Fiction
Selendang Merah [6]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

“Bukan anaknya Handoko?” Rindang balas teriak. “Dari mana kau tahu?”

Alia menggigit bibirnya. “Tadi aku bicara dengan kerabatnya. Handoko tak memiliki anak biologis dari pernikahannya dan Tio hanyalah anak angkat yang diambil dari panti asuhan.”

Rindang membelalak kaget. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Lemas.

Gemawing, Juni 1985

“Rin, Emak mau tanggapan di ujung kampung. Kamu ndak usah ikut, ya. Emak takut banyak orang mabuk di sana!” kata Emak, sebelum berangkat.

Aku hanya mengangguk dan duduk di teras melihat kepergian Emak. Banyak yang berubah sejak Emak bergaul dekat dengan Handoko. Di rumah selalu banyak makanan enak. Emak membelikan banyak baju baru untukku dan dirinya sendiri. Rumah kami juga penuh dengan kotak-kotak minuman keras.

Dua hari sekali Handoko datang membawa kotak-kotak itu. Emak bilang, Handoko hanya menitipkan kotak minuman keras itu di rumah kami. Bahkan, aku juga melihat banyak pil warna-warni di lemari kamar Emak. Entah pil apa, tetapi banyak pemuda kampung datang ke rumah untuk membeli secara sembunyi-sembunyi. Aku jadi penasaran

Dari semua perubahan itu, salah satu yang kubenci adalah Emak melarangku datang menonton ia menari. Padahal, aku suka sekali melihat Emak menari dan menyanyikan gendhing Jawa dengan suara merdu.

“Kamu ndak ikut emakmu, Rin?” tanya Nolan yang langsung mengagetkan lamunanku.

Aku diam saja, menatap Nolan dengan pandangan menyelidik. Tak biasanya ia bersikap baik seperti ini padaku.

“Emakmu melarang kamu nonton, ya?” tanya Nolan lagi.

“Ya, padahal aku kepingin nonton.”

“Ayo, nonton denganku. Kamu bisa sembunyi agar tak ketahuan.”

“Benarkah?” Aku mulai tertarik pada ajakan Nolan. “Ayo!”

Tanpa pikir panjang aku meninggalkan rumah. Hari mulai gelap ketika kami menyusuri jalan kampung menuju tempat tayuban. Samar-samar terdengar irama gamelan dipukul para wiyaga. Aku merasakan sesuatu yang mengentak-entak di dalam tubuhku setiap kali mendengar irama gamelan. Entakan rasa tertarik yang menimbulkan rasa keindahan. Panggung tayuban itu mulai terlihat dan kami mendekat. Ternyata, pertunjukan belum mulai.

“Kamu sembunyi di balik batu itu, Rin. Nanti kalau sudah mulai aku beri tahu,” kata Nolan.

Aku masih bertanya-tanya, kenapa Nolan tiba-tiba menjadi baik. Tetapi, aku menepis pertanyaan di kepalaku. Aku ingin menonton Emak menari sambil nembang. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menontonnya.

Tak lama terdengar suara merdu mengalun. Aku tersenyum karena sangat hafal, itu suara Emak. Benar saja, Nolan menarik tanganku untuk mendekati panggung. Aku bersembunyi di belakang tubuh Nolan yang besar dan mengintip ke atas panggung.

Kulihat Emak di atas sana, masih menjadi primadona. Menari pelan saja sambil menembang. Tetapi, aku tak melihat selendang merah menutupi dada bagian atas Emak. Sebagai gantinya, aku melihat selendang biru. Bukankah itu selendang pemberian Handoko?

Aku memandang berkeliling mencari Handoko. Tak kutemukan pria itu di antara tamu undangan penting ataupun tempat lain. Hanya teman-temannya yang sering datang ke rumah yang kulihat. Mereka sedang mengedarkan minuman keras dalam sloki-sloki kecil.

Aku kembali menatap Emak. Matanya melirik genit ke sana kemari. Tak lagi mencari mataku seperti dulu. Gendhing yang ditembangkannya hampir selesai. Pria pasangannya menari menyelipkan uang ke balik kemben. Emak tak lagi menghindar seperti dulu. Emak pasrah saja tangan pria itu menyenggol bagian pribadinya. Bahkan, Emak tersenyum. Aku membuang muka.

“Kau lihat, Rindang? Emakmu benar-benar nakal!” ejek Nolan, sambil tertawa.

“Jadi, kau mengajakku kemari untuk menunjukkan itu?” kataku, sangat berang.

”Biar kau tahu bahwa emakmu memang nakal!” kata Nolan.

