Fiction
Selendang Penari (1)

30 Aug 2012

SANG PENGANTIN

Bersama kalian meneliti daftar itu. Mengevaluasinya satu per satu, memberikan tanda dan keterangan tentang perkembangan paling baru pada poin masing-masing. Susunan acara, rincian prosesi upacara, penataan hidangan lengkap dengan daftar menu, nama para pagar ayu dan bagus, perlengkapan ini itu, bahkan daftar tamu-tamu yang perlu dipanggil untuk foto bersama pengantin.
  
“Daftar tamu yang harus berfoto bersama kita ini, apakah tidak bisa dikurangi?” gumammu, mengeluh. “Prosesi yang pasti menjemukan. Berulang kali berfoto dengan posisi yang sama, yang lebih sebagai basa-basi belaka. Aku berani bertaruh, mereka sesungguhnya juga tak berminat berfoto bersama kita.”
   
“Begitulah hidup,” kekasihmu menenangkan. “Sering kali harus dilengkapi dengan ornamen-ornamen penghias yang tak selalu diperlukan. Termasuk basa-basi itu sebagai visualisasi atas sebuah hubungan baik, ewuh pekewuh. Merepotkan untuk dilakukan, tapi juga tidak mengenakkan kalau tidak dilaksanakan.”
   
“Akan banyak ekspresi aneh pada foto-foto candid pas di prosesi itu,” begitu kau menduga-duga.
“Ya, aku akan memberi pesan khusus pada fotografer, untuk lebih tajam mengamatimu dengan kameranya di sesi itu.”
“Huuuu,” katamu, mengekspresikan protes ringanmu.
Kekasihmu tertawa. Berseri-seri matanya menatap padamu, disertai   pancaran cinta yang sungguh serupa dispersi warna yang tak terbilang, yang setiap gurat warnanya seolah makin menambah keyakinan bahwa kau adalah bagian dari tulang rusuknya yang hilang pada suatu ketika.
   
“Tidakkah merasakan keajaiban itu, bahwa ternyata kita akan menikah?” kekasihmu bertanya kemudian.
   
Kau mengangguk. “Keajaiban itu adalah bahwa kita bersama memutuskan untuk saling menikahi, siap menerima satu sama lain. Meski dirimu sering kali lebih menjengkelkan daripada dugaanku semula.”
   
Lagi kekasihmu, calon mempelaimu itu, terbahak. Mengacak lembut rambut bergelombangmu.
   
“Dan ketabahanku adalah menerjemahkan kelugasanmu lebih sebagai kejujuran tanpa topeng yang menipu, menjadikannya sebagai cermin ketimbang merasa tersinggung,” katanya.

Kini kau tertawa, menyandarkan diri pada bahu kekasihmu, sembari menyadari betapa kalimat kekasihmu tentang dirimu benar belaka, bahwa sering kali kau alpa untuk membatasi ketajaman lidahmu saat berkata-kata.
   
“Itulah keajaiban. Bahwa kita memutuskan bersekutu dalam pernikahan justru setelah pertikaian sedemikian panjang.”
    “Karena ILY, I love you.”
    “Dan IMY,  I miss you.”
Lalu kalian tertawa bersama. Sepakat dan merasa kompak pada akronim yang seolah menjadi ikon persekutuan kalian selama ini.
Pertikaian.
Kau ingat kegaduhan kalian selama ini. Rentetan panjang berulang, yang kerap kali terpicu oleh   hal-hal yang tak penting. Persoalan sepele yang bahkan acap kali terlalu sederhana sebagai pemicu, tapi ternyata kalian berdua sanggup menjadikannya sebagai sebuah awal yang provokatif. Pernah terjadi pertengkaran itu di warung bakso. Salah satu yang tak akan terlupa dari ingatanmu.
   
Duduk bersama kalian menunggu menu pesanan dihidangkan. Beberapa saat kemudian terlihat olehmu, bahwa pembeli yang datang belakangan justru mendapatkan pelayanan terlebih dahulu. Maka kau tegur pramusaji dengan nada tak ramah. Kekasihmu tak berkenan atas sikapmu dan justru berbalik menegur. Teguran yang kau lawan dengan seketika. Betapa tidak? Kau berpikir bahwa seharusnya mendapat dukungan, sebaliknya justru teguran yang kau terima.  Terpicu emosimu sehingga kalian bergaduh tak tentu arah. Hengkanglah kalian dari warung itu tanpa sempat menikmati pesanan yang terlambat disajikan. Sepanjang jalan pertengkaran itu berlanjut, hingga kemudian tersadari bersama bahwa sesungguhnya kalian sangat lapar dan haus. Berhenti perbantahan saat kalian menemukan penjaja es kelapa muda di tepi jalan. Bersama kalian menikmati kesegaran buah tropis yang berpadu es serut. Dingin es mendinginkan pula hati kalian. Manisnya sirop merah muda seolah menandakan betapa indahnya duduk berdua, berteduh di kerindangan pohon sawo kecik. Redalah emosi yang barusan membara di benak. Kalian tertawa bersama sesudah itu, sembari sedikit malu menyadari betapa tidak bermutunya pertikaian yang kalian lakukan sesaat lalu.
   
