Fiction
Sekuali Arsik [1]

25 Jul 2015


Enggan sebenarnya Irma menerima uluran kantong plastik berisi dua ekor ikan mas segar dari tangan Inang (Ibu) boru Sitanggang (Marga). Lumayan berat kantong plastik itu saat Irma menentengnya. Irma menebak berat masing-masing ikan mas segar itu, lebih dari 1 kg. Kalau saja Irma tidak berangkat ke pajak (pasar) tentu dirinya tidak perlu bertemu dengan Inang, yang selalu ramah kepadanya itu. Senyum tulus selalu saja tersungging dari bibir Inang sebelum akhirnya perempuan paruh baya itu pergi meninggalkannya. Sejenak, Irma berdiri lama di tempatnya.

“Kau membeli ikan mas? Tumben!” suara Mamak terdengar mengagetkan dari balik punggung Irma. Mamak melirik tempat cucian di sebelah sisi Irma yang baru datang dan bersiap membuka kantong plastik berisi ikan mas bersisik besar.
“Wah, enak itu!” Mamak menelan air liurnya dengan mata bercahaya. ”Ikan mas ini lagi bertelur. Hati-hati kau membelahnya agar telurnya utuh. Sudah lama Mamak tidak memakan arsik (masakan khas Batak) buatanmu. Kau mau memasak arsik, ‘kan?” Perkataan Mamak lebih seperti perintah. Irma tercengang cemas menatap mamaknya.

“Ikan mas dikasih orang, Mak!” Irma mengembuskan napas berat. Perempuan itu sedikit takut memandang mamaknya yang kemudian berubah sikap.
“Dikasih orang? Apa maksudmu? Mamak tidak mengerti!” Suara Mamak berubah tinggi. “Siapa yang memberimu ikan mas ini?” dengus Mamak penuh kecurigaan. Irma membuang muka, tidak sanggup beradu pandang dengan Mamak. Lututnya terasa gemetar menahan rasa takut di hatinya.

“Tidak sengaja di pajak aku bertemu Inang boru Sitanggang, penjual ulos yang rumahnya di atas sana. Tiba-tiba ia memberi aku kantong  berisi ikan mas ini,”  ujar Irma gemetar. Apa daya, Irma tidak bisa berbohong untuk hal apa pun.
“Oooh….” Cuping hidung Mamak mengembang angkuh, “Ina - ina na rittik (perempuan tua yang kurang waras!)!” Mamak menggerutu dengan sudut bibir terangkat tinggi. Angkuh sekali.

Suara Mamak memang lirih, tapi Irma cukup jelas mendengarnya. Posisi mereka yang tidak berjarak memungkinkan apa pun terdengar di telinganya. Irma  merasa sedih mendengar Mamak mencela seperti itu. Hatinya tidak terima Mamak sampai hati berkata seperti itu. Inang itu memang tidak ramah seperti kata  tiap orang, tetapi menyebut Inang dengan sebutan ‘orang gila’, jelas Irma tidak bisa menerima.

“Ya, sudah. Kau masak saja ikan mas ini! Tidak lupa kau membeli semua bumbu untuk memasak arsik, ‘kan?” Mamak mengurungkan langkah keluar dapur.
Irma menggelengkan kepalanya. Suaranya hilang terbelit kerongkongannya sendiri. Sejenak Mamak mengawasi Irma sebelum melanjutkan langkahnya.

“Jangan terlalu ramah, Irma! Selain judes, seorang pun tidak ada yang cocok dengannya. Lebih baik kau menghindar!” Mamak memasang muka dingin. “Aneh sebenarnya…. Sering sekali ia memberimu ikan mas. Mau apa inang itu darimu?”
Gelegar tawa Mamak menempel kuat pada dinding dapur. Tawa kosong. Irma berulang kali menoleh pada sosok Mamak yang sudah menghilang di balik tembok.

