Fiction
Segenggam Kurma [1]

16 Apr 2014


Puluhan ribu manusia berderap bersama diiringi lantunan doa, berlawanan arah jarum jam, memutari Ka’bah. Kalya hanyut terbawa arusnya. Sepasang matanya rapat terpejam. Bibirnya basah oleh keringat dan air mata, tak henti menyeru Sang Mahakuasa.
Sejak berangkat, pemilik toko bunga berusia 38 tahun itu telah berniat tawaf khusus demi memasrahkan hidupnya pada Tuhan. “Bila kesendirian adalah jalan terbaik bagiku, aku akan berusaha ikhlas menapaki. Namun, bila ada jodoh menungguku, entah siapa dan di mana, bukakan mataku lebar, supaya ia bisa segera kutemukan. Dekatkan jarak kami, supaya bisa bersentuhan,” lafalnya berulang, memohon kepada Tuhan. Doa yang sama yang telah ia panjatkan tiga tahun ini. Tiap hari. Lima kali sehari.
Serupa daun kering di tengah samudra, tubuhnya mengapung terbawa gelombang manusia. Jiwa Kalya tengah membubung mencoba menjangkau Sang Pencipta, ketika seorang lelaki sekokoh batang kelapa tanpa sengaja mendorong tubuhnya. Ia limbung. Dari belakang, sepasang lengan merengkuhnya, menyelamatkannya dari gulungan arus manusia. Kalya menoleh. Mereka bertatapan sekilas, lalu masing-masing kembali meneruskan tawaf. Kalya tak sempat mengucap terima kasih, namun ia tahu lelaki penolongnya tetap berada di belakangnya hingga tawafnya tunai.
Seusai Kalya bersujud menutup tawafnya, lelaki itu menghampirinya, memperkenalkan diri.
“Saya Aryojati. Dengan rombongan Al-Mukarram dari Surabaya.” Senyumnya menghiasi wajahnya yang berlelehan peluh. Mata teduhnya menatap sopan.
Kalya menyebut namanya sambil menerima segelas air zamzam yang diulurkan lelaki berkumis itu.
 “Terima kasih,” ujar Kalya, tersenyum halus. “Terutama tadi di sana ….” Kalya menengok gelombang manusia yang terus saja mengelilingi Ka’bah.
Jemaah umrah dari berbagai negara berdesakan di sekitar mereka, mengambil air zamzam dari deretan keran untuk membasuh muka dan melepas dahaga  usai tawaf.
“Sendirian?”
“Dengan Ibu. Sedang mengaji di lantai atas. Tiap habis subuhan, selama di sini, Ibu ke atas untuk mengaji. Katanya lebih khusyuk. Kami dari Yogya. Ikut rombongan Khalifah.”
“Saya tawaf sendirian, rombongan saya entah ada di mana.” Tangan Aryojati menunjuk tempat agak lega, di dalam masjid. “Kita bisa duduk di sana.”
Kalya meneguk tandas air zamzamnya, lalu menyelipkan gelas plastik putih itu ke dalam saku ransel merahnya. Ia tahu ada ratusan ribu gelas plastik putih semacam itu ditumpuk di dekat keran-keran dan tangki air, namun ia ingin memakainya lagi. “Saya harus ke atas, menyusul Ibu.” Kalya menaiki undakan menuju masjid.
“Boleh saya temani?”
“Kita bukan muhrim.”
“Kita hanya jalan bersama, bukan? Dan ini di dalam masjid.”
Kalya mengangguk. Menunduk. Dalam hati ia menaksir usia lelaki itu  awal empat puluhan. Kalya berada tiga undakan di atas Aryojati. Mata julingnya menangkap bercak-bercak uban di sekitar pelipis dan ubun-ubunnya. Lelaki itu berdiri sembari memperbaiki posisi kain ihramnya.  Kalya mengalihkan pandang dari perutnya yang agak buncit. Mereka berjalan bersisian menyeberangi masjid, melintasi orang-orang yang khusyuk sembahyang, menuju eskalator terdekat.
“Besok kami menuju Madinah.” 
“Oh. Sama. Istri Pak Aryo tidak ikut?”
“Jati. Orang-orang memanggil saya Jati.” Tubuhnya ia bungkukkan, tangan kanannya mengangkat sedikit kain ihramnya. “Istri saya sudah meninggal. Lima tahun lalu.”
“Oh… maaf.” Tiba-tiba sarjana pertanian lajang itu salah tingkah. Tangan kirinya mencengkeram railing eskalator. Tangan kanannya memperbaiki posisi ransel merah kecil di punggungnya, sembari berbasa-basi tentang hotel yang mereka tempati di Mekkah dan Madinah.
**
Kalya beserta Ibu dan rombongannya tengah berkumpul di lobi hotel hendak check-out menuju Madinah ketika Jati menemuinya. Mereka bertukar nomor ponsel dan sepakat untuk bertemu di Masjid Nabawi  usai jemaah subuh keesokan paginya.
“Rombongan kami di Inter Continental,” kata Jati. “Berangkat ke Madinah habis salat Zuhur.”
“Kami di Movenpick,” jelas Kalya. Perempuan tak berbedak serta bergaun panjang dan berkerudung serba hitam selama umrah itu tahu ibunya sembunyi-sembunyi mengamati Jati. Ibunya tak banyak bertanya sejak Kalya mengenalkan lelaki itu di lantai atas Al Haram, pagi sebelumnya.
“Anaknya berapa?” tanya ibunya, menatap punggung Jati sesaat lelaki itu meninggalkan lobi.
“Dua.”
“Usia berapa mereka?”
“Kami belum sempat ngobrol banyak,” jelas Kalya. Ia merasa ibunya menangkap kecanggungan sikapnya. “Aku baru kenal kemarin pagi, Bu. Dia punya banyak teman di Yogya, sesama pengusaha. Mungkin ini jalan rezeki. Siapa tahu mereka bisa jadi langgananku.”
Cuping hidung ibunya melebar, menahan senyum. Kalya mempererat ikatan kerudungnya.
**
Kalya menikmati payung-payung raksasa di halaman Masjid Nabawi yang pelan-pelan mengembang. Serupa tangan penari, rangka-rangka baja itu merentang, gemulai menyambut hadirnya matahari. Ia begitu terpesona hingga lupa mengambil kameranya dari dalam ransel.
“Indah sekali. Karya seni arsitektur yang selaras alam,” suara lelaki ia dengar dari belakang punggungnya. Suara Jati.
Kalya menoleh. Teman barunya itu sedang asyik memotret. “Hei. Sejak kapan ada di belakang saya?”
“Baru saja. Saya bisa mengenali ransel merahmu.” Jati berdiri di samping Kalya. Mata mereka sama-sama tertambat pada payung-payung di halaman masjid yang sudah mengembang penuh. “Ini. Aku dapat kurma dari jemaah Turki. Ini kurma Nabi.” Tangan kanan Jati merogoh saku baju gamisnya.   “Kusimpan segenggam khusus untuk kamu.”
Kalya tertawa. “Alhamdulillah. Pagi-pagi sudah dapat rezeki.”
Jati ikut tertawa. Lelaki itu senang mendapati Kalya mudah bercanda.
“Cobalah. Manisnya alami dan kenyalnya pas karena tanpa tambahan gula atau apa pun.”
“Pasti asin. Kena keringatmu,” cetus Kalya.
“Justru tambah legit.”
Kalya menjumput sebiji kurma.
“Ini kurma terlezat yang pernah kumakan,” kata Kalya, mengambil dua biji lagi dari telapak tangan kanan Jati. Hangat senyum lelaki itu mengalahkan sinar matahari pagi yang merambat naik, menebar cahaya ke penjuru masjid.
Mereka duduk di halaman masjid beralaskan sajadah masing-masing. Sepasang manusia itu bertukar cerita, tertawa-tawa. Tak ada yang mengira bila mereka belum genap dua hari bertemu. 

