Fiction
Sangkar Hangat bagi Anak-Anakku [2]

30 Apr 2013

<<< Cerita Sebelumnya

Julia Maria van Tiel

Bagian 2

Kisah Sebelumnya:
Sebelum bertemu dan menikah dengan Eric, Lita adalah seorang dosen dan peneliti budaya yang sibuk. Lita kemudian mengikuti Eric yang warga Belanda, untuk tinggal di sana. Ternyata, hidup di negeri orang sungguh tak mudah, apalagi ketika ketiga anaknya yang masih kecil sangat hiperaktif dan didiagnosis berkebutuhan khusus.


Tegur sapa seperti itu jika berpapasan, sangat biasa dilakukan penduduk di desanya. Menanyakan kabar, dan membicarakan soal cuaca. Lita melihatnya bagai sebuah ritual. Menurut Jenny, sepupu suaminya, tegur sapa seperti ini tidak terjadi pada penduduk kota. Penduduk kota lebih individual, sedangkan di desa semua orang saling mengenal dan bertegur sapa.

Sekalipun begitu, Lita merasakan, penduduk desa ini juga merupakan masyarakat individual. Masing-masing keluarga di desanya yang sekarang ini, hanya sibuk dengan dirinya sendiri di rumah. Orang tidak mudah memasuki rumah tetangga dan memasuki persoalan-persoalan tetangga. Lita merasakan jarak antarmanusia juga cukup jauh. Jika ingin berkunjung, harus bertanya dahulu kapan mereka mempunyai waktu, lihat agenda dahulu. Rasanya cukup sakit hati juga jika mengetuk pintu rumah orang hanya dibukakan sedikit saja dan tidak dipersilakan masuk.

Berbicara dari hati ke hati rasanya menjadi terhalang, karena umumnya mereka memberikan respons positif terhadap suatu kejadian, dan tidak mau memberikan pandangan negatif. Kadang-kadang Lita merasakan norma seperti ini kurang melihat suatu kejadian secara proporsional. Misalnya, jika ia berkeluh kesah tentang anaknya yang menurutnya rasanya mempunyai perilaku di luar normal, maka ibu tetangga yang dimintai pendapat hanya mengatakan, “Oh, biasa, namanya juga anak-anak, nanti juga akan baik sendiri.”  Mendapatkan tanggapan yang demikian, menyebabkan Lita menarik diri, tidak lebih jauh lagi membicarakan anaknya. Padahal, ia merasakan benar-benar berat mengasuhnya. Namun sebaliknya, nenek tetangga depan tak sungkan-sungkan memberi kritik kepadanya saat ia berkunjung ke rumah Lita,  “Apa kau punya ruang tamu yang lain?” Oh, sungguh, tidak tahukah bahwa anak-anaknya selalu membuat rumahnya menjadi kapal pecah?

“Orang tua adalah bos di rumah, bukan anak!” Demikian saran nenek tetangga depan, dengan agak sinis. Mungkin, dalam hati Lita, disangkanya ia tak mampu mengurus anak.
“Hmmm…. kita juga bisa mengikuti kursus bagaimana cara mengatur rumah,” lanjutnya lagi. Lita yang mempunyai tabiat tidak pernah bisa melawan jika ada serangan,  hanya mampu tersenyum kecut. Namun, hati Lita selalu memberontak jika mendapatkan kritik dari orang lain.

****

Musim di Belanda sudah mulai musim gugur. Angin mulai bertiup kencang. Jalanan mulai becek dan dipenuhi daun yang berguguran. Basah, karena hujan tak pernah berhenti. Langit selalu berwarna abu-abu. Mendung yang tak pernah berhenti. Matahari pun selalu sembunyi. Gelap mulai panjang. Pukul tujuh pagi matahari belum keluar. Gelap. Tetapi Eric sudah harus berangkat. Lita sudah menyiapkan bekal Eric. Anak-anak sudah mulai bangun. Mereka juga perlu mendapatkan perhatian. Semua harus membersihkan diri, ganti pakaian, makan pagi dan gosok gigi. Pukul delapan Lita membawa dua anaknya ke sekolah. Sedang yang bungsu, ikut mengantar kakak-kakaknya, duduk di keretanya.  
   