xxxx

MELALUI PERTENGKARAN DEMI PERTENGKARAN, beralih dari satu gaduh pada gaduh lainnya dengan beragam sebab dan pemicu, ternyata membawa kalian pada satu kenyataan. Yaitu bahwa kalian tak juga saling jauh, melainkan  justru makin mengenal satu sama lain.
   
“Marilah menikah,” begitu kata kekasihmu, usai meneguk tandas es kelapa dari gelasnya.
Kau mendengar kalimat itu. Bernada biasa, diucapkan dengan datar seolah tanpa disertai nada memohon, apalagi berkesan romantis. Sama sekali jauh dari anganmu tentang adegan pinangan, yang terkonfigurasi melalui pengaruh film-film Hollywood dan juga yang kau temukan di berbagai novel pop. Tidak ada senja berwarna jingga  bercahaya yang melatari pinangan itu. Atau sebuah malam yang gemerlap oleh taburan bintang-bintang. Itu sekilas bayangan yang terkadang menghampiri angan khayalanmu. Kau dapati kini betapa semua itu sungguh hanya khayalan, karena pinangan yang menghampirimu kini tak menyertakan semua itu. Tak ada senja, melainkan sebuah siang yang terik. Tak ada cahaya bintang, melainkan keteduhan rindang dedaunan dan reranting dari pohon sawo kecik tua yang telah tumbuh entah sejak kapan.

Namun, kalimat sepotong yang sederhana itu ternyata meneduhkan hatimu. Memberikan kelegaan, sama persis seperti saat rindang daun sawo kecik menyaring cahaya matahari dan memberikan kalian perlindungan dari panas yang menyengat.
   
“Apakah kita sungguh memerlukan pernikahan?” tanyamu, lebih sebagai pertanyaan yang juga berlaku untuk dirimu sendiri.
   
Detik selanjutnya tersadari, bahwa responsmu sama sekali juga tidak romantis. Bahkan bisa dikategorikan sebagai aneh. Bagaimana mungkin sebuah lamaran justru diantisipasi dengan pertanyaan balik yang mengambang?
    “Perlu,” jawab kekasihmu. Jawaban yang entah bagaimana mendebarkan hatimu.
    “Ada kecenderungan di dalam diriku untuk ingin selalu berada di dekatmu. Dalam pikiranku, kau seolah rumah ke mana aku hendak menuju setiap kali. Tidak hanya setelah melewati berbagai kegelisahan atau perjalanan pencarian, melainkan juga saat aku ingin berbagi kebahagiaan.”
   
“Apakah kau tahu bahwa ‘rumah’ itu tidak selalu rapi dan bersih saat kau pulang?” kau bertanya. Entah demi menguji sebuah kesungguhan atau karena ada kekhawatiran yang menyelinap di dalammu.
    “Sangat tahu. Acap kali rumah itu justru sangat berantakan, berdebu di sana-sini, bersarang laba-laba di berbagai sudutnya.”
    “Bahkan ada kalanya dia tak hendak membiarkan pintunya terbuka, meski pemiliknya telah membawa kunci yang tepat.”
     “Apa lagi?”
    “Sering pula lampu-lampu di dalamnya tak mau menyala. Memilih tetap padam, walau itu akan membuat penghuninya putus asa tinggal dalam kegelapan.”
    “Begitukah?”
    “Atas semua risiko itu, apakah kau tetap menghendaki rumah itu?”
    Kekasihmu mengangguk.
    “Ya. Dengan mengetahui kondisi terparahnya sejak semula, justru menjadikan aku nyaman berada di dalamnya tanpa rasa waswas. Ketimbang berada di rumah elok nan bercahaya benderang, namun kusimpan perasaan khawatir, menduga-duga gerangan apa yang sesungguhnya tersimpan di dalamnya?” begitu jawab kekasihmu, dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
    Setiap jawaban itu, yang kau simak dengan sungguh, kini tidak hanya meneduhkan hatimu, melainkan seolah menempatkanmu pada sebuah dataran yang jembar. Lapang melegakan. Segala sudut terlihat, tak ada yang tersembunyi, apalagi perlu diwaspadai di balik kelok dan persimpangan. Jalanmu itu seolah mudah belaka.

xxxx

                                                                                 cerita selanjutnya >>


Penulis: Sanie B. Kuncoro


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?