Fiction
Sang Penulis [7]

27 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

“Mas Darmian cerita bahwa kau yang memberi tahunya tentang novel ini,” kata Mariana. “Mas Darmian rupanya tidak pernah tahu bahwa Hariman pernah menerbitkan novel.”

“Itulah yang dia katakan padaku,” sahut Abel. “Bagaimana denganmu? Apakah kau tahu?”

Mariana tersenyum. “Tentu saja. Aku kenal Hariman lebih dulu dari Mas Darmian. Hariman itu orang yang sangat hebat, dan wawasannya sangat luas. Sayang, dia terlalu idealis. Kalau saja dia mau menulis sesuai keinginan pasar, aku yakin dia juga bisa sesukses Mas Darmian.”

“Apakah Darmian dan Hariman dekat?”

“Sulit menjelaskannya. Sewaktu aku mulai menjalin hubungan dengan Hariman, Mas Darmian sempat menentang. Aku mengerti alasannya. Hariman memang tidak punya pekerjaan tetap, sedangkan aku terbiasa hidup berkecukupan. Tapi, aku benar-benar mencintai Hariman.”

“Apakah karena dia tampan? Aku dengar dia blasteran Indo-Belanda,” kata Abel.  
Mariana mengerlingkan matanya. “Dia memang tampan. Apalagi matanya hijau, dan itu asli. Tapi, bukan itu alasan utama kenapa aku jatuh cinta padanya. Abel, apakah kau pernah merasakan cinta yang demikian kuatnya seolah-olah kau yakin dia adalah orang yang paling tepat untukmu? Bahwa tidak ada orang lain yang bisa menggantikannya?”

Abel terdiam, lalu menggeleng. Mariana pun menghela napas. “Hariman sudah seperti udara bagiku. Aku membutuhkannya sebesar itu,” kata Mariana. “Hariman dan aku tidak langsung berpacaran. Kami berteman cukup lama, kira-kira dua tahun, sampai aku lulus dan kembali ke Jakarta. Aku berusaha untuk tidak jatuh cinta padanya, karena aku tahu, masa depanku dengan Hariman itu sangat tidak jelas. Tapi, ternyata sulit sekali untuk tidak jatuh cinta padanya,” kata Mariana. Tangannya secara perlahan menyusuri sampul novel Hariman, seolah-olah sedang membelai kulit si penulisnya. Hati Abel menjadi sedih melihatnya.

“Lalu, dia datang mengunjungiku di Jakarta setelah novel Mas Darmian yang pertama terbit. Novel itu ternyata luar biasa sukses, sampai-sampai Mas Darmian diundang ke acara-acara lokakarya sebagai pembicara. Hariman datang untuk memberi selamat kepada Mas Darmian. Aku tahu Mas Darmian mendapat dorongan darinya untuk mencoba menulis novel. Setelah bertemu dengannya lagi, aku makin yakin perasaanku tidak bisa digoyahkan.”

“Apakah saat itu kalian akhirnya resmi berpacaran?” tanya Abel.

Mariana tidak langsung menjawab. Ia terlihat termenung, namun bibirnya tersenyum. “Aku ingat Hariman menggenggam tanganku dan menatapku dalam-dalam sambil mengatakan, ‘Apakah kau masih ingin terus mengikarinya? Ada sesuatu yang berbeda di antara kita. Aku yakin kau juga merasakannya.’ Aku hanya bisa terperangah,” Mariana mengangkat kepalanya dan memandang Abel dengan tenang, “Dan ya, kami resmi berpacaran sejak saat itu.”

“Tapi, Darmian menentang.” Abel menarik napas. Mariana mengangguk singkat.

“Namun, Hariman berusaha semampunya untuk bisa memberiku kehidupan yang layak nantinya. Dia memilih pindah ke Jakarta dan bekerja sebagai jurnalis di majalah remaja dan masih tetap menulis lepas untuk majalah dan surat kabar lain.”

“Kalau begitu, kenapa dia tidak mau mencoba menulis novel lagi?”

Mariana menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku pernah mendorongnya untuk melakukannya, apalagi Mas Darmian juga sudah punya kenalan di penerbit, tapi dia menolak. Belum waktunya, katanya. Seperti yang kubilang tadi, seandainya saja dia tidak terlalu idealis.”

“Lalu, apakah kau sudah membaca novel ini?” tanya Abel. Ia mengambil novel yang sedari tadi sudah menariknya laksana magnet. Novel itu cukup tipis untuk konsumsi Abel, dan ia yakin ia bisa menyelesaikannya dalam satu jam.