Tujuh tahun sudah Lita menjadi istri Eric. Hari-harinya dirasanya bukan makin ringan. Bayangan yang dulu seakan ia dapat hidup bahagia bersama pria yang dikaguminya, nyatanya sirna karena dirasanya begitu berat tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Keinginannya membicarakan masalah-masalah anak-anaknya dengan Eric sangat sulit dilakukan. Sebab, Eric sering kali pulang dari kampus tempatnya mengajar sudah malam. Selesai makan malam ia segera menuju komputernya, atau membaca buku dan jurnal literatur.

Kadang-kadang Eric juga pulang larut malam karena harus rapat, sidang, ataupun memberikan ceramah. Bahkan, sering kali Lita harus tinggal di rumah berhari-hari hanya dengan anak-anak karena Eric mendapatkan undangan sebagai pengajar terbang ke luar negeri. Yang dibayangkan Lita  dahulu rupanya berbeda. Tampaknya dahulu Lita lebih membayangkan Eric bagai ambtenaar atau pegawai negeri yang bekerja teratur, sore sudah di rumah. Dan malam hari juga ada di rumah. Duduk bersama, menonton televisi, istri bertanya pada suami: mau kopi dan camilan kue, atau mau es krim? Ternyata, tidak demikian yang dihadapinya.
   
Dalam situasi seperti itu, sejak kelahiran si bungsu Joy, Lita merasa dirinya terasing, seorang diri dalam dunia yang sulit ia kenali lagi. Bayangan yang dulu begitu ceria, kini bagai serasa penuh kabut yang kadang-kadang hitam macam mendung musim gugur. Kesepian dan merasa terasing itu juga sangat sulit ia sampaikan kepada suaminya. Ibu mertua yang  tiap hari datang adalah seseorang layaknya masyarakat Belanda, tidak ingin mencampuri masalah-masalah orang lain demi menghormati individu.
  
“Ah, nanti juga akan baik sendiri.”  Kata-kata itu seolah menghibur, namun dirasanya sebagai upaya menolak kenyataan jika ia menyampaikan keluhan pada ibu mertuanya tentang anak-anaknya yang sulit diajak berkomunikasi, keras kepala, dan tidak bisa diperintah. Atau kata-kata:  “Ah, tak perlu dibuat pusing, namanya juga anak-anak,”  yang sering juga diterimanya dari ibu mertuanya.
Kata-kata seperti itu rupanya tidak hanya diterimanya dari ibu mertuanya, tetapi juga dari kenalan-kenalan lainnya, jika ia ingin  mencoba membuka komunikasi mencari jalan keluar apa yang dirasakan. Ia selalu mendapatkan tanggapan harus berpikir positif. Seolah apa yang dirasakan adalah pikiran negatif terhadap apa yang ada di hadapannya. Budaya selalu melihat secara positif adalah gaya hidup yang bagi Lita dirasakan bukanlah jalan keluarnya.

 ****

Lita merasa bagai tak punya lagi orang yang bisa diajak bicara dari hati ke hati tentang perasaannya. Lagi pula, Lita mempunyai norma yang dikembangkannya sendiri, bahwa ia harus menjunjung nama suami, bagaimanapun sulit perasaannya.  Andaikan perasaan kesepian itu ia sampaikan pada mertuanya, ia akan sangat ragu, bahkan takut. Takut jawabannya justru bagai bumerang dengan kata-kata: “Yah, itulah seorang istri. Harus dijalani dengan tabah.”  

