Fiction
Senandung Musim Gugur [5]

1 Jun 2012


<<<< cerita sebelumnya

Ipung datang dan pergi dan datang lagi, sampai akhirnya menyulitkan Lia.

Dengan disaksikan kedua polisi itu, setelah berkonsultasi dengan pimpinannya pengawas mau juga membuat surat perjanjian untuk membayar semua tuntutan dan ganti rugi bagi ketiga TKI itu. Ia juga menjanjikan akan memberikan ganti rugi yang layak untuk deraan fisik yang pernah diterima ketiga TKI, sebagai bentuk penyelesaian di luar pengadilan.

Melalui Hyun-jin dan Lia, jaminan pun diberikan oleh pihak lembaga untuk ketiga TKI itu, meskipun semula kedua polisi itu sempat mempertanyakan legalitas ketiga TKI. Dengan adanya jaminan itu, permasalahan legalitas status mereka sebagai tenaga kerja akan bisa diselesaikan secara baik dalam beberapa hari mendatang, dan tidak menutup kemungkinan bagi ketiga TKI itu untuk disalurkan bekerja di tempat yang direkomendasikan lembaga.

Hari sudah malam ketika Lia sampai kembali di apartenya. Hatinya gembira karena permasalahan ketiga TKI itu dapat diselesaikan dengan baik.

Baru saja Lia menikmati istirahat, ketika telepon di apartenya berdering. Dengan kening berkerut Lia mengangkat telepon itu. “Yoboseyo,” sapa Lia, meniru ucapan halo khas Korea.

Suara John terdengar dari balik gagang telepon. Entah kenapa, Lia merasa senang mendengar suaranya. Benar-benar seperti ABG saja, pikir Lia sambil tertawa di dalam hati.

“Selamat malam, Lia, mudah-mudahan aku tidak mengganggu. Aku hanya ingin sekedar menanyakan bagaimana kabarmu hari ini?”

“Oh baik John, baik.”

“Apakah masalah TKI-TKI itu sudah bisa diselesaikan dengan baik? Maaf, aku jadi ingin tahu.”

“Ya, syukurlah semuanya selesai dengan baik-baik.”

“Apakah polisi jadi mengirim orangnya ke sana?”

“Hei, dari mana kau tahu kami dibantu dua orang polisi untuk menyelesaikan masalah itu?

Terdengar tawa John yang renyah dari balik gagang telepon. “Terus-terang setelah mendengarkan ceritamu kemarin, aku agak mengkhawatirkanmu. Itulah sebabnya, maaf, bukan aku ingin mencampuri urusanmu, tapi tadi siang aku mengecek alamat kantor lembagamu dan mencari nomor teleponnya. Dari mereka aku tahu ke mana kau dan orang-orang itu akan pergi. Instingku mengatakan rasanya perlu kehadiran polisi di tempat itu, untuk menjaga kemungkinan terburuk. Berikutnya tinggal mencari nomor telepon kantor polisi sektor terdekat dengan pabrik itu. Yah, kemampuan bahasa Koreaku, ah, not bad-lah. Aku cerita sedikit, dan mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan dengan mengirim patroli polisi ke tempat itu. Benar kan?”

Di seberang telepon, John tersenyum. Wajahnya membayangkan kelegaan. Wanita yang sangat, sangat disukainya itu syukurlah dalam keadaan baik-baik saja.

Lia pura-pura marah. “Kau ini, bisa-bisanya mencampuri urusan orang, memangnya kau siapa, ayahku?”

Terdengar lagi suara tawa John. “Oke, simpan saja kemarahanmu itu pada saat kita makan siang besok. Sudah ya Lia, aku senang kamu baik-baik saja. Besok kau harus cerita yang lengkap soal kejadian hari ini padaku. Aku tahu sekarang pasti kau ingin beristirahat. Baiklah, selamat malam Lia,” terdengar suara gagang telepon diletakkan oleh John.

Perlahan-lahan Lia meletakkan gagang telepon itu.

Lia terharu. Mungkin tak salah jika ia berkesimpulan lelaki Amerika yang sehari-hari terkesan pendiam itu menaruh hati padanya. Tak sulit mendeteksi perubahan sikap John terhadapnya, sama mudahnya dengan membaui udara musim gugur yang lembap dan membangun suasana biru dalam hatinya. Biru yang sendu.


