Fiction
Selendang Penari (4)

30 Aug 2012

<< cerita sebelumnya

SANG PENGANTIN

   
Belum genap 10 tahun usiamu ketika kau menemukan dirimu terjaga pada sebuah dini hari. Sendirian, terbungkus dingin. Bergerak turun kau dari tilam, melangkah mencari pelukan Ibu, yang pastilah hangat itu. Tak terkunci kamar itu saat tangan kecilmu mendorongnya, saat yang sama teringat olehmu bahwa dua hari berselang Ibu pamit menjenguk Nenek di desa.
  
Namun, sebuah gerak di tilam memerangkap tatapmu. Sebuah gerak yang terkejut bergegas melepaskan diri dari pelukan ayahmu. Tubuh telanjang seseorang itu terbungkus selendang, bergerak cepat ia mengenakan pakaiannya, lalu bergegas berlari meninggalkan ruang ibumu. Ayahmu melakukan hal yang sama, menyusul perginya perempuan itu. Meninggalkanmu sendirian bersama selendang nila indigo bercorak burung entah apa yang tak kau tahu namanya.
   
Sisa malam itu kau lewati dengan selendang tertinggal itu menyelimutimu. Namun. bukan hangat yang membungkusmu serupa dekapan Ibu, melainkan gigil yang seolah membuatmu beku.

    Menjelang tengah hari saat Ayah mendekatimu, dan meminta selendang itu.
    “Mari, berikanlah selendang itu pada Ayah, Nak.”
    “Mengapa?” tanyamu, serupa gugatan.
    “Itu selendang penari, tak akan bisa dia menari tanpa selendangnya,” begitu Ayah membujuk. Bujukan yang lebih serupa permohonan.
   
Tapi, kau bergeming, tak hendak melepaskan selendang itu dari pelukanmu. Bukan karena kau menginginkannya, melainkan karena kau berpikir bahwa pastilah selendang itu milik ibumu. Maka, harus kau jaga dengan sungguh hingga Ibu pulang nanti.

    Ayah tersenyum padamu, meraihmu untuk duduk di pangkuannya.
    “Ingatkah buku dongeng mancanegara yang kau inginkan itu?”
    Kau mengangguk. Tentu kau ingat buku tebal bergambar indah memikat hati, yang tak terbeli oleh uang sakumu. Bahkan, tak juga oleh sisa uang belanja Ibu.
    “Ayah akan membawa buku itu menjadi milikmu.”
    “Benarkah?!” serumu antusias. “Tentu aku mau!”
    “Tapi…,” Ayah tak menyelesaikan kalimatnya. Seolah sengaja mengambangkannya untuk menggodamu.
    “Tapi apa?” sergahmu, tak sabar.
    “Ibumu tak suka menari, Nak, apalagi pada penarinya. Bukankah lebih baik bila Ibu tak mengetahui tentang selendang ini dan kunjungan penari itu di rumah kita? Kalau kau setuju, kita akan ke toko membeli buku dongeng itu. Bagaimana?” begitu lembut dan bijak bujukan Ayah terasa bagimu.
   
Tentu kau setuju. Dengan segera kau ulurkan selendang itu, sekilas harum cendana yang menguar dari sutra lembut itu, menghampiri ujung hidungmu untuk terakhir kali.
Benarkah terakhir kali?
   
Sungguh keliru. Aroma keharuman yang magis itu ternyata tak pernah benar-benar meninggalkanmu. Setiap kali membuka buku dongeng itu, yang membawa anganmu berkelana ke berbagai belahan dunia, setiap kali pula aroma itu samar-samar menyentuhmu, seolah mengingatkan tentang persekutuan tipu daya mengelabui Ibu yang kau lakukan dengan ayahmu.

Lalu dingin yang bermula dari telapak kaki menjalarimu, bergerak cepat untuk kemudian menguasaimu. Seolah kau terikat dalam dingin yang beku. Sedemikian kuat beku itu mengikatmu, tak hendak mencair demi tak melepaskanmu. Seolah akan selamanya kau terperangkap dalam dingin itu. Bahkan, pelukan Ibu tak berdaya melepaskanmu. Rengkuhan Ibu yang dahulu senantiasa hangat itu, kini seolah kian menyempurnakan lapisan beku yang mendekapmu. Kehangatan Ibu tak pernah lagi menjadi milikmu.

xxxx

ACAP KALI KAU INGIN menyerah, seolah tak sanggup mempertahankan ikatan dusta itu. Namun, setiap kali pula tatap mata Ayah mengingatkanmu bahwa perjanjian di antara kalian tak lagi bisa diingkari. Membuatmu tak memiliki kesanggupan untuk mengaku dosa kepada ibumu, juga kepada pembimbing rohani panutanmu.
Bahkan, hingga Ayah berpulang, kau menyimpan sendirian dosa itu. Setiap kali usai pengakuan dosamu, setiap kali kesadaran itu merambatimu, bahwa masih tersimpan yang satu itu, di sudut terjauh benakmu.
  
 Kini menjelang pernikahanmu. Adalah hidup yang baru sesudah itu. Akankah kau bawa serta yang lama tertinggal itu?
   
