Fiction
Selendang Merah [3]

6 Jul 2011

<< cerita sebelumnya

Saat wiyaga itu kembali ke tempatnya, aku memasukkanbeberapa kembang gula ke dalam saku bajuku. Aku ingin memakannya lagi besok.Tetapi, tiba-tiba ada tangan yang menyodokku keras dari arah belakang.

Nolan, teman kecilku yang nakal, berambut jabrik dan rumahnya berhadapan denganrumahku itu meminta kembang gula. Bagaimana ia bisa berada di dekat parawiyaga? Bukankah tak sembarang orang boleh duduk di sini? Huh, aku benci sekalipadanya. Ia selalu menjailiku.

“Bagi kembang gulamu!” pintanya, memaksa.

Aku mengangkat piring kembang gula dan memberikan kepada seorang wiyaga. Nolantak dapat menjangkau piring itu. Seorang wiyaga menjauhkan piring kembang guladariku dan Nolan. Aku tersenyum puas.

“Tahu tidak, emakmu itu nakal!” bisiknya, mengejek.

“Tutup mulutmu! Emakku wanita baik-baik!” balasku, marah.

Aku tak suka ia mengejek emakku. Emakku wanita baik-baik. Kalau ia penaritayub, itu bukan berarti emakku bukan wanita baik-baik!

“Lihat ke sana!” kata Nolan, sambil menunjuk ke tengah panggung. “Apa bukanmurahan?”

Aku melihat ke tengah panggung. Pria yang menari berpasangan dengan Emak hampirmenempelkan tubuhnya ke tubuh Emak. Tetapi, Emak mencoba untuk menghindar.

Di sekeliling panggung, tampak minuman keras dalam sloki-sloki kecil beredar.Pengarih beberapa kali memberikan sloki minuman kepada pria penari pasanganEmak dan pria itu menenggaknya begitu saja hingga tandas. Lalu, tangan kanannyamemegang uang ribuan dan hendak menjangkau kemben Emak. Emak menghindar mundur,namun tetap menari.

Pengaruh minuman keras dan merasa dilecehkan oleh penolakan Emak, pria itumelepas sampur-nya dan merangsek menyerang Emak. Tetapi, pengarih segera datangmelerai. Pria yang mengamuk itu dibawa ke luar panggung.

“Kamu lihat, ’kan? Kemben emakmu dimasuki banyak tangan pria. Itu kan namanyamurahan!” kata Nolan jabrik lagi.

Aku menampar muka Nolan sambil berteriak. “Emak tidak pernah mau menerima uangseperti itu!”

Nolan meringis kesakitan, sambil memegangi pipinya. “Awas kamu!”

Ketika Nolan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba segerombolan pemuda mabukmengamuk dan menerjang ke tengah panggung. Mereka membanting apa saja didepannya. Suasana jadi semrawut seperti perkelahian. Para wiyaga berdiri daritempatnya hendak meninggalkan panggung.

Aku sempat melihat seorang pria menarik-narik selendang merah yang menutupidada atas Emak, namun Emak mempertahankan selendang itu sekuat tenaga. Akuhendak berlari ke arah Emak, ketika seseorang menabrak tubuhku dengan keras.Aku terbanting ke lantai. Sebelum duniaku gelap, aku mendengar Emak menjeritmemanggil namaku.

Jakarta, April 1998

Alia sedang membicarakan kontrak iklan terbaru di sebuah kafe, ketika Rindangpamit ke toilet. Setelah memberi kode pada pengawalnya untuk membiarkannyasendiri, Rindang menyelinap lewat pintu samping kafe dan berjalan cepatmeninggalkan kafe. Rindang segera menghubungi seseorang melalui telepongenggamnya.

“Lima belas menit lagi aku sampai!” kata Rindang, seraya bergegas menghampiripemesanan taksi di sisi kiri pintu mal.

Tak lama, taksi datang dan melesat meninggalkan halaman mal. Benar kataRindang, tepat lima belas menit kemudian taksi memasuki halaman sebuah rumahmewah. Rindang turun dan seorang pria bertubuh kekar menyambutnya di mukapintu. Mulutnya tampak menyeringai.

“Kau makin cantik, Rindang! Seperti emakmu!” kata pria itu.

“Kami sama-sama cantik, dan sama-sama bukan wanita murahan!” jawab Rindang.

Pria kekar itu, Nolan, tertawa. Rindang tak membalas tawanya. Setelah masakecil penuh permusuhan mereka lewati, setahun lalu Rindang bertemu Nolan disebuah mal. Nolan telah lima tahun menempuh kehidupan yang keras di Jakarta.

“Ah, kau masih sakit hati rupanya. Lupakan itu, Rindang!”

Rindang memandang mata pria itu tajam. “Aku akan melupakan ejekanmu itu kalaukau berhasil membantuku. Tentu saja akan kubayar.”

