Fiction
Sang Dalang [3]

5 Apr 2013

<<< Cerita Sebelumnya

Dwi Retno Handayani


Bagian 3

Aku tidak bisa berhenti memandangi buku yang diberikan Kakrasana kepadaku, sebuah buku berisi catatan-catatan usang yang selama ini ia kumpulkan selama belajar dan bermimpi menjadi dalang. Bukunya memang ditulis dengan tulisan tangan Kakrasana yang mirip seperti cakar ayam. Namun, begitu kubuka dan kulihat isi–isi di dalamnya, aku yakin sekali Kakrasana tidak main–main mempelajari wayang.

Di halaman pertama, ia membuat catatan tentang wayang purwa (wayang– wayang yang menceritakan kisah–kisah Ramayana dan Mahabharata), khususnya pada cerita Mahabharata. Ia menambahkan beberapa peristiwa yang terjadi pada masa tersebut, seperti Perang Barathayudha (perang saudara yang melibatkan saudara sedarah Kurawa dan Pandawa untuk memperebutkan Kerajaan Hastina), Balai Sigala– gala (kisah kecurangan Kurawa dan Patih Sengkuni untuk mencelakai lima Pandawa), Pandawa Dadu (muslihat yang dilakukan Patih Sengkuni dan Kurawa untuk mengusir Yudistira dan adik–adiknya dari kerajaan mereka lewat permainan dadu), pertemuan Werkudara dengan Dewa Ruci, tumbal kemenangan Pandawa untuk Barathayudha, karakter para punakawan dalam wayang, seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, serta silsilah para kesatria tersebut berikut istri dan anak–anak mereka.

Aku seperti berdosa melihat catatan ini dan cuma bisa memandanginya. Antara takjub dan tak percaya, aku ambil buku tersebut dan kubuka lagi halaman–halaman selanjutnya. Dalang bodoh itu menggambar sebuah tokoh wayang yang tidak kukenal, karena bagiku wajah mereka sama saja. Entah mengapa,  dia bisa dengan mudah membedakan bahwa yang satu merupakan seorang adipati, yang satunya seorang raja, dan yang lainnya seorang resi.

Tokoh wayang tersebut digambarnya dalam guratan–guratan pensil yang sangat sempurna, komposisi gambar yang pas seperti yang pernah kulihat dalam tokoh–tokoh di pergelaran wayang kulit. Meskipun gambar tersebut hanya sebuah sketsa, harus kuakui, Kakrasana punya kemampuan yang bagus dalam menggambar. Ia memberikan keterangan pada tokoh itu. Tertulis di bawah gambar tersebut, ‘Resi Durna’. Catatan tambahan mengenai tokoh itu juga ia sebutkan bahwa ia merupakan sesepuh yang memberikan pelajaran olah kanuragaan dan kebatinan kepada keturunan Bharata di Hastinapura. Beberapa tambahan lainnya meliputi ketidakmampuannya menggunakan salah satu tangannya, sementara tangan yang satunya digunakan untuk membawa tasbih.

Kubuka halaman berikutnya dan kubaca lagi catatan–catatan Kakrasana. Ada gambar tokoh lima Pandawa yang lagi–lagi ia gambar pada keterbatasan pensil, tapi tetap tampak sempurna. Ia menggambar anak panah pada kuku jari Werkudara dan menuliskan catatan ‘kuku pancanaka’ di luar gambar tersebut.

Kututup buku itu dan kutaruh kembali buku tersebut di hadapanku. Aku merasa tak enak atas perlakuan spesial ini. Setelah seminggu kelas wayang kami berjalan, di malam berikutnya ia memberikan buku ini padaku untuk kupelajari. Aku merasa tidak enak atas ketulusannya mengajariku, sementara aku masih main–main mempelajarinya. Kupandangi kembali buku tersebut. Sampul buku itu berwarna cokelat tua, terbuat dari bahan tekstil yang cukup keras, umurnya mungkin sudah bertahun- tahun lamanya hingga tampak usang seperti itu.

