ia mau itu pulang. Kenapa stiletto itu yang harus menghantui anniversary mereka?

Dimas pasti akan membelikan apa pun yang diminta Septi sebagai hadiah, tapi tidak sepatu. Tidak lagi! Ia beranjak menuju sebuah ruangan di sebelah kamar tidurnya. Ruangan khusus barang milik Septi yang penuh dengan berdus-dus sepatu. Ia melirik rak kecil yang baru ditambah Septi beberapa bulan lalu, kini sudah penuh bermacam-macam sepatu koleksinya yang bertengger manis.

Dimas menggeleng-geleng memandangi ruang sesak itu. Ya, istrinya ternyata sangat menggilai sepatu. Di ujung ruangan, ia menemukan sepatu yang diminta istrinya dua minggu lalu saat ke Surabaya, masih mengilap. Oh, Dimas berani bertaruh, dari seluruh sepatu yang ada di ruangan itu, pasti hanya beberapa pasang saja yang dipakai Septi. Selebihnya hanya tersimpan rapi, sangat tidak berguna.

Dimas sadar, dirinya tak begitu memahami kesenangan istrinya itu,seperti ia tak mengerti apa bedanya stiletto atau bukan, toh, sama-sama alas kaki. Tapi, ini sudah keterlaluan! Dalam setahun pernikahan mereka, istrinya itu sudah membeli hampir lima puluh pasang sepatu. Itu belum ditambah koleksinya sebelum menikah. Jujur, Dimas mulai merasa terganggu dengan sepatu-sepatu istrinya, maka ia harus segera mencari cara.

WAJAH SEPTI KEMBALI CERAH. Ia tak menyangka rajukannya berhasil. Dimas mengantarnya ke butik sepatu langganan. Bahkan ini akan menjadi lebih menyenangkan. “Aku benar-benar boleh ambil sepatu yang aku mau?” Ia memastikan yang tadi didengarnya sekali lagi.
Dimas mengangguk sambil memperhatikan Septi yang berbinar memandang deretan sepatu di rak-rak sekitar mereka. Istrinya memang cantik saat bersemangat seperti itu.
“Berapa pun? Tak hanya stiletto yang aku pesan?”
Anggukan Dimas lagi. Senyum cantik Septi  makin terkembang. Puas. Hatinya senang bukan main setelah kulit wajahnya terasa pegal karena ekspresi cemberut sejak semalam. Perasaannya meluap dan tangannya dengan lincah memilah sepatu-sepatu pilihannya.

Bermacam model sepatu ia coba, bolak-balik mematut di depan cermin kaki, lalu berganti sepatu yang lainnya. Tiap sepatu yang dicobanya terlihat luar biasa menarik untuk dibeli. Septi seperti mendapat energi baru dari rasa gembira yang dihadirkan limpahan sepatu itu. Oh, sepatu-sepatu itulah yang menyembuhkan luka hatinya dahulu.

Ia memandang cermin besar di sudut ruangan. Berdiri dengan sempurna bersama wedge heel berwarna perak mengilap bertabur  manik-manik hiasan. Wedge heel itu tampak cantik, tak kalah dari stiletto branded yang sudah dipesannya. Kalau saja mereka yang menghinanya dulu di sini menyaksikannya, bayangan Septi tersenyum angkuh di cermin.

Hanya satu yang sedikit mengganjal dari dunia kesenangannya sekarang, Dimas memintanya melakukan sesuatu setelah ia selesai memilih semua sepatu, tapi tak memberi tahu apa itu. Mulanya Septi enggan, tapi ia sudah melihat kesungguhan Dimas menuruti kemauannya selama ini. Tak ada salahnya, pikir Septi,  sambil terus mematut.
“APA? AKU TIDAK MAU!” jerit Septi, hampir merontokkan niat Dimas.
“Sayang, kau sudah berjanji, ‘kan?” sahut Dimas, lembut. Wanita cantik itu ternganga menatapnya tak percaya. Pipinya mulai memerah karena kesal yang tertahan. Dengan lemah Septi menggeleng. Tas belanja berisi sepatu-sepatu butiknya terempas ke lantai, beberapa terguling keluar dari dus.

Dimas masih berusaha membujuknya,  tapi Septi sudah tak fokus mendengar semua kalimat Dimas. Kepalanya mulai pusing, sementara bibirnya terus mengatakan penolakan. Ia tak mau, tidak, tak ingin menuruti permintaan Dimas, meski telah berjanji sebelumnya.

Septi tak mau membuang dua sepatu di lemarinya untuk setiap sepatu yang ia beli dari butik barusan. Matanya terasa hangat dan mulai berair. Sepatunya adalah benda berharga. Ia tak mau kehilangan, sepasang pun. Tidak! Jangan sepatu-sepatunya!
“Aku tidak akan membuangnya,” bisik Dimas, seperti menangkap kegelisahan istrinya. Tangannya berusaha membelai kepala Septi, yang menepis dan terus bercucuran air mata. “Kau bisa menjualnya pada temanmu atau memberikannya pada orang lain. Ayolah, Sayang, sepatumu pasti akan lebih berguna bagi mereka. Kau tidak mungkin memakai semuanya, ‘kan?”

Septi  makin tergugu. Dimas menggeleng-geleng hampir putus asa. Kecemasan, kekesalan, sekaligus rasa kasihan memenuhi kepala Dimas. Sungguh ia tak mengerti mengapa istrinya harus sampai seperti ini karena sepatu.

Bahu Septi terguncang dan dadanya mulai sesak mengatur napas karena tangisan. Linglung kepalanya  makin menjadi ketika ingatan masa lalunya mulai muncul. Hatinya menjadi sakit ketika tawa hina bergaung dalam gendang telinga. Hinaan yang selama bertahun-tahun di masa sekolahnya dulu memenuhi hidupnya. Tawa ejekan yang menekan batinnya, menertawai kaki telanjangnya saat bersekolah.

Tidak! Sepatu-sepatu miliknya adalah benda berharga! Harga dirinya! Septi mulai terengah-engah sebelum tubuhnya roboh. Sepatu-sepatunya terguling menjauh.
Untuk Achmad Mauludini.

Inti Priswari




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?