“Oke, kita bicarakan di dalam. Kau dapat memilih cara apa saja yang kauinginkan.”

Nolan menjajari langkah Rindang masuk ke dalam. Mereka memasuki ruangan danmengunci pintu. Pembicaraan empat mata.

Alia berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Kepalanya langsung menoleh kesamping, begitu mendengar suara pintu terbuka. Rindang memasuki ruang tengahdengan langkah gontai tanpa memedulikan Alia yang memandangnya tajam.

“Dari mana?” tanya Alia, seperti bentakan.

Rindang berhenti tepat di depan Alia. “Itu urusanku!”

“Begitu, ya? Aku sudah repot-repot mengurusi kontrak besarmu, kamu malahkeluyuran tanpa pengawal! Kau pikir aku tidak khawatir? Kamu bukan orang biasa,Rindang! Kamu bintang! Kamu harus pergi ke mana pun dengan pengawal!”

“Kupikir tidak harus begitu. Toh, aku bisa kembali dengan selamat, ‘kan?”sergah Rindang, tak mau kalah. “Tapi, alasanmu sebenarnya melarang aku pergibukan itu, ‘kan? Kamu takut aku berkencan dengan Tio?”

Alia mendengus, lalu membuang muka. Tiba-tiba tangan Alia terjulur menyambartas Rindang.

“ Apa-apaan ini Alia? Lepaskan tasku!” teriak Rindang.

Mereka saling menarik tas tangan hitam itu seperti atlet tarik tambang, yangmenge­rahkan segenap kekuatannya.

“Alia! Lepaskan tasku!” teriak Rindang.

Alia membentak. “Aku tak akan melepaskan tasmu. Lagi pula, kalau kau takmenyimpan rahasia, buat apa kau menahan tasmu?”

Mereka saling menarik lagi. Kali ini lebih kuat hingga jahitan tas itumerenggang. Karena kehabisan tenaga, Alia sengaja membuka ritsluiting tas lalumembalikkan isinya. Seketika isi tas terburai. Notes kecil, bolpoin, alat-alatmake up, dua ponsel, dan… mata Alia membelalak!

Alia melepaskan tarikan tasnya, lalu tangannya sigap mengambil jarum suntikyang terjatuh dari dalam tas. “Ini yang kucari!”

“Jangan Alia! Jangan kau ambil!”

“Untuk apa jarum suntik ini?” tanya Alia, mengamati jarum suntik di tangannya.Rindang terdiam beku.

“Aku… aku… menggunakan narkoba.”

“Tidak mungkin!” jawab Alia. “Bukan itu gunanya jarum suntikmu ini! Aku kenalkau, Rindang. Kau tak akan menggunakan jarum suntik ini untuk menyuntik tubuhmusendiri, bukan? Kau artis profesional dan menyayangi kariermu.”

Rindang berjalan ke kursi, lalu mengempaskan tubuhnya di sana. Aliamengikutinya dengan jarum suntik masih di tangan.

“Aku sudah bilang padamu, Rindang. Aku tak akan membiarkan kau melakukankejahatan. Sorry, aku akan menghancurkan jarum ini.”

“Terserah kau!” Rindang berjalan ke kamarnya tanpa menoleh lagi.

Alia hanya geleng-geleng kepala.

Malam baru saja melewati titik nadir. Rindang berbaringgelisah di pinggir pembaringan kamarnya. Pikirannya berputar-putar. Bagaimanamendapatkan jarum itu lagi? Alia benar-benar sialan! Dia tahu apa pun yangkulakukan! Seharusnya dia membantuku, bukan malah menghalangiku!

Rindang bangkit dari pembaringan dan berjalan menuju lemari di pojok kamar. Iamembuka lemari dan mengambil selendang merah dari sebuah tumpukan. Mengamatisejenak, lalu membawa ke tempat tidur.

Rindang mendekap selendang merah itu sejenak, menciumnya. Tak lagi tersisaaroma keringat emaknya di selendang itu, namun aroma itu masih tertinggal dikepalanya. Dan itu membuat darahnya kembali mendidih. Rindang mendengus.

“Tak kubiarkan kau pergi dengan cara seperti itu, Emak… tak akan kubiarkan!”bisik Rindang, penuh dendam.
Ia meletakkan selendang merah tepat di depan foto emaknya. Setelah membelaisejenak wajah emaknya dalam foto, Rindang menyambar ponsel di meja rias.Kemudian jemarinya sibuk mencari sebuah nomor.

“Halo? Nolan? Bisa kau kirim barang yang sama seperti tadi? Aku akan membayarulang. Jangan sampai ada mata kelima yang tahu tentang ini. Oke, aku percayapadamu. Aku tunggu!”

Rindang menutup telepon genggamnya, sambil tersenyum menang. Apa yang bisadilakukan Alia untuk menghalangiku sekarang? Aku punya banyak cara.


Penulis: S. Tary


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?