Aku memandanginya dan terus memandanginya. Baru kusadari ada sebuah tulisan dengan tinta hitam yang tidak lagi terlihat nyata. Saat kuperhatikan baik–baik, aku baru sadar buku ini bertuliskan nama lengkap Kakrasana yang ditulis dengan tulisan cakar ayamnya. Tapi, makin kuperhatikan, kusadari bahwa buku ini tidak punya satu nama. Ada nama lain di bawah nama Kakrasana. Samar–samar seperti kulihat huruf ‘N’, dan di tengah huruf tersebut seperti ada huruf yang mengekor di bawahnya.

Aku memastikan lagi ketajaman mataku dengan mengambil kacamata baca. Kubaca sekali lagi sampul buku itu, sampai akhirnya kutemukan tulisan yang sudah hampir menghilang pada sampul tersebut, buku ini milik Satria Alugara Kakrasana dan Satria Cakra Narayana. Nama yang satunya sungguh asing terdengar di telingaku.

***

“Tar, kamu sudah lama berteman dengan Kakrasana?”
Senin pagi setelah tim kami melakukan rapat mingguan, aku melangkah menuju meja Tari, begitu penasaran.
“Duh, Wii.... sori yaa aku telat, jadi nggak ikut meeting, deh,” sahutnya dengan suara  yang terdengar bersalah. Sepertinya ia tidak begitu ngeh dengan pertanyaan yang kuajukan barusan.
“Tak apa–apa. Nanti aku kirim minutes meeting-nya ke e-mail-mu,” ucapku, tak memedulikan. Kami sedang tidak begitu sibuk seperti minggu–minggu kemarin ketika kami mengejar waktu closing. Karena waktu closing sudah selesai, kami bisa sedikit bernapas untuk sejenak ngobrol–ngobrol.
“Eh, tadi kamu tanya apa, Wi? Aku, kok, lupa,” Tari kembali mengingatkan.
“Sebenarnya aku mau tanya sesuatu, Tar,”  aku  kembali berbicara, kali ini dengan nada suara yang lebih kecil. “Sudah lama, ya, kamu kenal temanmu itu?”
Tari seperti kebingungan mendengar pertanyaanku. Rasanya ia tidak mengerti teman yang mana yang kumaksud itu.
“Kakrasana maksudku,” tambahku, pelan.
“Ooh... iya. Dulu aku satu SMP dan SMA dengannya. Waktu rumahku masih di Cikini, kami tetangga dekat. Lalu dia dan keluarganya pindah setelah lulus SMA. Aku nggak tahu pindah ke mana, mereka tidak bilang. Tahu–tahu aku ketemu dia di reuni SMP dua bulan yang lalu.  Kami jadi sering ngobrol–ngobrol lagi,” jelas Tari, dengan santai. Ia kemudian membuka stoples kecil di sebelah komputernya dan menawariku permen cokelat.
“Suamiku baru pulang dari berlayar, Wi. Coba, deh, katanya ini cokelat asli Kanada.”
“Ooh…  jadi mereka nggak bilang pindah ke mana?” aku menanyakan kembali kalimat tersebut kepadanya, berusaha menggali arti kata ‘mereka’ yang dimaksud Tari, sambil membuka permen cokelat yang diberikannya.
“Iyaaa… padahal kami teman dekat. Mereka berdua teman kecilku. Dulu aku dan teman-temanku sering menyebut mereka si kembar aneh. Yang satu orangnya baik banget, yang satunya lagi agak temperamental, nakutin,” ucap Tari begitu lancarnya, tanpa menyadari maksud pertanyaanku.
Baru setelah aku diam memikirkan kata–katanya, ia menoleh ke arahku, kebingungan dengan pertanyaan yang kuajukan.
“Kok, tiba–tiba nanya Kakrasana?” Tari penasaran.
“Sekarang dia tetanggaku.” Lantas aku tersenyum ke arahnya. Kemudian aku kembali menuju mejaku. Kudengar Tari sedikit berteriak mempertanyakan gosip baruku dan Yudistira. Sepertinya ia sudah tahu aku dan Yudistira berhubungan lagi. Aku cuma mengangkat telunjukku dan menyuruhnya untuk diam. Kudengar tawanya setelah itu.