Ia juga meragukan, apakah persoalan yang mengimpit ini sudah merupakan persoalan yang berat sehingga harus dibicarakan kepada orang luar? Lita takut jika hanya akan mendapatkan kesan sebagai wanita lemah, atau seorang ibu yang tidak bisa menerima kenyataan harus memelihara anak, melepaskan pekerjaannya dan beralih menjadi ibu rumah tangga seratus persen.
Orang sering mengatakan bahwa sebagai ibu rumah tangga adalah sebuah tugas yang sangat mulia. Tetapi, bagaimana jika aku justru merasa tertekan, apakah tugas mulia ini disebabkan karena perasaan tertekan dan berat dari seorang wanita? 

Lita bertanya dalam hati pada diri sendiri. Pagi hari menyiapkan makanan, memandikan anak, mengantar anak ke sekolah, berbelanja, membersihkan rumah, mencuci baju, menyetrika, mengosek kamar mandi, mencabuti rumput, serta menyapu halaman. Sore hari masak makanan panas untuk makan malam.  
Pekerjaan-pekerjaan itu tak pernah ia gauli selama di Indonesia. Semua rumah tangga di Indonesia mempunyai pembantu.  Tetapi, tidak di Belanda ini. Lita harus mengerjakan segalanya sendiri, bahkan bepergian harus pula menggunakan sepeda karena bajaj, becak, mikrolet, minibus, tidak ada. Hanya ada bus yang haltenya cukup jauh dan hanya lewat setengah jam sekali saja. Bila ia harus bepergian, si bungsu berada di tempat duduknya di bagian muka sepeda,  anak yang nomor dua duduk di belakang, sedangkan yang besar sering ia titipkan pada omanya.

Naik sepeda seperti ini tak pernah dilakukannya di Indonesia. Boleh dikata, yang melakukannya adalah kelompok masyarakat kelas bawah. Namun, di Belanda, naik sepeda dengan anak satu di depan dan satu di belakang adalah hal biasa. Banyak orang melakukannya. Tetapi, bukan seolah serasa bagai orang dari kelompok ekonomi lemah, bagi Lita membawa anak dengan sepeda seperti ini baginya justru kasihan pada anak-anaknya. Mereka sering kali tertimpa hujan, karena cuaca di Belanda lebih sering hujan daripada hari-hari panasnya.
Selain tugas-tugas rumah tangga yang harus ditanganinya sendiri, Lita masih harus memenuhi berbagai jadwal pelatihan untuk anak-anaknya yang terlambat bicara. Sekalipun tak jauh dari rumah,   kegiatan ini juga menyita waktu dan tenaga. Deo, si sulung, mempunyai minat yang besar dalam musik. Seminggu dua kali ia membawanya pada buurvrouw, ibu tetangga yang mengajarinya main piano.

Di hari Sabtu pagi, ia juga membawa Deo ke latihan motorik gymnastic di blok lain, tak jauh dari rumahnya. Belum lagi ada kewajiban bagi anak-anak Belanda untuk mengambil diploma berenang. Negeri Belanda adalah negeri yang penuh air. Di mana-mana ada kanal dan danau. Anak-anak harus bisa menolong diri sendiri, jika terjadi apa-apa yang berkaitan dengan masalah air.

Tak jarang pula Lita harus segera datang ke sekolah karena ada kejadian darurat pada anak-anaknya yang memang sering mengalami kesulitan penyesuaian diri di sekolah. Atau guru tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan anak-anak Lita yang keduanya memang banyak gerak serta sulit diberi tugas mandiri.
    
Akan halnya kesedihan dan rasa tertekan, Lita juga tak ingin dituding sebagai penderita postnatal depression. Depresi pasca-melahirkan.  Satu-satunya hiburannya kini adalah ia masih bisa bersapa dengan teman-temannya melalui jaringan sosial Facebook, sekalipun sangat sulit duduk di belakang komputer karena ia harus selalu mengawasi anak-anak. Atau, jika ia mulai membuka komputer, maka anak-anaknya akan menyerbunya. Mereka ingin juga bermain dengan komputer.

