Fiction
Sapu Tangan Air Mata [1]

30 Aug 2013


Suatu kali kau bermimpi bahwa peminangmu akan datang dengan rangkaian bunga mawar demi merayumu. Bahkan berlutut dan menatap padamu dengan syahdu. Angan itu buyar kini dan kau berhadapan dengan pelamar tanpa setangkai bunga pun.


Masih kau ingat suaranya pagi itu yang membangunkanmu.
    “Aku berangkat, pesawat pertama.”
    Matamu terbuka perlahan, berjuang melawan kantuk yang masih hendak mengikatmu. Dari balik jendela, kabut tipis mengapung berserak berbagai arah, serupa selimut tak rapi yang melayang. Beberapa di antaranya menghampiri kaca jendela dan melekatkan butiran embun selembut gula pasir.
    “Pagi masih gelap, belum ada matahari,” katamu, lebih berupa gumam yang malas. Membuka tirai dan membiarkan udara dingin menembus ruang. Kau berangan tentang kabut yang menyentuh pipi dan melekat pada cambang tipisnya yang berserak.
    “Sudah, tapi masih mengantuk sepertimu. Warnanya jingga,” dia berkata.
    Kau tersenyum kecil, lalu menguap dengan mata yang masih ingin terpejam. Kau tekan tombol pemanas pada dispenser, berpikir bahwa sesuatu yang hangat akan menepis dingin yang menjalari kulit, yang memberimu tusukan seribu jarum lembut berujung runcing.
    “Udaranya dingin, jangan lupa pakai syal. Batukmu belum sembuh benar.” Kau ingat suara batuk keringnya yang selalu menumbuhkan cemasmu.
    “Sudah membungkus leher. Jangan terlalu kawatir. Ingin oleh-oleh apa?” dia mengalihkan kecemasanmu. Tak seberapa berhasil. Kau masih berpikir apakah obat batuknya tak tertinggal. Namun,   berharap pula bahwa akan diperolehnya obat yang lebih menyembuhkan di sana. Harapan itu membuat kecemasan tak lagi menggumpal memenuhi jalan napasmu, melainkan berserak serupa bubuk kopi berpadu krimer di dasar cangkir, menunggu air mencapai titik didih untuk melarutkannya.
    “Tak ada, selain hanya dirimu yang pulang padaku,” katamu.
    “Kau yang selalu membuatku ingin pulang.” Suara itu melembut, berupa bisik yang tak akan tercuri telinga lain demi supaya kau seorang yang mendengarnya. Membuatmu tak hendak melepaskannya pergi. Itu memicu kangen-mu, menjadikan tusukan di ulu hatimu. Perih tentu, karena itulah lembing yang menghujam berkali-kali, menyakitkan sekaligus memberimu gairah kerinduan pada saat yang sama.
    “Kangen,” bisikmu lirih sekali. Tak mampu membendung luapan di dalam dirimu yang membanjir dan membuatmu kuyup. Barangkali sesaat lagi kau akan tenggelam.
    “Satu kali lagi kau mengatakannya, maka aku tak akan berangkat,” desis itu serupa ancaman yang hendak menenggelamkanmu.
Kau tersipu. Membayangkan sepasang mata di bawah alis berserak lembut, yang tatapannya tak hanya menenggelamkan, namun juga membuatmu tersesat terlebih dulu pada labirin yang tak hendak kau cari jalan pelepasnya.
“Berangkatlah,” katamu kemudian, menenangkan rindu yang riuh memanggil. “Lakukan sesuatu untukku di sana.”
“Apa?”
“Pergilah ke The Bund. Tataplah langit petangnya untukku. Malam akan datang terlambat di sana, maka langit bergaris jingga dan lembayung itu akan berlama-lama menemanimu.”
“Baiklah, barangkali seseorang bergaun cheongsam merah akan menemaniku minum teh.”
“Uhmm,” kau merengut manja menyatakan cemburumu. “Dari sini akan kutabur arsenik untuk teh itu.”