**
Sepulang umrah, ada yang berubah dengan kebiasaan Kalya. Sehabis makan malam, ia akan masuk kamar, menyisih dari ibunya, untuk berbicara di telepon dengan Jati. Lama.
Tiap Rabu Kalya menutup tokonya. Kesempatan sarapan berlama-lama ia gunakan untuk memberi tahu ibunya kalau Jati hendak berkunjung.
“Kalian serius berteman? Mau apa ke sini?”
“Ingin menemui Ibu. Mas Jati mengatakan dia mencintaiku. Dia ingin segera melamar,” tegas Kalya tanpa basa-basi.
“Melamar?” Bulu-bulu mata perempuan bercucu dua itu bergetar di balik kacamatanya.
“Ya, Bu. Dua tiga bulan lagi dia akan melamar.”
“Kalian baru kenal tiga bulan. Lagi pula dia sudah beranak dua. Kamu mungkin akan kesulitan menghadapi anak-anaknya.”
“Kami sudah sering ketemu. Hampir tiap Minggu Mas Jati ke Yogya. Aku juga sudah ketemu anak-anaknya bulan lalu, pas ada pelatihan florist di Surabaya.”
“Kamu sudah ke rumahnya sebelum dia ke rumah kita?”
Kalya diam sejenak. “Apa salahnya. Zaman sudah beda.” Ia sisihkan piringnya. “Waktu umrah, aku hanya berdoa satu hal. Aku minta dipertemukan dengan lelaki yang pantas jadi suamiku. Yang kufu. Hanya itu. Mas Jati muncul begitu saja saat aku sedang tawaf. Aku jatuh dan hampir terseret aliran orang. Dia menyangga tubuhku dari belakang. Dan aku langsung merasa nyaman. Ibu tahu sendiri bagaimana sikapku pada lelaki yang baru kukenal.” Kalya menatap ibunya. “Mas Rian nanti malam aku minta ke sini untuk meyakinkan Ibu.” Kalya menyebut nama kakaknya.
“Rian sudah tahu?”
Kalya mengangguk. “Waktu Mas Rian ada tugas di Surabaya, Mas Jati menemuinya. Dia bilang kalau hubungan kami serius.”
“Dia duda dua anak. Apa kamu putus asa? Karena usia?” bisik Ibu, menatap halus mata juling anak bungsunya.
“Aku sudah gagal berkali-kali, Bu. Aku ingin berkeluarga. Mas Jati baik. Kami saling mencintai. Mungkin orang-orang menganggap aku putus asa, mau sama duda. Biar saja. Asal Ibu dan Mas Rian bisa menerima. Semuanya berjalan sangat mudah. Semacam memetik buah masak yang rantingnya merunduk tepat di atas kepala. Aku yakin kehadiran Mas Jati ini jawaban Tuhan atas doa-doaku.”
Kalya bangkit dari kursi. Sebelum mengangkat piring-piring kotor, ia merundukkan kepalanya untuk mencium kening ibunya.

