Fiction
Senandung Musim Gugur [3]

1 Jun 2012


<<<< cerita sebelumnya

Berhadapan dengan pemilik pabrik Korea itu, Lia merasakan ketegangan yang sama seperti saat menjadi aktivis jalanan.

Melalui beberapa kali kesempatan berbincang, dan sesekali makan siang bersama di kantin khusus dosen, Lia dan John Taylor sedikit demi sedikit mulai bisa berbincang lebih lepas. Udara musim gugur yang semakin sejuk tampaknya justru membuka jalan untuk mendekatkan mereka.

Lia sempat tertawa dalam hati melihat pemuda pemalu itu tampak berusaha keras mencari bahan perbincangan yang bisa menarik perhatiannya. Namun lama kelamaan pria itu bisa membuktikan dirinya teman berbincang yang menyenangkan. Mereka sama-sama kutu buku, sama-sama penyantap film-film seni.

“Lihat Lia, semakin banyak daun yang gugur,” John menunjuk pada gugusan pohon di taman kampus sore itu.

Mereka tengah berjalan pulang bersama menuju aparte mereka yang berdekatan letaknya. Langit warna kelabu, pohon-pohon di perbukitan yang mengelilingi kampus dan daerah tempat tinggal mereka mulai kelihatan cabang dan rantingnya yang kehilangan daun. Lia mengedarkan pandangannya. Udara dingin mengelus kulitnya yang halus. Angin mengibarkan sebagian rambutnya.

Ia tak sepenuhnya menangkap apa yang dikatakan John Taylor. Pikirannya sedang mengembara.

“Apa, John?”

“Hei, kau melamun ya? Tampaknya ada yang memberatkan pikiranmu?” John tersenyum simpatik. Lia mengalihkan pandangannya ke arah perbukitan. Hanya tinggal beberapa blok lagi, mereka akan sampai di aparte.

“Ya, sedikit.”

“Ceritakanlah kepadaku, biasanya kita akan merasa lebih ringan setelah berbagi cerita yang mengganggu hati kita.”

Lia memandang John, mencoba menyelami kedalaman sinar matanya. Apa maksud John dengan tawarannya itu? Apakah ia ingin membuka lembaran baru ke arah hubungan yang lebih personal. Ah, Lia, Lia, kau terlalu berlebihan menilainya. Mungkin ia hanya ingin bersikap baik, menjadi teman yang menyenangkan karena kepeduliannya. Lia menghela napas, mencoba mengusir getaran yang kembali muncul di hatinya, mengandalkan kekuatan yang selama ini dimilikinya dalam menghadapi laki-laki. Toh ia merasa bisa mempercayai laki-laki itu. Setelah berpikir sejenak, ia pun berkata, “Mampirlah ke aparteku sekarang, kalau kau ada waktu. Kita bisa ngobrol sambil minum kopi.”

Hanya sesaat memang, tapi Lia bisa melihat sejenak mata biru itu berbinar, seolah ia sudah menunggu cukup lama munculnya tawaran semacam itu meluncur dari mulut Lia. Lia berusaha menekan perasaannya sendiri dan bersikap biasa.

Sesampainya di aparte Lia di lantai empat, John Taylor langsung bisa merasakan perbedaan kediaman pria dengan wanita. Langsung tercium bau segar menyenangkan dari dalam aparte Lia yang jelas lebih bersih dan nyaman dibandingkan apartenya sendiri. Meskipun ukurannya sama saja kecilnya. Begitu pintu terbuka, langsung terlihat sedikit ruang untuk dapur di sebelah kiri, bersebelahan dengan kamar mandi. Persis di sebelah kamar mandi, terdapat kamar tidur berukuran tiga kali tiga meter. Sebuah ruang yang berukuran kurang lebih sama terletak di sebelah kanan kamar tidur itu. Lia menata ruang kecil itu untuk ruang tamu, dengan jendela yang bisa dibuka. Di musim panas, sinar matahari dapat menerobos masuk dengan leluasa melalui jendela itu. Dari jendela itu juga dapat terlihat aparte tempat tinggal John yang terletak berseberangan dengan gedung aparte yang ditempati Lia.

