Fiction
Satu Tiket Untuk Kembali [1]

27 Oct 2012


SELAMA SEPERSEKIAN DETIK aku sadar ada sesuatu yang meronta di hatiku. Mengelak dan mengingkari. Tak butuh waktu lama untuk mengenali perasaan ini. Perasaan mual yang kerap kali muncul saat sesuatu hal tak menyenangkan siap dihadapi. Aku tiba-tiba merasa ingin waktu berputar lebih cepat dan melewatkan pertemuan yang akan terjadi dalam beberapa jam lagi.
   
Aku meraih handphone di meja kerjaku, dengan enggan mencari nomor handphone Bapak. Beberapa saat kemudian aku mendengar nada sambung. Ketika menunggu suara Bapak menyapaku, aku masih berharap semua ini tak terjadi.
“Halo? Ayla? Ada apa?” Seperti biasa, suara Bapak penuh kekhawatiran tiap aku meneleponnya. Aku menelan ludah, merasa canggung.
“Bapak ada di mana?”
“Masih di pabrik. Ada apa?”
   
Bagaimana aku harus mengatakannya kepada lelaki tulus yang sederhana ini? Bagaimana aku tega mengorek luka batinnya? Tapi, aku tak punya pilihan lain. Perlahan kusampaikan juga berita itu. “Pak, Ibu akan pulang. Saat ini sedang dalam perjalanan, naik bus dari Aceh.”
   
Tak ada jawaban. Aku bisa merasakan keheningan yang menyakitkan menjembatani jarak Cikarang-Depok yang tersambung melalui keajaiban selular. Terdengar deru halus mesin tekstil di latar belakang. Aku melirik jam di meja kerjaku, hampir pukul empat sore. Beberapa saat lagi jam kantorku selesai.
   
Ketika masih tak ada jawaban dari Bapak, aku kembali buka suara. “Ibu akan tinggal di tempat kosku untuk sementara. Tapi….”
“Mengapa dia pulang?” terdengar nada tajam yang membuatku tersentak.
Aku menelan ludah. “Ibu… Ibu lari dari suaminya, tanpa uang sepeser pun, kecuali untuk ongkos dan makan secukupnya. Ibu tak akan kembali ke Aceh.”
Di antara deru halus mesin di seberang sana kudengar dengusan Bapak.
“Pak, Ibu tak mungkin selamanya tinggal di kos-kosanku.”
“Suruh dia pulang ke Cirebon!”
“Ibu pasti malu untuk kembali ke kampung kita….”
“Lalu, apa yang kau harapkan, Ayla? Kau ingin Ibu kembali pada Bapak? Jangan mimpi, Nak. Apa pun yang terjadi, jauhkan ibumu dari Bapak. Kecuali kalau kamu ingin Bapak masuk penjara, karena Bapak tak bisa menjamin keselamatan ibumu!”
   
Kemudian Bapak menyelesaikan pembicaraan kami, sebelum aku berhasil membuka mulut. Aku tahu, Bapak tidak main-main dengan ancamannya, dan mendadak aku menyesali nasibku sebagai anak semata wayang yang harus menanggung beban ini sendirian.

SETELAH TIGA TAHUN, tak banyak yang berubah dari Ibu. Tubuhnya masih langsing, rambutnya masih tergerai ikal sebahu, gaya berpakaiannya masih semarak. Rok panjang ungu tua, blouse pendek warna pink, dan sandal berhak tinggi. Hanya, waktu telah menyentuh kecantikan wajahnya, menimbulkan kerutan di mana-mana. Tiga tahun kurasa terlalu cepat untuk menghasilkan kerutan sebanyak itu.
   
Kami duduk berhadapan di sebuah kafetaria kecil dekat kantor distributor produk susu, tempatku bekerja di bagian keuangan. Ibu datang dengan taksi, langsung dari terminal, dan aku yang mengongkosi taksinya. Tak perlu menunggu penjelasan untuk tahu tentang kondisi keuangannya.
   