Ancaman itu membuatnya terbahak. Kau dengar suara tertawanya yang selalu sanggup melegakan hatimu. Ah, tawa itu, suatu hal yang tidak mudah apalagi kerap terjadi. Kau lebih sering menemukannya termenung dengan garis wajah lelah. Mata mengembara pada lamunan kosong, berkedip tanpa cahaya. Tidak banyak yang bisa kau lakukan saat itu terjadi. Hanya kau rebahkan kepalanya di pangkuanmu. Memijat bahunya dengan tekanan lunak dan mengecupnya halus. Kau suka melihatnya tertidur karena saat itulah kau temukan gurat wajah dengan kedamaian lembut. Hal yang langka bagimu karena yang terjadi hampir  tiap hari justru kau melihatnya bertarung dengan argumen, entah yang provokatif menyerang atau defensif yang strategis pada dunia yang kapitalis, yang tidak memberi tempat pada pemenang kedua, apalagi ruang rehat untuk kegagalan dengan alasan apa pun juga.

Kau tahu betapa ingin dia berhenti. Meletakkan apa yang terbeban di pundak. Letakkan begitu saja. Lalu diam sesudah itu. Barangkali melangkah perlahan atau sekadar duduk dan menarik napas panjang. Sesederhana itu. Semudah itu. Namun pada detik berikutnya kau dapati bahwa perkiraanmu tak semudah tampaknya.

Suatu kali kau mengajaknya berhenti. Adalah gugur daun yang menumbuhkan beranimu. Kala itu kau melihat daun-daun berserak di pelataran. Kuning kering menampakkan kesegaran yang pudar. Dari balik jendela, dedaunan itu berlarian menjauh darimu. Ah, bukan darimu sebenarnya, melainkan dari pohon dari mana dia berasal. Dari ranting-ranting penumbuh. Pergi daun-daun itu setelah masa tugasnya selesai.
Kau berpikir tentang dedaunan itu. Pada mulanya mereka adalah penangkap cahaya matahari. Dijalarkannya kemudian sebagai energi pada akar untuk menumbuhkan dahan dan daun-daun baru. Dan para penangkap matahari itu pula, demi ketersediaan tempat untuk tunas baru, maka mereka sebagai dedaun lama akan melepaskan dirinya, gugur dan memiliki keberanian untuk pergi. Berkelana sebagai daun kering pada perjalanan tanpa arah. Mungkinkah kalian memiliki keberanian serupa itu?  
“Bagaimana kalau kita lepaskan semuanya, kemudian hanya ada aku dan dirimu?” tanyamu suatu hari. Begitu saja pertanyaan itu meluncur darimu. Sangat spontan, meski bukan tergesa. Bahkan sesungguhnya belum sempat kau pertanyakan pada dirimu sendiri.

Kekasihmu terkejut sebentar. Menatapmu lama. Lurus matanya berpikir. Barangkali mempertimbangkan antara kanan dan kiri. Berat di sana, ringan pada sisi yang lain. Jalan bersimpang dengan tikungan yang tak terprediksi. Lalu diam sesudah itu.
Kau bukan seorang yang bebal, barangkali bahkan cenderung sensitif. Maka terbaca dengan mudah olehmu reaksi itu, tak memerlukan waktu lama untuk menafsirkannya. Tak pula harus lama menunggu telah kau temukan jawaban bagi dirimu sendiri. Seiring daun-daun yang bergerak meninggalkanmu, kau dapati diperlukan keberanian yang berlapis-lapis demi meletakkan segala yang kalian punya. Sementara pada kalian, remah-remah keberanian yang tersimpan hanya sejumput, yang hanya akan cukup untuk sekadar penundaan-penundaan sementara. Atau semu?