***

Apa mungkin Kakrasana kembar? Aku tidak melihat satu foto pun di rumahnya waktu itu, maksudku foto–foto yang berhubungan dengan keluarganya. Aku tidak pernah melihat orang lain selain si dalang itu  tiap kali melewati rumahnya. Tak pernah ada orang lain, kecuali bibi yang datang tiap pagi dan pulang tiap sore hanya untuk beres–beres dan mencuci baju di rumahnya.

Pernah kulihat rumahnya begitu ramai, tapi itu tak lebih dari kumpulan teman–teman satu hobi dengannya. Atau, anak kecil dekat rumahku yang senang sekali main ke rumahnya di tiap weekend hanya untuk mendengarnya berdalang dalam bahasa Jawa yang tidak mereka mengerti, namun tak tahu kenapa, sangat menghibur.

Belakangan Kakrasana memang lebih sering mendapat tamu anak kecil ketimbang orang dewasa. Aku mendengar tawa, teriakan riang sekumpulan anak–anak dan suaranya yang terkadang seperti dibuat menggelegar untuk memainkan tokoh wayangnya, ataupun suara yang dibuat seperti wanita untuk memainkan tokoh dewi- dewi cantik khas dunia wayang. Aku tidak tahu mengapa ia begitu lepas  tiap kali berkumpul dengan anak kecil, juga orang tua macam bapakku. Kenapa ia tampak dingin  tiap pergi denganku?

****

“Pak, pernah dengar tentang Narayana?”
Aku mendatangi Bapak yang saat itu sedang membaca koran pagi di hari Sabtu. Ia menoleh padaku, dengan kacamata menurun menuju hidungnya yang tidak mancung.
“Kenapa tiba–tiba kamu tanya itu, Nduk?”
“Aku penasaran, Pak. Mungkin saja Narayana ada hubungannya dengan dunia wayang,” aku duduk di samping Bapak kemudian. Bapak tersenyum mendengar ucapanku. Ia menggeleng–gelengkan kepala dan tidak berhenti tersenyum.
“Loh? Aku tanya, kok, Bapak malah tersenyum?”
“Loh, iya, toh… tentu saja bapakmu ini tersenyum. Jarang–jarang kamu tanya sesuatu yang berhubungan dengan wayang.”
Kembali Bapak membuka halaman koran yang ia baca. Setelah semua halaman   habis dilahap, ia menaruh koran tersebut di atas meja di hadapannya.
“Narayana itu orang yang paling berpengaruh dalam dunia pewayangan, Nduk. Ia seperti seorang penasihat andal. Raja dari penjuru wayang mana yang tidak mengenalnya. Bahkan, lima Pandawa pun mendapatkan banyak bimbingan dari dirinya,” ucap Bapak dengan bangga. Sepertinya ia senang sekali mendapat pertanyaan seperti ini.
“Apa mungkin ada orang yang menamai anaknya Narayana?”
Aku tahu pertanyaan keduaku seperti pertanyaan bodoh bagi Bapak, karena setelah itu Bapak tertawa lucu mendengarnya. Aku cuma bisa diam, dan memasang muka kecut di hadapan Bapak. Bapak pun segera berhenti tertawa begitu tahu mukaku sudah berubah masam.
“Loh, kenapa tidak? Buktinya ada, kok, orang tua yang menamai anaknya dengan nama Kunti sepertimu.” Lagi-lagi Bapak seperti melucu di hadapanku, “dan nama Kakrasana,”  Bapak melanjutkan.
“Kalau tiba–tiba mereka punya anak kembar, apa ada kemungkinan lain selain Sadewa dan Nakula, Pak?” aku kembali bertanya
“Semua kemungkinan selalu ada, Nduk. Hanya saja, si kembar Sadewa dan Nakula ini memang kembar Pandawa yang paling dikenal masyarakat. Kepintarannya, dan kesaktiannya melihat masa depan, dan kerukunannya pada kakak–kakak Pandawa lainnya yang berlainan ibu, itulah yang menjadi alasan mereka menamai anak kembar mereka dengan kembar Pandawa tersebut. Sadewa dan Nakula itu merupakan titisan Batara Aswin sang penyembuh dan ahli pengobatan,” Bapak menjelaskan secara panjang lebar.

