Fiction
Rumah Kedua [1]

20 May 2015


Aku sendirian. Tapi, tidak pernah lebih sendirian dari saat itu. Hari itu tidak ada awan. Aku langsung tahu sebentar lagi akan ada badai. Rumahku ada di atas bukit yang tidak bisa dilewati mobil karena jalanannya yang hanya setapak, hampir tertutup semak-semak. Di depan rumahku, berdiri pohon cokelat yang dulu berbuah cokelat ranum, namun sekarang sudah tidak lebat lagi. Menjelang badai seperti itu, aku selalu mengurung diri di kamarku, memandangi pohon cokelat peninggalan ibuku.

Saat berada di dalam kamar, aku tidak pernah puas melihat pohon cokelat itu. Pandanganku terhalang garis-garis hitam karena jendelaku dipasangi terali. Tapi, aku sudah cukup puas melihat pohon cokelat  dari ruang depan. Dulu, aku selalu bermain di bawah pohon cokelat itu. Aku ingat pernah berkencan bersama Kusno di sana saat Ibu sedang memanen getah karet di kebun milik Pak Setyaji. Saat Ibu kembali, Kusno sedang tidur di pangkuanku dan agaknya hal inilah yang membuatnya marah besar.

Ibu mengusir Kusno dan mengurungku di kamar. Tapi, kami masih muda dan bersemangat saat itu. Malamnya, ada seseorang mengetuk jendela kamarku. Kusno datang menemuiku. Kami mengobrol sebentar, lalu Kusno mengajakku pergi. Aku tahu Ibu ada di ruang depan, mendengarkan siaran radio yang memutar sandiwara wayang. Kami masih muda dan aku juga masih bersemangat. Tanpa pikir panjang lagi, aku melompati jendela, menyambut ajakan Kusno.

Tapi, sialnya kami, besi pengganjal jendela kamarku terjatuh sesaat setelah aku berhasil melompat keluar. Suaranya bergerentang. Sandiwara radio yang sedang diputar tidak dapat menutupi suara itu. Ibu marah besar melihatku tidak ada di kamar yang jendelanya terbuka. Kemudian, Ibu mengejar kami yang saat itu masih belum jauh. Keesokan harinya, terali sudah dipasangkan di jendela kamarku.

Sore itu, badai akan datang, aku tahu. Jika sudah begitu, mungkin akan hujan sampai besok pagi. Aku duduk di tempat tidurku, menatap ke luar jendela. Ada pohon cokelat di sana, pohon cokelat yang sama tempat aku hampir mencoba menggantung leherku di salah satu batangnya.

Aku ingat, ketika itu aku stres setengah mati karena minggu depan akan dinikahkan dengan Banyu, anak Pak Kamal, si juragan kerang. Banyu tidak jelek memang, tapi mulutnya bau alkohol. Dia juga jarang gosok gigi karena  tiap mengobrol dengannya selalu tercium bau tak sedap lainnya yang bukan bau alkohol. Aku paling tidak suka orang yang tidak pernah gosok gigi karena aku sendiri gosok gigi sampai empat kali dalam sehari. Pertama, saat baru bangun tidur, sebelum salat Subuh. Kedua, saat mandi. Ketiga, saat pulang sekolah, biasanya aku melanjutkannya dengan mencuci muka. Keempat, sebelum tidur.

Sebenarnya, selain bau mulutnya itu, Banyu cukup menarik sebagai laki-laki. Dia tinggi, lulusan universitas negeri ternama di Jakarta, dan saat itu sudah menjadi manajer keuangan di pabrik kertas dekat Magelang. Jika dinilai, dia sudah mendapatkan nilai 80 dari hasil penjumlahan tinggi badan ditambah jenjang pendidikan ditambah jabatan. Belum lagi ditambah posisi ayahnya sebagai juragan kerang.

Ya, Ibu jelas-jelas melihat peluang ini sebagai tambang emas. Tapi, sekali lagi, aku tidak suka orang yang jarang gosok gigi. Lucu sekali alasanku saat itu. Aku bersikeras menolaknya dengan alasan dia bau mulut. Alasan yang sebenarnya hanya kamuflase. Aku mencintai Kusno, sejak dulu juga begitu. Tapi, Kusno tidak seberuntung Banyu. Kusno hanya kuliah di jurusan sastra di universitas negeri di Malang. Tiap hari kerjanya hanya merenung di pinggir pantai, menatap buih-buih ombak yang, walaupun sempat menepi, selalu diredam pasir yang basah.

Sampai aku meninggalkan rumahku untuk merantau pun, aku tetap tidak mendapatkan keduanya. Tidak Kusno, apalagi Banyu. Kurasa, di dunia ini, hanya waktu satu-satunya hal berharga yang kumiliki. Selain itu, semuanya palsu.

Sore itu, aku menunggu Ibu pulang. Rasanya, saat itu seperti pukul 6 sore, padahal baru pukul 3. Rasanya, saat itu Ibu pulang lebih lambat dari biasanya, padahal sebenarnya aku juga tidak tahu biasanya Ibu pulang pukul berapa. Itu pertama kalinya aku kembali ke rumah setelah merantau di Depok selama dua tahun. Karena aku sudah mendapat beasiswa dari pemerintah, aku bisa mengumpulkan uang untuk pulang. Ditambah lagi, kampusku cukup baik hati memberikan libur Lebaran sampai 3 bulan, sebenarnya itu karena Lebaran tahun ini bertepatan dengan libur semester genap.