Ia juga tidak dapat berbicara dengan tenang melalui telepon, karena pasti anak-anaknya akan berisik sekali. Kecuali jika kedua anaknya sekolah, dan si bungsu sedang tidur. Tapi, waktu luang itu harus digunakannya untuk mencuci baju, menyapu lantai, membereskan dapur, bahkan kesempatannya untuk mandi dan makan.

“Aku rasanya tak tahan lagi,” kata Lita di telepon pada Mbak Dian, dengan suaranya yang sengau di antara sesenggukan tangisnya. Hanya kepada Mbak Dian, kakak perempuannya,  ia bisa mengeluarkan perasaannya. Tidak kepada ibundanya, karena ibunya sudah meninggal dunia saat anak kedua Lita lahir. Mbak Dian yang seorang dokter puskesmas, banyak sekali memberi pengaruh pada kehidupan Lita.

Bahkan, berkat Mbak Dian-lah Lita dan Eric menjadi  makin dekat. Karena, saat berada di lapangan, Eric dititipkan pada Mbak Dian di desa tempatnya tinggal dan bekerja sebagai dokter puskesmas. Kini dalam persoalan Lita dan Eric, Mbak Dian tak tahu harus memberi dukungan bagaimana, karena tak melihat sendiri seberapa besar berat ringan penderitaan Lita hingga mampu mengatakan bahwa ia tak tahan lagi.

Mbak Dian hanya memberikan nasihat seperti yang sudah ditakutkan Lita, ia hanya mampu berucap: “Yang sabar, ya, Lita, namanya juga berumah tangga.” Anjuran sabar rasanya sudah banyak ia dengar. Segudang kesabaran baginya bukan menyelesaikan masalah. Sebab, Lita merasa tengah ditidakadili oleh situasi yang sulit baginya untuk memberontak.

****

Pagi itu, dua anaknya yang besar sudah diantarkannya ke sekolah. Joy si bungsu sudah ia masukkan ke boksnya. Sekarang ia tidur. Biasanya Joy akan tidur satu jam, setelah ia menyelesaikan makan paginya dan minum susu. Tak lupa Lita menyanyikan sebuah lagu anak-anak, yang akan disambut oleh Joy dengan tertawa riang dengan suara bayinya.
Klap eens in je handjes
Blij, blij, blij
Op het boze bolletje, allebei
Handjes omhoog
Handjes omlaag
Handjes in de zij
En het neusje voorbij

Tetapi, kali ini tak ada niatan sama sekali Lita untuk menyanyikannya. Tak ada lagi kegembiraan dan keriangan yang bisa dituangkan pada anaknya.
    
Waktu satu jam saat Joy tidur, biasanya oleh Lita akan digunakannya untuk membersihkan dapur dan ruang lain serta kamar tidur. Tapi, pagi itu Lita serasa mengambang. Ia tak mempunyai keinginan apa-apa. Juga tak mempunyai keinginan untuk makan.  Kepalanya terasa berat, badannya terasa penat. Air mata mengambang.

Ia hanya duduk termenung melihat awan hitam di luar. Ayam-ayam yang berlarian di halaman belakang juga tak lagi menarik hatinya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Sampai Joy bangun. Tapi, Lita tak lagi mendengarkan suara celoteh Joy yang biasanya ramai sambil menyembur-nyemburkan ludahnya. Ia memainkan bibirnya. Bahkan, saat ibu mertuanya datang, Lita masih dengan matanya yang sembap.
   
“Lita, ada apa?” sapanya. Ibu mertuanya melihat rumah masih berantakan, piring dan gelas kotor masih berserakan, bahkan pakaian kotor di mana-mana. Lita tak mengucapkan apa-apa. Ia hanya sesenggukan menangis. Merasa ada apa-apa pada Lita, ibu mertua menelepon Eric. Eric pun tak bisa memberikan jawaban, apa yang terjadi.
    “Lita, ayolah bicara. Ada apa?”
    “Percuma.”
    “Tidak percuma. Mungkin saya bisa bantu.”
    “Tidak ada yang bisa bantu.”
    “Baiklah. Kalau begitu istirahatlah. Tidur. Saya jaga Joy dan membersihkan rumah.”
   