Aku  makin penasaran pada nama yang tertulis dalam buku yang diberikan si dalang itu, pada cerita Tari tentangnya. Apa mungkin mereka benar–benar kembar?
“Ada juga yang cukup terkenal selain mereka,” tiba–tiba Bapak kembali berbicara.
“Siapa, Pak?” aku menanggapi dengan cepat.
“Citraksi dan Citraksa. Tapi, tidak mungkin ada orang tua yang menamai mereka dengan nama itu, kecuali jika mereka tidak tahu siapa tokoh tersebut.”
“Nggak mungkin, dong, Pak. Mereka kan para Kurawa,” aku segera menyambar. Bapak kembali menoleh ke arahku, kali ini dengan takjub memandangku.
“Kok, kamu tahu?” tanya Bapak tiba–tiba.
“Iya, dong!” jawabku bangga. Beberapa minggu lalu Kakrasana memang menceritakan tentang kembar Kurawa yang bernama Citraksi dan Citraksa. Menurutnya, di antara Kurawa lainnya, si kembar inilah yang cukup punya sedikit sopan santun di antara seratus Kurawa lainnya. Namun, Kurawa tetaplah Kurawa, sulit sekali mengajarkan suatu kebaikan kepada mereka.
“Kenapa tiba–tiba Bapak jadi ingat Kakrasana ya, Nduk?”
Pertanyaan itu pun akhirnya muncul dari kepala Bapak, pertanyaan yang kutunggu–tunggu sejak tadi.
“Ada kembar lainnya di dunia wayang yang cukup dikenal, namun tak cukup diketahui banyak orang. Beberapa dalang mengatakan mereka kakak-beradik, beberapa lainnya mengatakan mereka berbeda ibu. Tapi, banyak dalang yang mengatakan bahwa mereka terlahir kembar. Hanya warna kulit saja yang membedakan mereka. Ada yang mengatakan, yang satunya merupakan titisan Batara Wisnu, yang satunya lagi merupakan titisan Batara Basuki. Kemudian kedua kembar ini menjadi kembar yang tiada duanya. Sang kakak sangat melindungi sang adik, begitu pula sang adik. Ketika sang adik tiada, sang kakak lantas meninggalkan istananya dan keluarganya untuk bertapa, sampai akhirnya sang kakak menemui ajalnya dengan mati moksa,” jelas Bapak lagi.
Kali ini ia berbicara dengan hati–hati,  takut terjadi kekeliruan dari pernyataan Bapak tersebut.
“Maksud Bapak siapa?” tanyaku bingung. Penjelasan Bapak begitu panjang, dan aku kebingungan.
“Ya Kakrasana itu, dan Narayana yang tadi kamu tanyakan ke Bapak,” kata Bapak menegaskan. “Saat mereka besar, mereka dikenal dengan nama Prabu Baladewa dan Prabu Sri Kresna. Sang kakak menjadi Raja Mandura, sementara sang adik menjadi Raja Dwarawati.”