Aku menyesap juice wortel kesukaanku, mencoba menghilangkan perasaan canggung. Sejak pertemuan di menit pertama tadi, kami hanya saling berdiam diri. Aku bahkan lebih suka menghindari kontak mata dan merasa nyaman dengan keheningan tanpa dialog ini.

Namun, tak kupungkiri, ada perasaan bersalah dalam hatiku. Ini ibu kandungku, seharusnya aku memperlakukannya dengan lebih baik. Memeluknya misalnya, membiarkan air matanya jatuh di bahuku, dan mendengar semua keluhannya. Tapi, aku tak sanggup, sesuatu menahanku, entah apa. Aku ingin memohon ampun pada Tuhan karena aku membenci alasannya pulang.
“Bagaimana dengan bapakmu? Di mana bapakmu tinggal sekarang?” Suaranya yang sengau terseret arus kepedihan, membuyarkan keheningan yang nyaman.
Aku menarik napas. “Sudah dua tahun ini Bapak tinggal di kontrakannya, di Cikarang. Dekat dengan pabrik tempat Bapak kerja.”
“Sehatkah bapakmu?”
“Alhamdulillah, Bapak tak kurang suatu apa pun.”
Ibu menyusut ingus dengan berlebihan. Air matanya memang selalu berjatuhan sejak turun dari taksi. Matanya yang sembap mengisyaratkan bahwa air mata itu telah mengiringinya sejak beranjak meninggalkan Aceh. Aku tak bisa menebak, apakah itu air mata penyesalan, ataukah air mata kehancuran. Terlalu rancu untuk membedakan keduanya. “Apa yang terjadi, Bu?” akhirnya kuberanikan diri bertanya, meski aku sangat tak ingin mendengar jawabannya.

Sekilas Ibu telah menceritakan garis besar permasalahan yang dia alami ketika di perjalanan tadi, dan aku muak mendengarnya. Lantas Ibu kembali sesenggukan. Tangannya yang kurus mengambil tisu di atas meja, mengelap tetes-tetes air mata yang kembali bermunculan. “Apa yang Ibu dapatkan di Aceh, tak seperti harapan indah yang senantiasa didengungkan Pak Ridwan selama ini. Dia sama sekali tak mau menceraikan istri pertamanya. Rumah tangga kami seperti neraka, setiap saat selalu dihujani teror dari istrinya. Ibu selalu berada di pihak yang tak pernah menerima pembelaan Pak Ridwan. Akhirnya Ibu lari dengan uang seadanya, Ibu tak memedulikan panggilan telepon dan SMS-nya.”
   
Tak bisa kuputuskan, apakah aku harus menyukurinya atau memberinya empati. Apa yang bisa dilakukan seorang anak dalam posisi seperti ini? Ibu yang telah meninggalkan aku dan Bapak selama tiga tahun lamanya karena tergoda Pak Ridwan, juragan pemborong bangunan asal Aceh, lalu kembali tanpa rasa malu dengan alasan telah disia-siakan. Sama sekali tak ada sedikit pun penyesalan, juga tak ada alasan rindu. Rindu pada putrinya semata wayang yang ditinggalkan saat seharusnya mendapatkan banyak bimbingan menuju dunia kedewasaan. Canggung dengan tangis Ibu yang menyedot perhatian pengunjung kafetaria, aku segera memanggil taksi dan membawa Ibu pulang ke tempat kos.

TERBANGUN DARI TIDURKU pada pukul lima pagi, aku mencium aroma nasi goreng lezat menusuk hidung. Aku cepat bangkit, merasa kesal dengan sensasi menyenangkan yang tiba-tiba menguasaiku. Aroma ini mengingatkanku pada masa sekolah dulu, setiap bangun pagi. Mataku masih agak sepat, tapi berhasil menangkap sepiring nasi goreng polos dengan telur mata sapi di atas meja samping tempat tidurku. Sudah dua hari ini Ibu memasak sarapan di dapur rumah kos untukku, setelah sekian tahun aku cukup puas dengan sarapan sereal atau roti yang kubeli di jalan. Perubahan selama dua hari ini membuatku gamang, antara senang dan jengkel. Entah mana yang lebih mendominasi.
“Sarapan dulu, Ayla,” tegur Ibu, yang juga sedang melahap nasi gorengnya. Rambutnya basah, segar setelah mandi. Ibu terbiasa mandi pagi.
“Mau mandi dulu, Bu,” dalihku, sambil menyambar handuk, lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.
   