Memasak bukan hal asing bagi Irma. Sejak kelas 2 SMP, dirinya telah dibiasakan Mamak untuk membantu pekerjaan di dapur. Mamak memintanya memetik cabai, mengupas bawang dan sesekali membantu membersihkan ikan. Dapur menjadi tempat mereka bercengkerama.
Mamak menjawab semua rasa ingin tahu dari  tiap masakan yang hendak mereka kerjakan hari itu. Irma kerap menanyakan campuran bumbu yang harus ia siapkan untuk mengolah sayur dan ikan yang telah dibeli. Dari ilmu yang diajarkan Mamak, Irma sudah bisa membedakan antara merica dengan ketumbar. Irma juga tahu apa gunanya jintan dan cengkih, daun salam atau bawang daun.

Acap kali Mamak menertawakan dirinya yang tidak tahan perih dari kulit bawang yang dikupasnya. Secara tidak sadar, dapur menjadi tempat mereka mempererat kasih sayang. Mamak memberi ilmu, Irma menyerapnya dengan baik.
Benar tebakan Mamak, di dalam kedua perut ikan mas itu terdapat seonggok telur muda. Irma membelah ikan mas itu sedemikian rupa, berupaya tidak mengacaukan bagian perut berisi onggokan telur. Dua ekor ikan mas itu telah rampung dibersihkan Irma. Kini, Irma menyiapkan bumbu untuk mengolahnya.

Irma meracik cabai, bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, lengkuas, kincung, serai, kemiri, dan tentu saja tidak lupa andaliman. Irma meletakkan semua bahan bumbu, kecuali serai dan lengkuas, di atas permukaan gilingan batu, lalu perlahan menggilingnya. Irama yang terdengar dari tekanan batu pada permukaannya mengeluarkan bunyi yang khas sekali.

 Anglo yang diisi tumpukan arang sejak tadi perlahan mulai memperlihatkan nyala api. Tungku ini nantinya akan ditumpangi kuali, tempat untuk memasak arsik ikan mas. Sembari terus menggiling halus aneka bumbu, sesekali Irma memperhatikan nyala tumpukan arang di dalam anglo. Irma mempercepat gerakan tangan untuk menghaluskan bumbu.
Irma tampak keheranan saat menyadari Bapak berjalan setapak demi setapak menuju tempatnya berada. Bapak jarang sekali mengikuti kegiatan di dapur. Pasti ada pengecualian sampai Bapak melakukan tindakan diam-diam seperti itu. Irma menyambut Bapak dengan segenap rasa waswas. Dari ruang tengah suara Mamak terdengar keras berbicara dengan lantang. Irma menekan dadanya demi mengurangi rasa kaget yang melandanya. Volume suara Mamak lantang.

“Eva, makan siang di rumah kalian ya, Nak? Mamak memasak arsik hari ini.” Senyap sejenak, menit berikutnya terdengar lagi suara gelegar Mamak.
“Aihhh, tidak ada acara apa pun, Eva. Kebetulan saja Mamak masak arsik. Sudah, datang kalian ya, jangan lupa bawa Marcel? Rindu sekali Mamak sama cucuku itu. Mamak tunggu kedatangan kalian ya, Eva?” Senyap. Bapak bergeming.