Lama kau berpikir, dengan rasa dingin yang menjalarimu persis serupa saat selendang penari menyelimutimu semalam itu. Satu hal kau sadari kemudian bahwa andai terbawa persekutuan masa silam itu, maka hidup barumu bersama kekasihmu, tidak akan pernah menjadi benar-benar baru.

xxxx

IBU TERSENYUM SUMRINGAH
sembari meletakkan telepon.
    “Ah, legalah hatiku, tujuh orang terpilih telah memastikan diri bersedia menjalankan tradisi siraman untukmu nanti,” kata Ibu, bernada lega.
    “Tujuh orang? Wow!” kau berdecak sembari membayangkan dirimu diguyur air berulang kali di ruang terbuka di bawah tatap mata para tamu.
    “Apakah semua calon pengantin harus menjalani prosesi itu?”
    “Tentu saja,” jawab Ibu segera.
    “Apa makna pentingnya?”

“Siraman pengantin adalah salah satu bagian dari rangkaian upacara adat. Tradisi ini bermakna seolah kami memandikanmu, membersihkanmu dari kesalahan masa lalu, sehingga kau siap menjalani hidup baru dengan hati yang bersih. Hidup barumu di sini berarti bahwa kau dari seorang gadis, akan melangkah menjalani hidup baru sebagai seorang istri.”

Kau tercekat. Hati kecilmu mengakui maksud baik yang melatari inti upacara itu. Kau pahami perlambang positif dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Namun, justru karena itulah, menghadapkanmu pada sebuah gamang yang pekat.

    “Mengapa Nak, apakah kau tak ingin melakukannya?” Ibu menangkap gamang hatimu.
    “Tidakkah upacara itu merepotkan?” tanyamu, menyamarkan keraguanmu.
    “Ini hanya upacara sederhana, sama sekali tidak merepotkan. Andai pun diperlukan pernak-pernik ini itu, sehingga mungkin memunculkan sedikit kesibukan, maka Ibu akan menjalaninya dengan ikhlas, karena nilai manfaat yang kita peroleh akan jauh lebih besar.”

    “Nanti Ibu terlalu lelah,” lagi kau berkata.
    “Demi untukmu, apa pun tak akan terasa melelahkan.” Senyum Ibu tetap sumringah.
    “Tradisi ini dilakukan bukan hanya demi memenuhi persyaratan seremonial belaka, melainkan karena tradisi itu memiliki perlambang yang bermakna baik. Makna pelaksanaannya layak menjadi sesuatu yang berharga untuk kita. Tidak hanya sebagai kenangan untukmu ataupun Ibu, melainkan juga demi membekalimu nilai kehidupan.”
   
“Kami akan membasuhmu dengan air perwitasari, yaitu air suci bertabur bunga. Air itu berasal dari tujuh mata air, direndam dengan kembang setaman mawar, melati, kenanga, dan kantil. Tujuh orang terpilih akan membasuhkannya padamu. Tujuh menjadi pilihan karena itulah pitu, yang berarti pitulungan. Filosofi itu bermakna supaya senantiasa ada pertolongan bagimu, kapan pun saatmu memerlukannya.”
   
Siraman air tujuh mata air disucikan dan kembang setaman, akan membasuhmu, seolah membersihkan dosamu. Apakah akan  terbasuh pula dosa yang satu itu?
   
Pertanyaan itu mendatangkan kembali rasa dingin yang nyaris menggigilkanmu. Seakan bergerak dingin itu, berputar serupa spiral yang menimpakan pening nan pekat di kepalamu.
   
“Siraman hanya perlambang, Nak. Tak akan berarti tanpa disertai perilaku terkendali,” terdengar suara Ibu, menelusup di antara pening berputar di kepalamu.
   
Maka persiapkanlah diri dengan sebaik-baiknya. Ibu juga. Bersama kita akan berpuasa, meditasi dan berdoa hingga saatnya tiba. Katakan pada Ibu, saat kau siap untuk melakukannya.”
  
Ibu mengusap lembut pundakmu. Kelembutan Ibu, betapa kau menginginkannya. Ingin kau menghambur dan rebah dalam dekap Ibu. Hendak kau letakkan beban yang memberatimu, yang tak mampu lagi kau menanggungnya. Tapi, saat yang sama, terkunci segala gerakmu, tak mampu menggapai haribaan Ibu oleh karena keberanian yang tak kau punya. Beranimu sirna.
   
Kau ingat keberanian-keberanian yang dulu senantiasa mengalirimu. Saat anak perempuan sebayamu menjerit ketakutan melihat ular sawah melingkar di pematang, maka kau dengan tenang menghalau ayam dan itik yang berkeliaran di sekitar sehingga tidak termangsa ular itu.
   
Tak ada pula jijikmu pada katak hijau. Sigap kau menangkap dan menaruhnya pada lenganmu, menunggu katak itu melompat pada bahu atau kepalamu. Saat penerangan rumah terkena pemadaman listrik di larut malam, tak ada keraguanmu untuk berjalan sendirian menuju dapur mencari air minum demi melepaskan dahagamu.
     
Dengan sepenuh keberanian pula kau memilih kekasihmu sebagai pendamping untuk bersama menjalani hidup yang akan tertempuh kemudian. Sungguh kau tahu diperlukan keberanian yang tak biasa untuk beralih dari zona tunggal menjadi berpasangan untuk jangka waktu yang tidak temporer, melainkan selamanya. Keputusan yang kau pilih dengan berani, tanpa rasa gentar, siap menanggung segala yang mungkin terjadi. Beranimu penuh.
   
Namun kini, di tengah tradisi yang akan terjalani dengan segala perlambang dan rancang harapan mulia, kau temukan dirimu sebagai pengecut yang gentar. Keping keberanian dirimu berserak serupa puing di sekitarmu.

                                                                                        cerita selanjutnya >>


Penulis: Sanie B. Kuncoro




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?