Aku biarkan air dari shower jatuh di wajahku yang lembap. Menyapu segenap kegundahanku menjauh. Aku tak ingin situasi ini memicu  emosiku, karena sejujurnya aku tak ingin terlalu dekat dengan Ibu. Jika Ibu terus menyerangku dengan hal-hal yang membangkitkan kenangan, seolah dia ingin membuatku lupa pada kesalahannya, maka aku tak akan pernah bisa memberinya pelajaran. Ibu harusnya tahu, sejak kepergiannya tiga tahun lalu, semua tak lagi sama. Tak boleh lagi ada nasi goreng dengan telur mata sapi setiap pagi.
   
Bagaimanapun, sarapan itu harus dimakan. Aku tak bisa menyia-nyiakannya, sementara perutku keroncongan. Tapi, untuk tidak membuatnya terlalu senang, aku menyisakannya di piringku.
“Kenapa tidak kau habiskan lagi nasi gorengnya, Ayla?” tanya Ibu, kecewa.
“Ayla buru-buru, Bu, harus ke kantor,” dalihku lagi, sambil mengenakan sepatu. Aku sudah siap meninggalkan kamar kos, namun di pintu aku berhenti karena teringat sesuatu.
“Oya, Bu, nanti nggak usah repot-repot memasak. Lagi pula, kalau keseringan memasak di dapur bisa merepotkan ibu kos. Untuk sarapan dan makan malam, Ayla bisa beli di luar. Untuk makan siang, Ayla makan di kantor. Ibu bisa beli apa saja, uangnya ada di laci meja.” Kuusahakan kalimatku sedatar mungkin, tanpa ekspresi, dan diucapkan dengan bibir nyaris terkatup.
   
Ibu terperangah sedih. Tangannya gontai terayun di samping tubuhnya. Hatiku seperti tercubit seketika, dan rasa bersalah kembali menderaku. Tapi, Ibu harusnya tahu, aku belum bisa sepenuhnya memaafkan. Tidak semudah itu.
“Ayla berangkat dulu,” ujarku, sambil cepat-cepat berpaling meninggalkannya.

LAGI-LAGI BAPAK menolak kehadiran Ibu. Aku sudah menduga dan tak bisa menyalahkannya. Baru saja aku menutup sambungan telepon dengan Bapak, lunglai menyadari kini tanggung jawab akan Ibu diserahkan sepenuhnya padaku.
“Bapak sudah menceraikan Ibu, jadi tidak ada hubungan apa-apa lagi di antara kami. Suruh dia kembali ke suaminya, atau ke kampung!” begitu tandas Bapak.
   
Kehidupan baru telah siap dikayuh Bapak bersama seorang wanita yang bersedia menjadi calon istrinya. Tak mungkin Bapak membiarkan Ibu merusak kembali hidupnya. Aku sangat memahami keinginan Bapak. Namun, sebagian hatiku tak rela jika Ibu juga masuk kembali dalam kehidupanku. Aku sudah terbiasa hidup tanpa Ibu selama tiga tahun ini, bahkan sejujurnya tak menginginkan kehidupan normal seperti sebelumnya. Sudah cukup hanya ada aku di hidupku, Bapak di sisi lain dunia, dan Ibu entah di mana. Aku sudah cukup nyaman dengan konsep itu. Aku tak tahu apakah artinya aku durhaka, ataukah ini langkah penyelamatan diriku?
“Aku dengar kau butuh tumpangan?”
Aku mendongak, dan langsung menangkap wajah memikat Ben Santoso di depan meja kerjaku. Kepala bagian pemasaran itu memutar-mutarkan kunci  mobil barunya. Aku tersenyum kecut.
“Berhasil juga dapetin mobil incaranmu?” komentarku datar.
“Berkat doamu, Sayang…,” seloroh Ben, sambil berusaha menggamit pipiku.
Aku mengelak. “Kamu salah. Aku nggak pernah mendoakanmu.”
“Tidak mendoakan saja bisa membuatku berhasil membeli mobil ini, apalagi kalau kau doakan. Benar-benar calon istri yang soleha,” decak Ben, terus menggoda.
   
