Fiction
Sang Penulis [2]

27 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

“Saya yakin pihak penerbit sudah memberi tahu Anda tentang deadline penulisan biografi ini, Pak Darmian,” ujar Jeffry. Darmian mengangguk.

“Dua bulan, paling lama. Begitu, ‘kan?” Darmian balas bertanya. Jeffry mengiyakan. Teringat sesuatu, Darmian menoleh ke Abel. “Oya, Nona Annabel sudah menemukan tempat untuk kos di Bandung?”

“Belum. Rencananya kami akan mulai mencari setelah kami bertemu Anda.”

“Anda tahu,” Darmian tampak menghela napas, “orang tua kami sudah meninggal. Rumah kami yang di Jakarta sudah dijual, sebab Mariana pikir lebih baik kami menghuni rumah keluarga kami di sini, di Bandung. Bandung lebih tenang dan tidak terlalu padat seperti Jakarta. Lagi pula, saya tidak akan pergi ke Singapura untuk rehab lagi. Kami memilih melakukannya di rumah sakit di Bandung saja. Sebenarnya, Mariana meminta saya menanyakan ini pada Anda. Bagaimana kalau Nona Annabel tinggal di rumah ini selama penulisan biografi?”

Abel terdiam. Ia melirik ke arah Jeffry sekilas, seakan-akan meminta pendapat. Jeffry kemudian menjawab, “Apakah nantinya bisa kurang etis?”

“Dalam hal…?”

“Yah, bagaimanapun, ini adalah sebuah pekerjaan yang profesional, bukan? Tetap saja ada aturan yang mungkin harus disepakati,” kata Jeffry.

Darmian terlihat merenung. “Apabila Nona Annabel.…”

“Annabel atau Abel saja,” potong Abel cepat. Telinganya agak gerah mendengar embel-embel ‘Nona’ sepanjang percakapan mereka. Darmian menarik kedua alisnya ke atas sedikit.

“Baiklah, Annabel. Sebenarnya saya tidak masalah kau menyewa kamar di tempat kos di mana juga. Hanya, Mariana senang sekali kalau dia bisa punya teman ngobrol di rumah. Sejak kecelakaan itu, dia agak menutup diri. Saya pikir, kenapa tidak? Toh, cuma untuk dua bulan. Dan saya yakin, proses penulisan biografi saya juga diuntungkan. Jujur saja, saya sudah mengajukan satu syarat mutlak kepada pihak penerbit. Saya adalah editor tak resmi dari biografi yang ditulis Annabel. Saya memegang kontrol penuh terhadap isi yang ingin dipublikasikan.” Darmian menatap Abel dan Jeffry dalam-dalam, dengan mata menyorot tajam. “Dengan berada di bawah satu atap, saya percaya proses itu lebih mudah dilakukan.”

Abel menarik napas. Apa yang dikatakan Darmian ada benarnya. “Kalaupun saya setuju, saya tidak ingin tinggal di rumah Anda tanpa membayar apa pun,” ujar Abel akhirnya. “Saya akan membayar, anggap saja uang sewa kamar kepada Anda. Saya perlu menetapkan batasan-batasan profesional yang memang sudah sepantasnya.”

Darmian mengangguk-angguk. “Oke, no problem. Kalau memang itu yang dianggap pantas, saya tidak keberatan.”

Abel menghela napas lega. Ia tidak suka bila harus merasa berutang budi pada seseorang.

“Karena masalah tempat tinggal sudah beres, saya pikir ini saatnya untuk membicarakan tentang penulisan biografi saya,” kata Darmian. Keseriusan nadanya membuat Abel dan Jeffry memberikan perhatian mereka. “Pertama-tama, tentang proses recording.”
Akhirnya semua disepakati. Abel akan menetap di lantai dua rumah Darmian, di kamar kosong di sebelah kamar Mariana. Kamar Darmian sendiri terletak di lantai satu, dan alasannya sudah sangat jelas.

Darmian meminta sesi wawancara dilakukan pagi hari, setiap hari pukul sepuluh, selama dua jam, dari Senin hingga Jumat. Sore harinya, pada hari Selasa dan Jumat, biasanya pada pukul empat, Mariana akan membawa Darmian ke rumah sakit. Tapi, Darmian mengatakan itu bukan jadwal tetap. Ia bahkan berpikir untuk berhenti ke rumah sakit.