“Dulu sekali, tapi aku hanya membaca bagian pertamanya. Novel ini sangat filosofis, agak berat untuk orang Indonesia. Tapi, apa boleh buat, Hariman memang orang yang seperti itu.”

“Apakah kau keberatan kalau aku membacanya di sini?” tanya Abel. Mariana langsung mengizinkan. “Biar aku yang memberikannya ke Darmian nanti malam.”

“Baiklah, kalau begitu, aku pulang duluan, ya,” kata Mariana. Ia mengambil tasnya dan berdiri. Abel melambaikan tangannya. Setelah Mariana menghilang dari pandangan, perhatian Abel langsung terpusat pada buku di hadapannya. Ia membuka sampulnya dengan hati-hati, dan mulai membaca kata demi kata.

Malam telah turun ketika akhirnya ia memanggil taksi untuk mengantarnya pulang ke rumah Darmian. Tubuhnya kaku seakan lumpuh. Matanya nanar seperti orang yang menahan tangis. Pikirannya melayang-layang. Ada satu nama yang terus bergema di kepalanya. Hariman, Hariman, Hariman…

“Kau yakin, Abel?! Ini masalah yang sangat besar!”

“Aku sendiri tidak akan percaya kalau bukan aku sendiri yang membacanya, Jeff!”

“Tapi, bagaimana mungkin…??!!”

“Jeff, kata-katanya persis sama! Gaya menulisnya juga! Aku sendiri masih tidak paham apa sebenarnya yang terjadi di sini! Pokoknya sekarang aku sudah mengopi dan mengirimkannya lewat faksimile! Kau akan tahu apa yang kumaksud!”

“Kaubilang Darmian tidak tahu Hariman menerbitkan novel? Berarti dia tidak pernah membacanya sebelumnya, ‘kan?”

“Jeff, apa yang harus kulakukan?”

Abel memejamkan matanya dan menggigit bibirnya. Kedua tangannya lembap akibat keringat dingin. Ketika taksi tiba di depan gerbang, Abel menarik napas dalam-dalam, memperkuat dirinya. Kenyataan yang menghantamnya terlalu pahit untuk ia telan.

“Sudah sampai, Non,” kata sopir taksi. Gelagat si penumpang tampaknya agak mengkhawatirkannya. Abel kemudian membayar dan keluar. Setelah taksi berlalu, ia masih mematung di depan gerbang. Novel Hariman yang disimpannya di dalam tasnya terasa seperti batu beton yang memberatkan langkahnya.

“Bagaimanapun, aku harus memastikan semuanya,” ucap Abel dalam hati. Abel pun membuka gerbang dan melangkah masuk. Ia hanya butuh satu kebenaran.

“Mbak Abel sudah makan?” sapa Sita, kala ia melihat Abel datang.

“Mbak Mariana di mana?” Abel balik bertanya. Sita menunjuk ke atas, memberi tanda bahwa Mariana ada di kamarnya.

“Di mana Pak Darmian?”

“Di perpustakaan,” jawab Sita. Abel kemudian tidak berkata apa-apa lagi. Ia segera naik dan masuk ke kamarnya. Dari kamar Mariana, ia bisa mendengar musik mengalun. Apakah Mariana tidur? Abel tidak tahu. Ia sendiri merasa capek dan tubuhnya lemas seakan menahan beban berat di pundaknya.

Ia mengambil Tujuh Kilau Permata dan mengeluarkan Sang Penulis dari dalam tas. Ia membuka Tujuh Kilau Permata, langsung menuju halaman yang ia cari, dan ia melakukan hal yang sama dengan Sang Penulis. Berapa kali pun ia lakukan, kenyataan di depan matanya tetap tidak berubah. Di Book+Stop tadi, sudah lusinan kali ia melakukannya, membaca setiap kata, mencocokkan segala hal. Dua novel di depannya menjadi bukti bisu.

Darmian Trisjoyo-kah sang plagiat? Atau Hariman-lah sang penulis?

Hanya dua orang yang tahu akan kebenaran yang sesungguhnya. Dan, untuk saat ini, tinggal satu orang yang bisa memberinya jawaban.

Darmian.

“Masuk.”

Darmian menjawab ketukan di pintu dengan suaranya yang khas. Abel memutar pegangan pintu sambil menguatkan hatinya. Di tangannya tergenggam novel Hariman. Dari tadi Abel sudah menunggu-nunggu Sita masuk ke kamarnya di bagian belakang rumah. Mariana mungkin sudah tidur karena Abel tidak mendengar suara apa-apa lagi.

cerita selanjutnya >>

Penulis: Vivi


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?