Irma kembali melihat isi kuali yang mulai terlihat mendidih di hadapannya. Perlahan aroma yang menguar dari permukaan kuali itu sanggup mengundang rasa lapar dari dalam perut. Bapak masih berdiam diri. Memperhatikan dengan saksama kegiatan Irma yang sedang menjaga agar arsik matang dengan sempurna.
“Inang itu memberimu ikan mas lagi?” Bapak membuka suara pelan.
Irma menoleh pada Bapak sampai akhirnya mengangguk pelan. Bapak menarik napas pelan. Bapak memandang penuh kasih sayang padanya.
“Bapak kenal baik sifat Inang itu, Irma. Bapak percaya Inang itu mempunyai niat baik pada dirimu. Tidak perlu kau mendengarkan larangan Mamak. Inang itu orang baik,” ujar Bapak, seakan memberi dukungan kepadanya.
“Niat baik, maksud Bapak?”  tanya Irma tidak mengerti.
Bapak mengatupkan kembali mulutnya. Irma menatap heran. Irma bertambah gusar. Bapak terlihat bingung mengambil sikap untuk menghindari pertemuan dengan Mamak. Segera, Bapak mengayunkan kakinya menuju pintu keluar. Irma sampai berputar mengikuti gerak tubuh Bapak sebelum mencapai pintu ke halaman belakang.
“Irma, jangan lupa sisihkan barang sepotong untuk Inang itu. Pilihkan kepalanya. Setelah itu, antarkanlah sendiri arsik ikan mas itu ke rumahnya! Jangan lupa kau, ya?” pesan Bapak sebelum menghilang di halaman.
Irma menarik napas lega, lalu konsentrasi menjagai kuali berisi arsiknya.
Mamak muncul di dapur seperti polisi mencari buronan. Tanpa melihat, Irma yakin sekali Mamak mengawasi sekeliling dapur dengan penuh selidik. Irma tenang saja mengawasi arsik yang airnya  makin menyusut. Sebentar lagi, setelah airnya meresap, arsik ini sudah siap dihidangkan. Irma memandang sekilas pada Mamak.  
“Sudah masak arsiknya, Irma?” ujar Mamak datar.
“Sudah, Mak. Tinggal menunggu airnya kering sedikit lagi. Kacang panjang dan bawang daun bataknya juga sudah lembut. Sebentar siap, Mak,” jawab Irma kalem. Tumpukan arang di dalam anglo ia serakkan demi mengurangi api.
“Bagus kalau begitu. Eva makan siang di rumah kita. Mamak mengundang mereka menyantap arsik ini. Tolong kau siapkan meja makan dengan baik. Sebentar lagi mereka datang,” perintah Mamak sebelum masuk ke dalam.
Irma meringis. Arsik memang menjadi pengikat hubungan keluarga, tidak peduli bagaimana caranya. Irma tergiang terus pesan Bapak. Segera ia mengambil wadah, menyisihkan dua potong ikan mas sesuai pesan Bapak tadi.

Menghilang sebentar dari rumah dalam situasi seramai siang ini tidak terlalu masalah bagi Irma. Sebentar saja Mamak bisa lupa pada siapa pun kalau sudah bertemu dengan Marcel, cucu pertamanya. Mamak pasti tetap mencarinya, tapi Irma yakin Bapak bisa mengatasi masalah kecil itu. Lagi pula, selama ada Eva di rumah, sosoknya sudah tidak diperlukan Mamak lagi. Eva dan keluarganya adalah hal yang paling penting bagi Mamak bila sudah berkumpul.

Irma mempercepat langkahnya. Karena tergesa, ia lupa membawa payung, padahal langit di atas sana begitu gelap dan berat menahan sesuatu. Irma komat-komit berharap hujan tidak keburu turun sebelum ia sampai di rumah Inang boru Sitanggang. Setengah berlari perempuan itu ingin segera mencapai tujuan.

Rumah berpagar tinggi dengan cat tembok berwarna putih. Halaman terhampar luas sebelum mencapai rumah utama. Pohon palem berjajar rata sepanjang sisi kanan dan kiri rumah. Daunnya mirip lidah menjulur menangkis cahaya. Beberapa kelapa hibrida dengan buah tumpang tindih warna hijau begitu menggoda. Semarak pohon-pohon itu mengakibatkan rumah tidak terlihat dari jalan raya. Pot bunga berbagai ukuran tertata di banyak tempat. Aneka jenis bunga tampak tumbuh subur dengan aneka bunga beragam warna. Irma kesulitan mengintip ke dalam rumah. Tergulung rasa takut, Irma hanya berdiri di luar.

Mengapa tidak terpikir oleh pemilik rumah menyediakan bel agar memudahkan siapa saja yang hendak bertamu. Berteriak belum tentu berhasil. Irma menengadah, melihat langit ketika merasakan titik air menempel di dahinya. Sebentar lagi hujan pasti turun dan ia belum tahu harus berbuat apa di luar sini.

“Masuklah! Gerbangnya tidak dikunci. Lebih lama lagi kau menunggu di luar, kau pasti basah tersiram hujan. Masuklah!” Irma terlonjak kaget mendengarnya.

Senyum tulus penuh kehangatan seperti di pajak tadi, seperti itu pula Inang menyambut kedatangannya. Irma merasa lega dengan situasi yang bersahabat itu. Rantang kecil berisi dua potong arsik ikan mas langsung diterima Inang dengan mata berbinar. Irma tidak menyangka Inang menarik tangannya agar ikut masuk ke dalam rumah.