**
Minggu pagi itu Kalya mengistirahatkan sepedanya. Sejak subuh ia sibuk: memotong dedaunan kering tanaman-tanaman hias di teras, memenuhi jambangan di ruang tamu dengan bunga kana putih, dan mewadahi aneka kue. Ia juga menutup tokonya, meskipun Minggu biasanya ramai pembeli. Ia memperlakukan hari kedatangan Jati dengan istimewa.
Pukul sepuluh lewat tiga menit. Bagai menari kaki-kakinya menyeberangi halaman. Tangannya tak sabar membuka pagar.
Ibunya memandang dari balik kaca jendela ruang tamu, sepasang lengannya terlipat di dada. Paru-parunya ia penuhi udara. Helai-helai doa untuk anak perempuannya ia pintal dalam hati, sambil matanya terus mengawasi.
Mobil Jati berhenti di halaman. Dua pasang kaki kurus melompat keluar dari pintu belakang. Tawa renyah memenuhi teras. Kalya memeluk dua anak Jati bergantian. Mereka seperti telah saling kenal lama sebelumnya.
Kalya berdiri kaku, antara senang dan malu, saat Jati melangkah mendekatinya. Dua tangannya tergenggam di belakang punggung.
“Apa itu?” tanya Kalya.
“Kurma Nabi. Jenis yang sama dengan yang kita makan di Masjid Nabawi,” ujar Jati, membuka kedua telapak tangannya. “Aku pesan khusus pada kolegaku yang berangkat umrah bulan lalu.”
Sepasang manusia itu berpelukan. Beberapa biji kurma terselip di antara jemari tangan Jati. Jatuh. Berguliran. Dua anak Jati berebutan memunguti.(f)


********




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?