Lita naik ke kamar tidur. Tetapi, ia tak bisa tidur. Ia hanya bisa menangis. Sampai saat anak-anak harus dijemput untuk makan siang di rumah, Lita masih tergeletak di tempat tidur.
“Lita, kalau begitu, baiklah. Saya bersama Joy menjemput kakak-kakaknya.” Ibu mertua mengambil inisiatif. Lita hanya mengangguk.
  
Sampai anaknya yang pertama sudah kembali lagi ke sekolah, sementara yang nomor dua tinggal di rumah, Lita masih menggeletak di tempat tidur. Ia tak bangun-bangun. Tidak juga berniat makan. Penampilannya juga acak-acakan. Ibu mertua  makin gusar. Sekali lagi diteleponnya Eric. Namun, Eric tak bisa pulang karena ia sedang di tengah acara presentasi suatu acara pertemuan ilmiah.
Ibu mertua mencari bantuan ke dokter keluarga, yang datang tak lama dengan membawa seorang perawat. Sekalipun dokter menanyakan ini itu, Lita tetap membungkam. Dokter mengusulkan agar Lita dibawa ke rumah sakit untuk rawat inap khusus untuk masalah kejiwaan. Agar di sana mendapatkan bimbingan emosional dari profesional.
   
Sebulan sudah Lita dirawat di rumah sakit khusus. Ibu mertua dan anak-anaknya secara teratur menjenguknya. Sedang Eric di hari Sabtu dan Minggu datang cukup lama. Sejauh itu Lita masih saja lebih banyak membungkam.  Senyum dan celoteh anak-anaknya yang cakap dan cerdas-cerdas itu tidak juga memberikan secercah hiburan baginya. Ia sangat malas bicara. Ia menarik diri sangat dalam, yang cukup sulit untuk merangkaknya lagi ke permukaan.

Beberapa butir tablet cukup bermanfaat untuk menstabilkan emosinya. Tetapi, persoalan masih tetap membelitnya. Eric sedih sekali. Bagaimana bisa Lita yang dinilainya seorang wanita tegar berkepribadian kuat dan senang bekerja, kini merasa tidak bahagia di sampingnya.

Eric sangat merasa bersalah. Bersalah karena sudah membuatnya tidak bahagia. Bersalah karena terlambat memahami apa yang menyebabkannya jatuh dalam lembah depresi. Bersalah karena percaya pada Lita bahwa ia dapat mengarungi hidup di sampingnya tanpa perlu adanya dukungan emosional baginya. Eric merasa bersalah, secara emosional sudah menelantarkan Lita.

“Oh, Lita, katakanlah apa yang harus kulakukan agar engkau dapat kembali bahagia,” bisik Eric di telinga Lita, saat ia, anak-anak, dan ibunya menjenguknya di rumah sakit sore itu.  Tetapi, Lita diam saja.
“Lita, katakanlah. Apa yang kau inginkan agar kau dapat kembali hidup penuh rasa bahagia.”
“Aku ingin pulang,” tiba-tiba Lita bersuara tanpa intonasi. Datar.
“Ah, kalau itu yang kau inginkan, aku akan mengambil cuti dan kita bersama anak-anak berlibur ke Indonesia,” balas Eric, sambil membelai rambut Lita.
“Aku ingin sendiri, dan tak kembali lagi,” sambung Lita, datar. Eric tak percaya apa yang dikatakan Lita.
“Lita, mengapa...?” tanya Eric, dengan suara pelan dan tercekat.
“Kau dengar, toh? Aku ingin pulang. Sendiri. Dan tak kembali lagi.”
“Lita….?!”