Inang berjalan lebih dahulu tanpa melepas pegangan pada telapak tangannya. Irma sekilas memperhatikan  tiap isi rumah yang mereka lewati. Inang terus mengajaknya menuju dapur yang cukup luas, lengkap dengan kitchen set warna mahoni. Inang memintanya duduk di kursi makan dengan meja terisi penuh. Irma hanya berdiri di sisi meja makan, mengawasi langkah cekatan Inang mencari wadah kaca sebagai tempat arsik ikan mas bawaannya. Inang memintanya duduk dengan setengah memaksa.

“Tiap bertemu denganmu, Inang selalu teringat mendiang mamakmu. Kalian berdua memiliki banyak sekali kemiripan. Kami bersahabat sejak kecil. Sejak bapakmu menikah lagi, ada kekhawatiran di hati Inang tentang keadaanmu, Irma! Mamakmu memiliki hati yang baik. Sayang, umurnya terlalu pendek. Inang kalau ingat semua itu suka sedih,” Inang membuka obrolan mereka.

“Benarkah? Saya baru tahu kalau Inang berteman baik dengan Mamak,” ungkap Irma, antusias. Mamak memang pernah mengajarinya untuk memanggil Inang, namun cerita kedekatan itu luput dari obrolan mereka.

“Melebihi kakak beradik, Irma. Tapi, kesedihan itu datang beruntun. Tidak lama setelah mamakmu meninggal, menyusul suami Inang pergi meninggalkan kami. Dunia ini mau runtuh rasanya. Kemungkinan ini penyebab Inang menarik diri dari dunia luar sehingga terkesan aneh. Tapi sudahlah, kondisi seperti ini justru membuat Inang tenang.” Inang mengibaskan kedua tangannya.

Irma menyandarkan bahunya. Kesedihan itu pasti berat sekali! Batinnya.
“Ada tamu rupanya?” Satu suara berat memecahkan keheningan yang terjadi.
“Sudah selesai kau mandi, Choki?” sambut Inang sambil berdiri. Irma ikut mengubah sikap duduknya. Di depannya ada sosok menjulang yang dulu kerap menjadi bisik-bisik gadis sebayanya. Perubahannya luar biasa sekali.

“Bukan tamu, ini Irma!” kata Inang. “Choki baru sampai dari Semarang sejam yang lalu, Irma. Tentu kalian sudah saling mengenal, hanya saja lama tidak bertemu, ‘kan? Kau pasti sudah lapar ya, Choki? Ayo, kita makan siang bersama?” ajak Inang.

Inang berpindah tempat di samping Irma. Choki duduk menempati kursi Inang. Kini posisi mereka saling berhadapan. Cekatan Inang melayani Choki dan juga Irma. Menghormati Inang, Irma memilih duduk tenang. Berdetak jantung Irma sewaktu menyadari Inang menyendokkan bagian kepala arsik ikan mas bawaannya ke dalam piring Choki. Inang tersenyum bahagia menyerahkan piring itu pada putranya. Layaknya ujian akhir Irma menjadi gelisah menunggu komentar Choki.

“Woww, Ugh!!!” Choki berdecak tak sadar. “Arsik ini pasti bukan masakan Mamak, ya? Pedasnya beda. Arsik ini segar sekali, sampai bergetar lidah dibuatnya. Kiriman siapa, Mak?” Choki melirik mangkuk kaca di depannya.
“Irma yang membawanya. Habiskanlah. Kalau kurang, carilah cara agar dia mau memasak arsik ini untuk kita.” Inang tersenyum seperti menantang putranya.
Choki menciut kepedasan, melirik kagum pada Irma. Perempuan itu tertunduk malu. Inang melihat keduanya bergantian, berharap rencananya berakhir bahagia.
***
Sekuali arsik tandas di atas meja makan rumah Irma. Yang tertinggal bongkol lengkuas, batang serai, dan potongan asam mobe. Terkecuali Bapak, semuanya puas kekenyangan. Bapak melirik dingin pada istrinya. Eva, putri tirinya, juga menantunya. Mereka sama sekali tidak menyisakan barang sepotong saja arsik ikan mas untuk Irma, putri kandungnya.(f)


*************
RICARDO MARBUN



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?