***

“Akhirnya aku bisa ketemu denganmu lagi, Wi.”
Yudistira mengecup pipiku saat kami bertemu di salah satu mal di daerah selatan Jakarta. Yudistira datang terlambat malam itu. Harusnya kami punya jadwal menonton seperti malam–malam lainnya di Jumat sore. Ada lembur yang harus dikerjakan olehnya setelah jam pulang kantor, maka aku menonton sendirian tanpa ditemaninya.
“Jangan marah, dong, Wi…. Bos menyuruhku lembur, aku nggak enak menolak melulu. Sudah dua hari ini staf yang lainnya lembur. Kalau aku nggak lembur, aku tidak dapat tambahan untuk kita nikah nanti,” Yudis lantas merangkulku lembut. Ia tahu aku lemah kalau sudah dirayu, maka aku memaafkannya di malam itu.
“Bagaimana dengan kelas wayangmu itu. Hari ini kamu mau aku belajar apa?” rayu Yudis dengan nada suara yang sangat lembut. Aku tersenyum melihat Yudisku kembali menjadi Yudis pacarku yang dulu. Belakangan kami memang jarang bertemu, meskipun kami lebih banyak berkomunikasi lewat sambungan telepon. Yudis meneleponku dua kali lebih banyak setelah kami kembali berhubungan. Ia jadi lebih perhatian dan lebih memahami diriku.
“Kita belajar tentang perang Bharathayudha saja, bagaimana?”
“Boleh. Kamu cerita, deh, sambil kita makan. Aku lapar banget, nih.”
Kami pergi menuju satu restoran yang menawarkan masakan khas Indonesia. Aku memandangi Yudis yang begitu lahap menyantap makanannya. Ia seperti kelelahan dan kelaparan. Baru kali itu aku sadar aku harus mengajarinya banyak hal. Maka, aku mulai berbicara tentang terjadinya perang Bharathayudha, apa yang menyebabkan para saudara sedarah tersebut saling menumpas di padang luas Kurusetra demi sebuah kerajaan warisan sang moyang. Mulut Yudis tak berhenti mengunyah, sementara mulutku sibuk mengoceh tentang sejarah wayang purwa yang kuketahui dari Kakrasana.
Setelah Yudis selesai menghabiskan makanannya, ia pun mulai kembali sibuk dengan ponselnya. Aku masih mengeluarkan semua daya ingat yang ada untuk melanjutkan berkisah. Ketika nama Patih Karna kusebut, dan kuberi tahu bahwa Gatotkaca mati di tangannya dengan senjata konta, aku mulai sadar Yudis sepertinya tidak mendengarku berceramah.

Aku sengaja berhenti berbicara. Aku memandanginya, ia tidak juga berkomentar. Aku kemudian diam dan berhenti berceramah. Kuambil cangkir berisi lemon tea tersebut dan kuhabiskan sesegera mungkin. Aku tidak tahu berapa banyak kata yang kukeluarkan, namun aku merasa begitu haus karena tak didengar.
“Yuk, kita pulang, sudah malam, nih.”
Baru di saat itulah ia menatapku, setelah sekian lama pandangannya teralihkan pada layar telepon genggamnya. Tidak mau bertengkar, maka aku tidak banyak bicara. Kami segera pulang. Aku berjalan menuju parkiran mobil, tanganku digandengnya.
“Sepertinya ada yang mau kamu bicarakan, Wi?” Yudis lalu bertanya padaku.
Aku hanya menggeleng, sehingga Yudis kembali terdiam. Tak ada permintaan maaf karena tidak mendengarkan ceritaku, tak ada obrolan ringan yang biasa kami lakukan  tiap pulang bersama setelahnya. Ia tampak begitu apatis malam ini.

***

Mungkin Yudis sedang capek, benar–benar capek, oleh karena itu ia tidak memperhatikan penjelasanku. Aku tahu pekerjaan Yudis yang sangat berat tersebut pasti membuatnya tidak bisa memikirkan hal lainnya kecuali pekerjaan dan pekerjaan. Memang berbeda dengan si dalang bodoh itu. Belakangan ini ngobrol dan jalan–jalan dengannya, Kakrasana memang tidak bisa disamakan dengan Yudis. Aku saja tidak tahu dia bekerja di mana, yang aku tahu dia lebih banyak punya waktu untukku ketimbang Yudis.

Satu hal yang sebenarnya paling aku suka dari dalang tersebut, dia tidak pernah menduakanku dengan ponselnya  tiap kali kami pergi bersama untuk mengajarkanku tentang wayang–wayangnya. Ia juga tidak banyak bicara. Jika pelajaran yang diajarkannya telah selesai di hari itu, dan aku bisa tiba–tiba memuntahkan semua keluh kesahku tentang kantor, bapak, atau Yudis, dia cuma memandangku sebentar, kemudian menatap ke lain objek, seolah–olah tak peduli.

Aku tahu sebenarnya ia memperhatikanku. Sayangnya, aku harus lebih bersabar untuk menghadapi Yudis. Aku tahu dia bekerja sedemikian giatnya untuk masa depan kami, maka aku tidak boleh mengeluhkannya. Oleh karenanya, aku sengaja membuat ringkasan cerita wayang yang kutahu dalam bentuk MS word, dan memberikan lampiran tulisan yang kusimpan untuk kukirim ke e-mail-nya. Semoga ia segera membacanya, jadi ia tidak perlu lagi mendengarkan penjelasan tak keruanku dengan suara tak merdu ini.