Air mata mengembang di mata Lita. Di mata itu tampak kesedihan yang sangat dalam. Tanpa cahaya.  Lita tak lagi menjawab. Air matanya terus mengalir disertai dengan senggukan kesedihan. Eric turut terhanyut dalam kesedihan Lita. Diraihnya pundak Lita, didekapnya dengan kasih sayang, belaian dan ciuman di rambutnya. Tetapi, Lita  makin sesenggukan, dan menjauhkan diri.
“Aku hanya ingin pulang, dan tak kembali lagi.”
“Lita… jangan katakan itu. Engkau sedang sedih. Nanti anak-anak kita kehilangan ibunya.”
“Anak-anak masih ada engkau dan omanya. Aku tak sanggup lagi.”
“Lita….” Lita tak menjawab, hanya senggukannya  yang makin keras. Tak lama kemudian seorang perawat masuk, menyampaikan bahwa jam kunjungan sudah selesai. Lita menerima sebutir tablet sebelum ia tidur. Eric mengecup pipi Lita. Dipanggilnya anak-anaknya yang dibawa sang oma ke ruang main anak-anak. Anak-anak dipanggil untuk  memberikan ciuman di pipi mamanya.
Dengan lemah Lita memegang kepala anak-anaknya satu-satu, kemudian membalikkan badan. Anak-anaknya memanggil-manggil mamanya, namun Lita tetap membuang muka. Deo mulai menangis memanggil mamanya. Eric segera menggendong Deo, dan menuntun Rio keluar, diikuti Oma menggendong si bungsu.

*****

Malam itu Eric tak mampu memejamkan mata. Ia tak menyangka apa yang diucapkan Lita. Ia tak menyangka, apa yang menjadi penderitaan Lita adalah karena ia tak lagi mampu menjalani hidup ini di Belanda. Jauh dari keluarga, beda budaya, meninggalkan pekerjaan dan teman-temannya, hanya berkutat seputar persoalan rumah tangga serta mengasuh anak. Anak-anak yang mempunyai kekhususan dan membutuhkan perhatian yang berbeda daripada anak-anak normal lainnya. Ditambah lagi Lita kehilangan ibundanya beberapa tahun lalu. Tentu, hal itu semua adalah perubahan hidup dan beban yang luar biasa besar.
Eric menyesali diri mengapa ia tak bisa mengenali kesulitan Lita sejak awal? Mengapa ia membiarkannya hingga masuk ke dalam lembah depresi yang sangat dalam? Mengapa ia memercayai Lita begitu saja bahwa ia bisa mengurus kehidupan rumah tangganya seorang diri? Mengapa ia tak selalu menyirami  apa yang sudah disemainya dengan percikan cinta agar tali yang dirajutnya  makin kuat? 

“Ah, aku terlalu egois,” desah Eric, penuh penyesalan. Kepalanya terasa berputar. Tiba-tiba ia mendengar suara telapak kaki berjalan perlahan menuruni tangga. Pasti ibunya. Tak bisa tidur jugakah ibunya? Ia bertanya dalam hati. Ibunya sudah sebulan menginap menunggu anak-anak sejak Lita masuk rumah sakit.
Eric keluar dari kamar. Menuruni tangga dan menuju dapur. Dilihatnya ibunya tengah memasak air. Matanya sembap. “Oh, Mama,” desisnya dalam hatinya. Kesedihanmu adalah kesedihanku juga. Sambil minum teh panas, lama mereka berdua bertukar pikiran. Kesimpulan jalan keluar yang dapat diambil saat itu adalah: ada baiknya memang Lita kembali dahulu ke Indonesia.
Barangkali situasi yang berbeda, udara yang cerah, tenang, di tengah famili dan teman, dapat mengembalikan kekuatannya agar mampu meneruskan tugasnya sebagai ibu dan istri, sekaligus sebagai anggota masyarakat Belanda. Eric mengangguk-angguk mendengar tip yang diberikan ibunya. Ada baiknya, pikir Eric sambil mengangguk-angguk. Daripada Lita terkurung dalam kamar putih dengan pil-pil dan program harian terapi-terapi kejiwaan yang sangat lambat menunjukkan kemajuan. (Bersambung)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?