Seperti ada pisau yang menghunjam dadaku. Perih. Aku berbalik, menyelinap keluar dari desakan orang yang mendekati panggung. Masih kudengar tawa Nolan saat aku berjalan pulang. Tawa menang.

Aku tak pernah cengeng sebagai anak perempuan. Aku selalu melawan Nolan. Tetapi, malam ini air mataku tiba-tiba meleleh. Emak telah menukar selendang merah pemberian Bapak dengan selendang biru pemberian Handoko. Emak telah menerima uang dalam kemben. Bahkan, Emak membiarkan tangan-tangan jail itu lebih lama berada dalam kembennya. Emak bukan lagi primadona seperti yang kubanggakan. Emak telah berubah. Dan aku sedih karenanya.

Hari masih pagi ketika aku terbangun oleh kegaduhan di luar rumah. Mataku masih bengkak karena menangis semalam. Apa Emak sudah pulang? Ah, entahlah. Aku tak peduli apakah dia pulang atau tidak. Bukankah akhir-akhir ini pun Emak sering pergi keluar kampung bersama Handoko dan tidak pulang?

Aku keluar kamar dan melihat dua polisi sedang menggeledah rumah kami. Handoko dan Emak berdiri melihat penggeledahan itu. Polisi menemukan beberapa kotak minuman keras, tetapi tak menemukan pil warna-warni di kamar Emak. Tiba-tiba Handoko mengajak dua polisi itu ke dapur. Aku tak mendengar pembicaraan rahasia mereka. Setelah itu Handoko bicara dengan Emak yang terlihat mengangguk-angguk saja. Belum sempat aku bicara apa pun dengan Emak, tiba-tiba polisi telah menuntun Emak keluar rumah dan memboncengnya entah ke mana.

“Emak mau ke mana?” tanyaku sekilas pada Handoko.

Handoko tertawa keras. “Emakmu mau ke surga anak manis. Kamu tunggu di sini saja. Emakmu bisa menghasilkan banyak uang dan kau bisa sekolah.”

“Aku tak mau sekolah dari uangmu!” teriakku lantang.

Handoko menjangkau kepalaku dan menjambak rambutku. “Jangan banyak omong, anak nakal! Kau tidak tahu apa-apa!”

“Aduh… aduh….”

“Dasar anak nakal!”

Aku meninju muka Handoko dengan tangan kananku, lalu berlari keluar rumah. Aku terus berlari menyusuri jalan kampung tanpa henti. Air mataku berlelehan. Aku merasa sebentar lagi akan terjadi sesuatu pada Emak. Mungkin sesuatu yang buruk. Aku tak ingin kehilangan Emak! Tiba-tiba kakiku menyandung akar pohon besar. Aku jatuh tersungkur.

Saat itulah seorang gadis remaja menghampiriku, mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Setelah aku bangun, ia mengurut kakiku yang sakit. “Aku Alia. Nenekku tinggal di kampung ini,” katanya. Mendadak ada aliran sejuk menyentuh dadaku.

Jakarta, Maret 2009

Apa yang disisakan dendam selain siksa penyesalan? Rindang tepekur di depan pusara Tio. Menyalahkan kekeliruan Nolan juga tidak menyelesaikan masalah. Toh, bandit itu telah menghilang setelah menerima bayaran besar dari Rindang. Hampir tiap hari ia menyempatkan diri datang ke pusara itu. Ia tak peduli berita-berita miring tentang dirinya di infotainment. Ia ingin mengurangi beban hatinya dengan mengunjungi makan Tio setiap hari. Ia berharap Tio akan memaafkannya.

“Sudahlah, Rindang. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri,” hibur Alia, sambil menuntun Rindang bangkit dari depan pusara. Air mata Rindang meleleh lagi. Selalu begitu setiap hari.

“Apa kau mencintai Tio?” tanya Alia.

Rindang menghentikan langkahnya, menoleh ke pusara Tio, lalu memandang Alia. Mata Rindang basah. Apakah aku mencintai Tio? Tio yang lembut, sabar, simpatik dan menerima keartisan dirinya tanpa keberatan. Tio yang selalu bersikap manis, sopan, dan menjaga dirinya. Tio yang….

“Sekarang, aku baru sadar bahwa aku mencintainya….”

Alia merengkuh bahu Rindang.

“Hidup harus terus berjalan, Rindang. Mungkin dengan memohon ampunan pada Tuhan dan berusaha ikhlas akan meredakan dendammu.” Rindang mengangguk, mengusap air matanya. “Apa aku harus membunuh pria tua itu untuk menghapuskan dendamku?”


Penulis: S. Tary





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?