Aku juga telah mengopi beberapa penjelasan dari buku Kakrasana untuk kuberikan padanya. Tidak semua, sih, hanya beberapa penjelasan dari Pandawa dan Kurawa. Menurutku, untuk saat ini Yudis hanya perlu tahu mengenai mereka. Aku sudah menggarisbawahi beberapa poin penting yang mungkin Bapak tanyakan, jika Yudis diizinkan datang ke rumah. Pemberian nama yang berbeda dan silsilah keturunan mereka sudah aku stabilo dengan berbagai warna yang akan segera membuat matanya fokus pada tulisan tersebut. Aku tahu Yudis pasti suka. Ia akan meluangkan waktunya untuk membaca catatan tersebut saat istirahat siang, atau ketika ia sedang suntuk menatap komputer yang penuh dengan e-mail yang harus segera di-follow up. Ya, cara ini pasti berhasil.

***

“Hei, Kunti! Aku mau pergi dengan bapakmu malam ini. Diizinkan, ‘kan? Atau kamu mau ikut?”
Kakrasana tiba–tiba muncul dari belakang dan mengejutkanku di pagi itu. Pakaiannya tampak kusut, seperti belum mandi sejak semalam.
“Kamu nggak mandi, ya?” Aku menatapnya kecut, memperhatikannya dari atas sampai bawah. Rambutnya tampak awut–awutan, begitu pula dengan brewoknya, juga kausnya yang sudah tidak jelas lagi berwarna putih atau kekuningan.
“Boleh nggak?” seperti tidak peduli atau tidak mau tahu, Kakrasana tidak menggubris masalah itu. Yang ada di kepalanya cuma menunggu persetujuanku, tak lebih. Maka, aku segera mengiyakan, namun dengan satu syarat, dia harus menyetir malam ini. Aku paling tidak tahan tidak tidur di malam hari.
   
Kami menyaksikan sebuah pergelaran wayang malam itu. Aku dan Bapak mendapatkan kursi paling depan untuk menonton pergelaran tersebut. Kakrasana yang menyuruh kami duduk di depan. Rupanya ini pertama kalinya  ia membawakan lakon yang akan menguji kemampuannya.

Malam ini ia dipercaya untuk memainkan lakon pakem, yaitu cerita yang diambil dari perpustakaan wayang purwa. Aku baru sadar, mungkin itulah kenapa tadi pagi kulihat ia tampak awut–awutan seperti belum mandi. Rupanya, semalam suntuk ia menghafalkan kembali lakon tersebut, takut salah bicara atau salah tancap. Bukannya ia tidak paham dan ragu–ragu dalam lakon tersebut, tapi dari cerita Bapak, aku baru tahu bahwa tidak semua dalang dipercaya untuk membawakan lakon pakem, apalagi dipercaya untuk mendalang semalam suntuk. Hanya orang–orang yang dianggap pas dan terpilih yang kemudian diberikan kesempatan untuk menjadi dalang utama. Kakrasana mendapatkan kesempatan itu.

Malam ini namanya berubah menjadi dalang Ki Satria Alugara Kakrasana.

****

Ia duduk membelakangi kami, lengkap dengan busana dalangnya. Kakrasana berjalan menuju singgasananya dengan tenang dan gagah. Entahlah, sepertinya ia mengingatkanku pada salah satu kesatria kesayangan Bapak, sang Werkudara. Hanya saja, tubuhnya tidak begitu besar, dan tingginya tidak dua kali tinggi manusia pada umumnya seperti kesatria wayang tersebut.

Sebelum duduk bersila, kulihat bibirnya berkomat–kamit, seperti mengucapkan mantra. Ia mengapitkan cempala suku  di sela–sela jari kakinya ketika duduk, sementara tangannya mengambil cempala asta untuk memulai dhodhogan.  Tokoh – tokoh wayang tersebut telah tersusun rapi  pada debog .  Malam  makin khusyuk dan blencong  pun telah dinyalakan. Sinarnya seperti purnama yang menyinari kelir  di hadapannya. Pergelaran tersebut pun akhirnya dimulai. Lakon kali ini menceritakan tentang Kresna Gugah.   (Bersambung)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?