“Duduk John, biar aku buatkan kopi untukmu,” ucap Lia.

John mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ia mengedarkan pandangannya menikmati ruang tamu yang kecil itu. Pandangannya tertumbuk pada pigura foto yang tampak mencolok terletak di meja tulis. Di foto itu tampak Lia tengah tersenyum, diapit beberapa laki-laki. Dan siapa itu pria berambut gondrong di sebelah kanan yang tersenyum lebar, tangannya merangkul bahu Lia?

Seakan tahu ke arah mana pandangan John diarahkan, setelah meletakkan dua cangkir kopi panas di atas meja, Lia mengambil foto itu. “Ini fotoku bersama teman-teman lama, aktivis di kota kelahiranku. Kami dulu menyelenggarakan sekolah informal untuk anak-anak pinggiran di kota kami. Kau lihat, ini Father Hadi. Ya, dia seorang pastor. Kami memanggilnya Romo Hadi. Ia mengkoordinir kami menyelenggarakan sekolah itu.”

“Dan ini siapa? Pacarmu?” Lia tersenyum. Ia seolah dapat merasakan, ada nada cemburu dalam cara John bertanya, meskipun ia mencoba menyamarkannya dengan cara bertanya yang terkesan sambil lalu.

“Bisa dibilang begitu,” Lia tersenyum samar.

“Oh,” hanya ucapan pendek itu yang keluar dari mulut John. Roman mukanya tampak sedikit berubah.

“Aku sendiri tidak tahu kategori hubunganku dengannya,” Lia mencoba menetralisir perasaan John. “Ya, biar waktu yang memutuskannya nanti, akan ke mana arah hubungan kami. Sudahlah, kau masih mau mendengar ceritaku?”

“Tentu saja,” John mengangguk mantap. Lia duduk di samping John, dan mulai menceritakan secara ringkas persoalan yang tengah dihadapinya.

Seusai makan siang tadi, Lia dipanggil Prof. Lim Chun-do. Ternyata bukan persoalan sekolah yang ingin dibicarakan. Prof. Lim dengannya.

“Duduk, Ibu Lia,” kata Prof. Lim sambil tersenyum. Wajah Prof. Lim tampak lelah. Meja kerjanya berantakan dengan buku dan berkas-berkas kantor. Dengan sigap dia menyiapkan sendiri secangkir teh ginseng untuk Lia, kopi krim untuk dirinya sendiri. Memang tidak ada semacam pesuruh sekolah yang bisa dimintai tolong untuk membuatkan kopi atau teh. Untuk membersihkan dan merapikan ruang dosen, setiap profesor Korea dibantu oleh satu dua mahasiswa yang menjadi pengurus organisasi mahasiswa jurusan.

Kesempatan itu digunakan Prof. Lim justru untuk menceritakan masalah lain. “Mungkin Ibu Lia bisa bantu,” katanya dengan tenang sambil duduk di hadapan Lia.

Prof. Lim bersama beberapa aktivis dan intelektual Korea yang memiliki hubungan khusus dan pertautan batin dengan Indonesia mendirikan lembaga swadaya masyarakat yang membantu menyelesaikan masalah-masalah tenaga kerja Indonesia di Busan dan kota-kota sekitarnya. Mereka juga menyediakan kursus gratis pemahaman hukum perburuhan di Korea, kursus bahasa Korea dan bahasa Inggris.

Di waktu-waktu senggangnya, Lia ikut mengajar kursus bahasa Inggris buat TKI. Jika ada waktu, ia pun bergabung dengan TKI yang belajar bahasa Korea, karena dia tahu, penguasaan bahasa Koreanya masih jauh dari memadai.