Musim gugur pertama yang dilalui Lia di Korea tampaknya mendatangkan kesan tersendiri buatnya. Dari hari ke hari, keduanya semakin dekat saja. Ya, Lia dengan John. Ketika hari-hari yang semakin dingin justru dilalui dengan perasaan hangat, diam-diam Lia harus mengakui, dalam banyak hal dia merasa cocok dengan laki-laki pemalu itu. Di balik sikapnya yang terkesan pendiam, John ternyata memiliki kepribadian yang hangat. Sikapnya yang tenang memang terasa berlawanan dengan kepribadian Lia yang terkadang meletup-letup.

Mungkin akan lebih mudah buat Lia memutuskan perasaannya sendiri kepada John, kalau saja sore itu tidak datang kabar yang membuatnya tersentak dan memaksanya memikirkan kembali langkah yang harus diambilnya. Bermula dari suatu hari di penghujung musim gugur ini. Di luar sore mengambang, langit berawan, dan telepon di aparte Lia kembali berdering.

Sigap Lia mengangkat telepon itu, dan terkesiap ketika suara yang sangat dikenalnya itu langsung menyapa dalam bahasa ibunya, ”Selamat sore Lia.”

”Selamat sore,” Lia menjawab perlahan.

”Masih ingat suara siapa ini?”

Tentu saja Lia masih mengingatnya dengan jelas. Ia tertegun, kehilangan kata-kata. Sampai suara di balik gagang telepon itu kembali menegurnya, ”Lho, kok diam. Ke mana lidahmu yang biasanya lincah dan tajam itu. Apakah bahasa Korea telah membuatmu kehilangan kemampuan bicara Indonesia?” Suara di balik telepon itu tertawa. Suara tawa yang diam-diam pernah dirindukannya.

Cepat Lia menguasai diri. Bagaimanapun, ia tak ingin terkesan tolol jika berbicara dengan lelaki itu. Lia menjerit senang, suaranya mengalun lincah dan riang, ”Aih Pung, mana bisa aku melupakan suara tokoh legendaris di kalangan mahasiswa demonstran beberapa tahun lalu. Apa kabar? Eh dari mana kau tahu nomor teleponku? Ini SLI, ya?”

”Hai, satu-satu, Non. Ya, ini Ipung, masih Ipung yang sama. Tentu saja gampang mencari nomor teleponmu. Dan ehm, tebak aku ada di mana sekarang?”

”Mana aku tahu?”

Ipung tertawa. Masih suara tawa yang sama. Masih Ipung yang sama. Wajahnya, senyumnya, berlintasan di benak Lia. Di luar aparte, senja yang dingin membuat daun-daun berwarna kemerahan semakin merunduk, lebih banyak lagi yang melayang gugur ke tanah.

”Aku ada di Seoul sekarang.”

”Hah, yang benar?”

”Surprise, kan? Memang aku tidak ingin memberi tahu kamu lebih dulu. Namanya juga kejutan. Aku sudah dua hari di sini, mengikuti delegasi Indonesia dalam pertemuan dan seminar HAM Asia Pasifik. Dua hari lagi aku bebas. Selesai.”

”Wah, sudah jadi tokoh aktivis beneran rupanya. Kau tahu, Seoul-Busan hanya sekitar lima jam dengan kereta. Empat jam malah, kalau kau naik Seomaul, kereta ekspres.”

”Apakah ini sebuah undangan? Aku memang berencana mampir untuk menengok kamu. Itu pun kalau kamu tidak keberatan.”

Wajah Lia berseri. Bagaimanapun, setelah sekian lama, pertemuan dengan Ipung di sebuah negeri asing ketika ia merasa sendirian tentu akan menjadi peristiwa yang menyenangkan. ”Hei, aku tak akan mengulang tawaranku dua kali. Memangnya kau tak rindu kepadaku ya. Kapan acaramu selesai?”

”Jumat siang.”

”Oke, Sabtu dan Minggu aku bebas. Datanglah ke Busan dan menginaplah di tempatku barang satu dua hari. Tanggal penerbangan kembalimu ke Indonesia masih bisa diubah kan? Kau naik apa? Garuda? Mungkin Senin, pukul sebelas siang, kau bisa pakai Garuda rute Seoul-Jakarta untuk kembali. Nah, kalau kau langsung berangkat ke Busan, Jumat malam kita sudah bisa ketemu di Busan Yok, Stasiun Busan. Minggu malam kau bisa kembali ke Seoul, naik bus atau kereta. Bagaimanapun, aku senang bakal ketemu kamu.”