Ingatan itu membuat hatimu mendadak hampa. Kosong matamu menatap ponsel yang diam setelah menyimpan kecupan jauh kekasihmu. Di luar, cahaya warna lembayung seolah menggaris langit seumpama baris-baris tangga bagi matahari untuk mendaki, menjadikan dini hari beralih sebagai pagi. Gelap pagi telah memudar, berganti dengan tanah yang telah terang. Burung-burung gereja telah berdatangan, riuh celoteh mereka berburu biji-biji sarapan di antara ilalang. Beberapa kuku-kupu putih dan kuning terbang rendah dengan sayap-sayap yang bergetar, menghampiri bunga tapak dara berkelopak ganjil. Napasmu terhela kemudian. Air dalam dispenser telah mencapai titik didih demi melarutkan kopi dalam cangkir yang akan menghangatkanmu. Namun, hatimu telanjur menggigil, tenggelam pada keberanian semu yang tidak memberimu arah mana pun.
*
    Ponselmu bordering. Sebaris nama memanggil, mengarahkan langkahmu mencari tempat sembunyi.
    “The Bund. Tepat di seberang The Custom House,” suara kekasihmu, berbaur di antara deru angin dan klakson di kejauhan.
    Kau memejamkan mata. Dinding kaca di depanmu, memberimu seribu bangunan bercahaya di bawah lengkung langit yang pekat. Tapi, yang hadir dalam anganmu adalah riak air bergelombang jinak yang membelah Shanghai. Sungai Huangpoo. Mengalir arusnya sejajar sebaris bangunan tinggi berdesain gothic dan art deco, meliuk di sepanjang East Yan’an Road.
    “Katakan warna langitnya,” katamu, memintanya melengkapi bagian yang kosong pada lukisan imajinasimu.
    “Mengapa kau tidak melihatnya sendiri?”
    Seketika matamu terbuka. Kota bayangan itu runtuh, menyurut seketika berganti pijar malam kota di kejauhan yang gemerlap.
    “Apa katamu?”
    “Berangkatlah. One way ticket,” lagi dia berkata, sayup suaranya berlatar gemuruh angin. Hmm, bukan. Tepatnya, hatimulah yang gemuruh.
    “Telah kulihat batas itu. Inilah saatnya. Maka lepaskanlah semuanya dan hanya kita berdua.”
    Kau gemetar. Lututmu berdiri pada tegak yang goyah. Antara terkejut dan bimbang yang mendadak menyergap, menghadapkanmu pada pilihan-pilihan. Suatu kali kau menghadapkannya pada jalan bersimpang. Kini tikungan yang sama menghadangmu. Sanggupkah kau memilih?

*
     Gerakmu bergegas. Hilir mudik langkahmu membawa hati yang gemuruh, pikiran berkecamuk serta gerak yang gugup. Koper terbuka itu menerima benda-benda yang terpilih untuk terbawa dan melepaskan yang hendak kau tinggal. Berganti-ganti barang-barang itu berganti tempat. Sesaat lalu kau ingin membawanya, detik berikutnya tak lagi merasa memerlukannya. Gaun hitam itu, dia yang selalu menutupkan retsletingnya. Syal merah saga, dia yang membeli. Bra warna nude itu, satu hal yang tak pernah gagal memancing gairahnya. Kau diam termangu. Hmm, tidak selalu mudah menentukan pilihan. Mendadak sesuatu terjatuh dari pintu wardrobe yang terbuka. Sehelai saputangan melayang tanpa suara, rebah kemudian pada dataran lantai nan dingin. Tak berisik sutra itu oleh karena kelembutannya. Namun, yang tanpa suara itu ternyata sanggup menerjunkanmu pada lubang labirin tak berdasar. Spiral badai siap menggulungmu di sana dan menggiringmu pada sebuah ingatan. Kau tercekat kemudian.

    Saputangan itu putih bernoktah noda yang samar. Percik air mata. Kau ingat bagaimana dia memetik air matamu dengan saputangan itu.
    “Aku melamarmu,” katanya padamu dengan sederhana. Lurus kalimat itu meluncur, bahkan tanpa nada memohon apalagi berbisik romantis.
    “Apa?” kau tercengang. Detik berikutnya kau sadari ada yang runtuh dalam anganmu. Suatu kali kau bermimpi bahwa peminangmu akan datang dengan rangkaian bunga mawar demi merayumu. Bahkan berlutut dan menatap padamu dengan syahdu. Angan itu buyar kini dan kau berhadapan dengan pelamar tanpa setangkai bunga pun.
    “Jadilah milikku dan bersama kita menjalani hidup,” lagi dia berkata dengan tekanan suara yang sangat biasa. Seolah sedang berbicara tentang sesuatu yang tidak istimewa.
    Kau belum sanggup mengangguk, namun pula tak mampu kehilangan sesuatu yang menggapai hatimu.
    “Kau bahkan tak membawa bunga,” katamu merengut, tak mampu memanipulasi kekecewaan. Kau perempuan normal, tumbuh dengan paradigma perkawinan serupa dongeng Cinderella. Maka peminang yang sederhana ini terlalu jauh dari anganmu.
    “Apa istimewanya bunga? Terlalu biasa.” Dia bergeming.
    “Setidaknya lebih baik daripada tanpa apa pun seperti ini,” protesmu sengit.
    “Aku melamarmu dengan saputangan,” katanya kemudian menatapmu lembut. Terlihat olehmu mata itu menyimpan harapan yang berpendar-pendar. Dan kau sadari hatimu bercahaya karenanya.    
          “Mengapa saputangan? Bukankah ini pertanda perpisahan?”
    “Bukan perpisahan. Hidup bersamaku tidak akan mudah, barangkali akan ada air mata yang tak terhindarkan. Karena itu, dengan saputangan inilah aku menghapus air mata, demikianlah aku akan menjagamu.”