Ada beberapa relawan lain yang mengajar bahasa Korea di tempat itu. Salah satunya adalah Choi Hyun-jin, salah seorang mahasiswa Lia yang tergolong pintar di jurusan Malay-Indonesia. Lia bangga karena Hyun-jin bahkan sudah berani menggunakan bahasa pengantar Indonesia dalam pelajaran bahasa Korea yang diberikannya, meskipun masih terpatah-patah..

Ribuan pencari kerja itu terbang jauh dari Indonesia, laki-laki dan wanita. Seperti kupu-kupu, mereka mencari tempat-tempat yang dilumuri madu di berbagai kota di negeri ginseng, bahkan sampai ke pelosok yang jauh dari keramaian kota besar. Mereka bergabung dengan ribuan pencari kerja lainnya dari Vietnam, Thailand, Bangladesh, Pakistan, India, Filipina, Rusia, dan beberapa negeri lain pecahan Uni Soviet.

Dari salah seorang TKI, Lia akhirnya tahu apa bedanya trainee atau training dengan “swasta”. Trainee adalah TKI yang masuk ke Korea melalui jalur resmi penyalur tenaga kerja. Sedangkan “swasta” adalah sebutan untuk TKI ilegal. Yang ilegal ini justru jauh lebih banyak. Mereka masuk ke Korea hanya dengan menggunakan paspor turis. Ada juga mereka yang semula TKI resmi, beralih menjadi “swasta”. Itu terjadi ketika kontrak mereka dengan perusahaan atau pabrik tempat mereka bekerja habis, tetapi mereka enggan kembali ke Indonesia karena tahu susahnya mencari pekerjaan yang layak di negeri sendiri. Bisa juga karena mereka lari dari tempat bekerja sebelumnya lantaran tidak tahan dengan beban kerja yang terlalu berat dan perlakuan buruk. Tidak sedikit yang sebelumnya bekerja sebagai pelaut, kemudian memilih bekerja di darat.

Ya, mereka lebih memilih menjadi TKI ilegal, menjalani jenis-jenis pekerjaan berat di berbagai pabrik atau peternakan yang dihindari orang Korea sendiri, daripada kembali ke negeri kelahiran yang terus dirundung awan gelap ketidakpastian masa depan.

Cukup banyak masalah yang harus ditangani lembaga perlindungan pekerja asing itu. Kadang persoalan justru muncul dari TKI sendiri. Peliknya masalah itu bersumber dari rendahnya pemahaman TKI terhadap hak dan kewajibannya sebagai pekerja asing. Banyak di antara mereka memang berlatar pendidikan rendah, bukan pendidikan keahlian. Banyak di antara mereka yang sebelumnya menginjak Jakarta pun belum pernah, langsung lompat dari kampung halamannya ke negeri ginseng.

Pernah Lia berada di tengah situasi yang tidak nyaman dan memalukan. Ketika diadakan pertandingan persahabatan antara TKI dari Busan dengan TKI dari kota lain untuk merayakan Tujuhbelas Agustusan yang juga dihadirinya, terjadi perkelahian hanya karena salah satu pihak tidak puas dengan hasil pertandingan persahabatan itu.

“Itu masih mending, Ibu Lia. Tempo hari sebelum Ibu Lia datang, malah ada TKI sampai masuk rumah sakit karena luka tikam, setelah perkelahi di antara mereka sendiri. Terpaksa lembaga kami urunan mencari dana untuk biaya rumah sakit,” cerita Prof. Lim sambil tertawa, seolah itu merupakan kejadian biasa.

Lia terhenyak tak habis pikir. Mengapa kultur kekerasan itu terbawa jauh sampai ke negeri orang, seolah menggenapi pengetahuan dunia tentang rangkaian kekerasan tak berujung yang terus terjadi di negeri kelahirannya?

Namun yang diceritakan Prof. Lim kali ini bukan tentang kekerasan di antara TKI sendiri, melainkan kasus tiga orang TKI yang dilanggar haknya oleh pabrik pengolahan dan pengalengan ikan tempatnya bekerja.

>>>> cerita selanjutnya

Penulis: Rahmat H. Cahyono



 


MORE ARTICLE
TYO
TYO
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?