”Aku juga. Aku rindu kamu Lia.”


Malam itu Lia sulit memejamkan matanya. Kenangan lama pun merembes seperti udara dingin musim gugur di luar apartenya, merasuki sukmanya, membawanya terbang memasuki kembali hari-hari yang lewat dan pernah melengkapi album hidupnya.

Beberapa tahun lalu, Lia ingat, neneknya langsung menyongsongnya ketika ia baru saja sampai di rumah selepas kuliah. Sejak kuliah Lia memang memilih tinggal bersama kakek dan neneknya.

Nenek Sunarti langsung bercerita, ”Tadi sore Romo Hadi ke sini. Ia juga sempat menanyakanmu. Katanya kau sempat janji mau membantunya mengajar di sekolah darurat untuk anak-anak pemulung di dekat pembuangan sampah kota ini. Apa benar?”

”Oh iya. Aku memang pernah janji mau membantu Beliau. Kapan Lia bisa mulai?”

”Minggu depan, katanya. Romo ingin ketemu kamu dulu. Tadi Romo Hadi kemari ditemani pemuda, siapa namanya, Pak?”

Kakek Subroto tersenyum. ”Ipung? Namanya Ipung? Katanya dia kenal baik sama kamu.”

Lia tersentak mendengar nama itu. Ipung? Ipung kembali ke kota ini? Wajah Lia tampak berubah. Matanya yang semula redup karena lelah menjadi bercahaya.

”Anaknya spontan dan lucu, lho. Sambil ketawa dia bilang sama Eyang bahwa sebenarnya Lia itu sudah lama naksir dia. He he, dasar anak bengal. Apa benar itu Lia?” tanya Eyang Subroto sambil tersenyum geli melihat perubahan wajah Lia.

”Huh, bohong, Yang. Terbalik itu. Dia yang naksir berat sama aku.”

Ah, Ipung. Si kurus gondrong yang senang menarik kuncir Lia waktu posma, kakak kelas dua tahun di atas Lia. Terbayang senyumnya yang menyenangkan, sikapnya yang hangat seperti matahari pagi. Kenangan Lia langsung berlarian kepada pengalaman beberapa tahun sebelumnya.

Saat itu ia merasa meninggalkan jejak-jejak masa remajanya di gedung SMU yang tua dengan dinding-dinding yang dapat bercerita, bersiap memasuki dunia manusia dewasa yang tidak sepenuhnya ia pahami, namun sangat ingin ia rasakan.

Lia merasa beruntung menjadi mahasiswa di tengah perubahan besar yang bakal terjadi di negerinya. Ketika tanpa ia sadari mimpi-mimpi masa remajanya langsung tanggal bersama kenyataan hidup bangsanya yang berenang di telaga air matanya sendiri.

Saat itu buat Lia yang tengah sibuk merampungkan skripsi S1-nya, tetap tidak ada alasan untuk duduk diam seperti anak manis sambil berpangku tangan. Unjuk rasa menjadi pilihan efektif untuk mengatakan ”tidak” kepada penguasa yang menulikan telinganya sendiri dari jerit tangis rakyatnya.

Lia berada di sana. Mengikuti semuanya, ikut mengkoordinir demonstrasi demi demonstrasi, terlibat dalam rencana ”pendudukan” gedung wakil rakyat. Selebihnya ia ikut berdebar dan berkeringat setiap kali berlarian dikejar aparat keamanan di jalanan, atau menghindari gas air mata.

Saat-saat itulah ia semakin akrab dengan Ipung yang sudah lebih dulu aktif sebagai aktivis. Ah, siapa mahasiswa yang langganan ikut demonstrasi di kota itu yang tidak mengenal Ipung. Ipung yang punya jam terbang tinggi sebagai aktivis jalanan tampak menonjol saat itu. Ia pandai memancing empati dengan pidatonya di tengah kerumunan mahasiswa. Hubungannya luas dengan berbagai tokoh kritis dan oposisi. Ipung juga pandai bernegosiasi dan meyakinkan orang, sebagaimana beberapa kali dibuktikannya ketika ia berhasil meyakinkan kepala polisi di kota itu untuk ”melepaskan” beberapa mahasiswa yang tertangkap dalam kegiatan demonstrasi. Beberapa kali Ipung sendiri terkena pukulan dan tendangan dalam unjuk rasa, atau diincar untuk ditangkap. Namun ia selalu kembali di barisan terdepan.


Penulis: Rahmat H. Cahyono


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?