Fiction
Selendang Penari (5)

30 Aug 2012

<< cerita sebelumnya

SANG PENARI

Hanya perempuan itu yang mengerti tanpa rasa heran mengapa calon pengantin itu mendadak pamit dengan segera dan urung memilih hadiahnya. Sementara beberapa detik sebelumnya pendar matanya begitu takjub melihat koleksi kain, yang beberapa di antaranya seyogianya boleh terambil menjadi miliknya.

Tentu hanya dia yang mengerti. Sama seperti ketika bertahun silam, belalak mata yang sama membuatnya membeku, serupa patung telanjang berbalut selendang indigo. Tidak telanjang dia kini, tapi tatap sepasang mata itu mengutuhkan kembali ketelanjangannya sebagai bunga malam di masa lalu.

“Tak apa. Barangkali dia perlu mempertimbangkan terlebih dahulu kain terbaik yang akan menjadi pilihannya,” kata perempuan itu, sembari tersenyum, memecahkan suasana kaku yang ada sepeninggal calon pengantin yang pamit mendadak dengan tergesa. Gerak senyum itu  alangkah luwes menutupi gejolak yang membadai di dalam benaknya.

“Kain-kainmu istimewa, tentu tak mudah menentukan pilihan,” sela calon mertua sang pengantin, yang adalah kakak perempuan itu.
“Begitulah.”
“Mengapa yang satu itu mendapat perlakuan khusus?” sang kakak bertanya sembari menunjuk selendang indigo yang melingkar di bahu adiknya. “Seingatku, itu kain lama.”
“Setiap kain memiliki kisah dan kenangannya sendiri. Paling tidak cerita latar dari para pembatiknya atau dari mana kain itu bermula. Kalau yang ini tak kuberikan untuk dipilih, karena ini adalah pemberian, tentu harus kusimpan untuk diriku sendiri demi menghargai pemberinya,” demikian sang adik mengelakkan diri.
“Sang pemberi itu, pastilah bersyukur telah memilih seorang yang tepat sepertimu, yang setia menyimpan kenangannya.”

Tersenyum samar sang adik. Berpaling demi menyembunyikan gurat matanya. Tak ingin terlihat betapa parah sobek yang tersimpan di benaknya. Sekian lama dibawanya luka dalam pelariannya, tak nyana bahwa dia bukanlah penyimpan tunggal luka itu. Bayang anak terbelalak di ambang pintu itu, ternyata menyimpan luka yang sama.

Adakah dosa yang lebih keji daripada dosa melukai anak belia, dengan menyuguhkan pengkhianatan seorang ayah kepada anak yang sedang mencari ibunya?
Dalam pelariannya, perempuan itu tak tahu bahwa itu ternyata hanyalah dosa permulaan. Kini disadarinya bahwa yang permulaan itu telah berlipat-lipat seturut usia anak itu hingga sejauh ini.

“Akankah kembali pergi sesudah ini?” lagi kakaknya bertanya. Bernada lembut, namun seolah menggiring pada sudut yang tak terelakkan.
“Entahlah,” jawaban mengambang itu terdengar lirih.
“Tetaplah tinggal,” lurus sang kakak menatap adiknya. Nada suaranya menyiratkan harapan tersimpan.

“Entah apa yang menjadi tujuanmu, tapi bagiku perjalananmu lebih serupa pelarian. Andai itu benar, maka berhentilah. Dua puluh tahun sudahlah cukup. Sejauh mana akan kau tinggalkan kenangan-kenangan yang tak kau kehendaki?”
Terdiam perempuan itu. Sudut di mana dia berada tak memberi peluang untuk mengelak lagi.

“Sekian lama kau menjadi penyelamatku dan anak-anakku. Maka sekaranglah waktu bagiku untuk melindungimu. Kumohon jangan menempatkanku sebagai kakak yang tak berguna, sementara kutahu kau sungguh sendirian.”
Menunduk perempuan itu. Memejamkan mata demi menahan bongkah air yang hendak tumpah.

“Keji dosa masa laluku. Tak ada seorang pun sanggup mengampuni apalagi menyelamatkan aku.”
“Keyakinan yang keliru. Andai benar sesama manusia tak sanggup mengampunimu, bukankah Tuhan kita adalah Tuhan yang pengampun? Tak ada dosa yang tidak diampuninya, sepanjang kita memintanya.”
“Apakah bagiku juga?” suara perempuan itu bergetar.

“Bertahun kau jalani pelarianmu, demi menjauh dari dosa yang kau kira akan sirna dan terlupakan oleh jarak dan waktu. Upaya yang sia-sia belaka. Karena sesungguhnya kau hanya perlu datang kepada-Nya dalam doa. Pelarian justru makin menyesatkanmu, sementara Dia yang membawa pengampunan bagi setiap umat, hanyalah sejauh doa.”
Hening sesaat. Seolah ada sesuatu yang bergerak turun, lalu mengendap diam. Adakah itu serakan masa silam, yang tak hendak lagi melayang tak tentu arah?

“Adakah keberanianmu untuk berhenti?”
Terucap pertanyaan itu bukan sebagai sesuatu yang menantang, melainkan lebih sebagai ajakan yang membujuk lembut.

Hening lagi. Atau senyap? Seakan pertanyaan itu mengambang di dataran air yang pastilah akan segera menenggelamkannya, untuk kemudian hilang tak berjejak. Perkiraan yang keliru. Hening itu ternyata adalah karena perempuan itu sedang berendam dalam renungan panjang, menyelam pada serpihan masa silam yang telah terjalani sejauh ini. Dan dia tak hendak membiarkan dirinya tenggelam.
“Sesungguhnya aku tidak hanya harus berhenti dari pelarian, melainkan juga menyerahkan pengakuan,” katanya kemudian.
“Maka lakukanlah. Selagi napas masih menyertaimu. Ketakutan dan keberanian adalah bagian dari hidup yang berlapis-lapis. Ada saat memilih yang satu dan meninggalkan yang lain. Pilihlah keberanianmu sekarang atau kau akan selamanya terjebak pada lapisan takut yang memberimu perlindungan semu.” 

Lalu air mata perempuan itu tumpah, rebahlah dia di bahu sang kakak yang tak lagi hendak membiarkan seorang adik tersesat dalam pelariannya.
Sekian tahun pelarian itu, alangkah sia-sia. Keinginan hati menyamarkan dosa. Seolah lari menjauh adalah upaya yang akan menghasilkan penyelamatan. Betapa tipis iman yang meyakini hal itu. Sekaligus iman yang pengecut, tak kesatria menyangga beban dosa diri sendiri.

Tersudahilah pelarian perempuan itu. Kini bersujud dia dalam perjalanan doa pengakuan dosanya. Dipungutnya keping berserak cerita pelariannya. Disusunnya satu per satu menjadi keberanian yang berlapis-lapis demi menyertai langkahnya menuju pada sesuatu.

Suatu tekad barangkali tak akan cukup kokoh andai dibangun dalam satu hari. Telah terbuang ribuan hari, bertahun-tahun dalam pelarian tak jelas arah, maka akan ditebusnya kini apa yang telah terbuang itu. Keberanian harus selalu dimulai dengan sebuah awal yang adalah sekaligus pertaruhan. Akan diambilnya risiko pertaruhan itu.                                                            

                                                                                    cerita selanjutnya >>



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?