Aku tak kuat menahan tawa yang menyembur spontan. Namun, buru-buru kulenyapkan lagi tawaku. Ben tak pernah lelah mengejar, sementara aku juga tak pernah menyerah. Segala hal tentang kehidupan cinta dan rumah tangga yang seharusnya sudah aku pikirkan di usia sematang ini, seolah jauh dari jangkauan otakku. Termasuk pendekatan lelaki semapan Ben, tak seharusnya aku tak acuhkan demi sebuah ketakutan akan berubahnya hidupku yang nyaman. Aku tak siap untuk berumah tangga, aku tak siap untuk membagi kerumitan keluargaku padanya, aku tak siap membagi hidup yang terbiasa sendirian dengannya. Kukira, aku tak siap untuk segala hal.
“Tadi kau menawarkan tumpangan?” selaku tiba-tiba.
Ben mengangkat alis.
“Antar aku ke biro perjalanan, Ben. Aku ingin memesan tiket.”
Kalau tak salah lihat, ekspresi Ben sekarang seperti orang yang memenangkan undian paket wisata.

AKU MENYODORKAN KEDUA tiket itu ke hadapan Ibu.
“Ini tiket pesawat ke Aceh,” tunjukku pada salah satu tiket.
Ibu mengikuti arah telunjukku dengan matanya yang penuh kerut.
“Dan ini tiket kereta ekspres ke Cirebon.” Aku menunjuk satu tiket lainnya.
Kini mata Ibu mengarah ke wajahku, sorotnya kebingungan. “Apa maksudmu memberikan dua tiket ini, Ayla?”
Sejenak aku menghela napas, tak tega rasanya mengutarakan kalimat ini pada Ibu, tapi aku harus mengatakannya. “Ibu harus memilih, mau pulang ke Aceh atau ke Cirebon. Pilih salah satu tiket itu.”
“Ayla!” Ibu terbelalak. “Kenapa kamu tega? Kamu nggak suka Ibu di sini? Apa kamu lupa, Ibu lari dari Pak Ridwan di Aceh karena Ibu tak tahan berumah tangga dengannya. Ibu tak ingin kembali ke sana! Ibu juga tidak mungkin pulang kampung, Ibu malu karena jadi bahan omongan di kampung kita!”
“Nah, itulah Bu, sikap itu yang membuat Ibu selalu terjebak pada kesalahan yang fatal. Ibu tak pernah berani menghadapi kenyataan, dan Ibu selalu lari dari kesulitan tanpa mau memperbaiki dulu kesulitan tersebut. Itu juga kan yang membuat Ibu dulu pergi meninggalkan Bapak dan aku, karena alasan tidak tahan dengan kesulitan hidup? Sekarang saatnya Ibu belajar memperbaiki kesalahan, menyelesaikan masalah, dan bukan lari dari masalah.”

Mata tua itu berkaca-kaca. Aku melihat sorotnya lebih mirip mata kanak-kanak. Seakan polos tanpa dosa. “Bukan berarti Ayla tidak suka Ibu di sini, Ayla hanya ingin Ibu berubah. Kita tidak bisa terus-menerus lari dan sembunyi, sementara alam menuntut kita bangkit untuk memperbaiki kehancuran apa pun yang pernah kita lakukan.”

Tak ada lagi jawaban dari bibir Ibu yang gemetar. Rona penyesalan kini terpeta jelas di wajah tirusnya. Suatu saat Ibu akan berterima kasih padaku, pada seseorang yang bisa membuatnya mengerti arti kata ‘menyesal’. Perlahan tangannya bergerak, meraih salah satu tiket. Ibu memilih tiket kereta api Cirebon Ekspres.

***
Nimas Aksan





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?