Jika melihat ke belakang betapa parahnya kecelakaan yang dialami Darmian, orang-orang akan mengatakan Darmian beruntung sekali berhasil selamat. Mobil yang ia bawa terhantam oleh sebuah truk yang melaju amat kencang gara-gara sopir yang ngantuk, dan, tanpa mampu dihindarkan, langsung menabrak mobil Darmian.

Mobil Darmian terdorong ke depan dan menabrak sebuah bus di depannya dengan kecepatan tinggi. Tabrakan beruntun itu menghancurkan bagian depan mobilnya tanpa ampun. Mobil bahkan sempat terjungkit ke atas akibat benturan yang sangat dahsyat. Hariman meninggal seketika, tapi Darmian hidup, meskipun dengan luka-luka yang amat serius. Jaringan otot dan tulang lengan kanannya rusak parah, demikian juga kedua kakinya.

Sekarang, dengan teknologi kedokteran yang canggih, kaki kanan Darmian berhasil diselamatkan dengan memperbaiki jaringan ototnya. Tapi, tidak sama halnya dengan kaki kirinya yang harus diamputasi. Setelah operasi yang dilakukan berkali-kali, dan rehabilitasi yang memakan begitu banyak waktu, Darmian memilih memakai kursi roda dan menghilang dari muka bumi.

Abel menatap layar laptop-nya yang menampilkan detail kecelakaan yang menimpa Darmian Trisjoyo tiga tahun lalu. Gambar yang terlihat di laptop-nya menyajikan kengerian tabrakan beruntun tersebut. Abel baru saja selesai menyiapkan koper dan segala sesuatunya, sebab besok ia sudah akan kembali ke Bandung dan memulai pekerjaannya. Karena tidak ada lagi yang perlu dipersiapkan, Abel iseng-iseng mencari berita soal kecelakaan tersebut lewat internet. Setelah membaca berita singkat tersebut, Abel bisa menarik kesimpulan bahwa tidak banyak yang bisa diketahui dari kehidupan pribadi Darmian di media. Bagaimana respons orang-orang kalau mereka tahu biografi Darmian Trisjoyo akan diterbitkan? Abel yakin, banyak yang penasaran. Bagaimanapun, Darmian adalah penulis novel-novel best seller.   

Aku sama sekali tidak menyangka ini nyata, renung Abel. Ia yang akan menulis biografi Darmian Trisjoyo!

Abel bangkit dari duduknya dan mengambil novel debut Darmian. Judulnya Perempuan Senja. Ia membuka-buka tiap helai, menelusuri kata-kata yang ada, dan mengingat kembali semua sensasi yang dirasakannya ketika ia membaca novel itu.
Pada saat Perempuan Senja menjadi perbincangan orang, Abel masih seorang karyawati kantoran yang kebetulan punya hobi menulis. Ia memang pernah mengirimkan cerpen atau cerber ke majalah dan surat kabar, tapi menjadi penulis hanya impian yang ia pendam.

Buku itu menjadi pemicu. Gairah menulis yang ada pada Abel menyeruak makin besar, dan keinginannya untuk mengirimkan hasil tulisannya ke penerbit makin menggebu. Alasannya sederhana. Ada kalimat di dalam Perempuan Senja yang ia ingat selamanya: Aku bukan seorang jenius, tapi aku percaya pada kekuatan ambisi. Kalau memang menginginkannya, melangkahlah, dan kau akan tahu bahwa satu langkah itu akan membawamu berlari menuju apa yang kau dambakan.

Kata-kata itu menjadi cambuk. Abel mengambil langkah itu. Bukan jalan yang mudah, karena seperti kebenaran yang ada di kalimat tersebut, Abel bukan seorang jenius. Tulisannya ditolak cukup sering, tapi ia tidak patah semangat. Ia terus belajar dan belajar, terus mengasah diri.

Lalu, novel kedua Darmian terbit. Cukup lama jeda yang terjadi antara novel pertama dan keduanya, tapi yang paling penting, novel kedua Darmian juga sangat bagus. Novelnya kembali menjadi best seller. Sejak saat itu, Abel memutuskan mengoleksi novel-novel Darmian Trisjoyo dan menjadi penggemar setianya.

Dua tahun sejak keputusan penting itu, Abel berhasil menerbitkan novel pertamanya. Berbeda seratus delapan puluh derajat, novel pertama Abel disambut biasa-biasa saja. Abel nyaris putus asa, sebab, walaupun novelnya telah terbit, kenyataan ternyata jauh dari angan-angannya. Sekali lagi, semangatnya terpompa oleh kalimat-kalimat indah yang ditulis Darmian di novelnya.

cerita selanjutnya >>

Penulis: Vivi




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?