Saputangan itu terulur padamu. Kau terpukau. Janji itu alangkah sederhana. Utamanya adalah jujur. Seketika hatimu takjub sekaligus sadar bahwa itu justru lebih berharga dari seribu bunga aneka aroma. Hatimu menghangat sekaligus jatuh cinta pada peminangmu. Bahagiamu menggenang di ujung mata. Dan saputangan itu menunaikan tugas pertamanya, menyeka air matamu.     Kini sutra putih itu rebah di lantai. Entah memintamu membawanya ataukah demi mengucapkan salam akhirnya?

    Gerakmu beku kemudian. Mematung dalam langkah yang diam. Tak sesederhana sangkamu. Kau berpikir bahwa lapisan keberanian milik kekasihmu akan cukup sebagai bekal menempuh perjalanan pilihan itu. Itu sangkamu. Keliru. Kini kau dapati dirimu dikelilingi hal-hal yang tak akan melepaskanmu dari ingatan terhadap seseorang, yang bersamanya kau membangun kenangan-kenangan yang ikatannya pada hatimu ternyata belum memudar.

     Mendadak pintu terbuka. Derap kaki membawa langkah seseorang mendekat lalu terdengar suara tubuh yang rebah pada sofa. Mendadak kau merasa canggung menatap laki-laki itu.
    “Peluklah aku sebentar,” katanya memintamu mendekat. Kau berdiri bimbang, seolah kehilangan panduan untuk menentukan arah gerak. Saat yang sama kau dapati tidak tersedia pilihan untuk mengelak. Lalu kau rebahkan dirimu padanya. Lengan itu merengkuhmu kemudian. Kau tak tahu apakah hatimu hangat atau justru gemetar.
    “Batalkan acaramu di Singapura. Temani aku ke Shanghai,” kalimat itu berbaur antara perintah dan permohonan dalam nada yang muram.
    “Mengapa?” kau terkejut.
    “Kita harus bergegas sebelum Aira berangkat lebih dulu dan melakukan tindakan bodoh yang gegabah.” Kau tercekat. Dingin menjalarimu, entah bermula dari sisi tubuh sebelah mana.
    “Apa yang terjadi?”
    “Dia curiga Ken bersama perempuan lain di sana.”
          Napasmu tertahan.
“Mungkin benar dugaan itu. Tapi kutahu berat menjadi suami bagi adikku. Kami telah menjadi kakak yang terlalu memanjakannya selama ini, dan kini Ken harus menanggungnya sendirian. Mungkin saja diperlukannya keberadaan perempuan lain untuk memampukannya bertahan.“  
 Kau dengar napas berat yang terhela lelah.
“Bantulah membujuknya untuk pulang. Sebagai sesama menantu barangkali ada sinambung rasa di antara kalian yang membuat kalian saling dekat. Kau tahu dia manajer terbaik yang pernah kita miliki sejauh ini.”

Gerakmu beku seketika, bahkan lebih kaku daripada tubuh yang mati. Terbayang olehmu selembar tiket menuju Shanghai, one way tanpa arah pulang yang tersimpan dalam dompet paspormu. Berlapis keberanian tiket itu untuk membawamu menuju kekasihmu dan menikmati langit petang di The Bund. Kini sanggupkah kau menggunakannya demi membujuk kekasihmu untuk pulang pada arah yang bukan padamu? Saputangan putih itu bergumpal dalam genggaman, menyeka keringat dingin pada telapak tanganmu.
***
 Sanie B. Kuncoro
    



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?