Sejak aku lulus SMA, Ibu tidak lagi bekerja di kebun karet milik Pak Setyaji. Katanya, penghasilannya kecil dan Pak Setyaji sekarang  makin pelit karena habis ditipu pelanggan barunya dari Karawang. Akhirnya, Ibu turun gunung --sebenarnya turun bukit-- dan bergerak menuju pelabuhan. Di sana, ia bekerja untuk Koh Pahong, membantu memaketkan ikan asin dan ikan segar yang akan dijual di pasar.

Ibu cukup menyenangi pekerjaannya sekarang. Penghasilannya juga lumayan. Paling tidak,  tiap bulan aku masih bisa membayar asrama dan makan di warteg sehari tiga kali. Menunya, ya,  tentu saja nasi, tempe, telur, dan sayur. Sesekali aku bisa mengganti tempe dan telur dengan ikan atau ayam. Tapi, Ibu jadi terlalu sibuk. Tiap kutelepon, Ibu selalu bilang, “Jangan lama-lama, nanti kalau Koh Pahong lihat, Ibu bisa dimarahi. Dikiranya Ibu kerjanya hanya menelepon.”

Beruntungnya aku, aku mendapat beasiswa di semester kedua. Setelah mengumpulkan uang, akhirnya aku bisa pulang menemui Ibu. Saat itu sudah pukul setengah 4 lewat sedikit. Ibu masih belum tiba. Aku mulai mendengar genting rumahku berbunyi ditimpa air yang jatuh. Hujan turun dan aku bahkan tidak tahu apakah Ibu membawa payung atau tidak. Aku khawatir.

Sampai pukul setengah delapan malam --saat itu masih hujan, namun tidak sederas sore tadi-- Ibu masih belum pulang. Aku menelepon berkali-kali, namun operatorlah yang menjawab. Pikirku saat itu, mungkin ia lembur. Baru setengah jam kemudian, seseorang mengetuk pintu. Koh Pahong datang memakai jas hujan warna hijau tua yang di luar terlihat seperti warna hitam.  Motornya diparkir di belakangnya.

Ibu tidak pulang dan tidak akan pulang. Katanya, agaknya Ibu terpeleset di dermaga dan tenggelam karena tidak bisa berenang. Tidak ada yang melihat Ibu tenggelam karena saat itu hujan deras dan angin kencang membuat aktivitas berhenti sesaat di pelabuhan. Tidak ada yang tahu Ibu keluar saat itu. Koh Pahong bilang, awalnya dia pikir Ibu hilang. Tapi, tubuhnya ditemukan mengambang dekat dermaga selepas magrib tadi.

Aku tidak mengatakan apa-apa setelah itu. Aku juga tidak mendengar ucapan Koh Pahong setelahnya. Aku hanya terlalu takut untuk menerima bahwa aku telah sendiri. Dan aku memang menangis seorang diri.

***

Tahun ini, aku kembali pulang lagi. Pohon cokelat itu masih ada, begitu juga rumah kami. Kini sudah ada aspal di depan rumah kami. Tidak ada lagi semak. Jalanannya yang dulu hanya setapak kini sudah bisa dilewati motor. Untunglah mobil belum bisa masuk karena tanjakannya yang cukup terjal dan lebar jalanannya yang cukup sempit.

Banyak hal berubah. Tapi, rumahku tidak. Pak Tri yang merawat rumahku selama aku tidak ada. Aku ingat, dulu aku pernah berjanji, jika sudah lulus dan mendapat pekerjaan, aku akan membelikan rumah di dekat pelabuhan supaya Ibu tidak perlu berangkat dini hari untuk bekerja.

Aku duduk di kamarku, menatap pohon cokelat yang masih setia berdiri di depan rumah kami. Ternyata bukan hanya waktu, pohon cokelat itu juga kumiliki dan masih akan kumiliki sampai ia lelah berdiri. Tapi, ia juga sudah tua. Aku tidak bisa mengharap banyak darinya.
Aku mendengar pintu diketuk. Dengan sedikit enggan, aku beranjak menuju arah suara itu. Aku terkejut begitu melihat laki-laki yang menyambutku di depan pintu. Kusno. Ia memakai kemeja cokelat yang hampir sewarna dengan warna kulitnya.

“Kudengar kau datang.”
“Aku tidak tahu kau pulang, Kus.” Aku masih merasa agak canggung karena sudah hampir sepuluh tahun kami tidak bertemu.
“Aku baru sampai.”
“Kau ke mana saja? Sepuluh tahun kau pergi meninggalkan kampung. Kau tentu sudah lupa bau rumput dan getah karet.”
“Aku belajar. Sekarang aku sudah S-3.”
Aku sungguh tidak tahu harus menanggapi pernyataannya itu dengan ekspresi apa.
“Mana ibumu? Aku sudah S-3 dan jadi dosen di kampusku dulu. Sekarang aku sudah berani melamarmu.” Ia tersenyum.
Aku bergeming. Tapi, bisa kurasakan hangat mengaliri pipiku. Suaraku tercekat. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali isak. Aku bisa mendengar Kusno terus-terusan menanyai mengapa aku menangis. Tapi, isakku belum habis.

Kusno menungguku. Akhirnya kukatakan bahwa Ibu meninggal enam tahun lalu. Aku kembali tiap tahun hanya untuk mengunjungi makamnya di bawah pohon cokelat pemberiannya itu. Aku tidak tahu bahwa Kusno pergi untuk memperjuangkanku. Aku tidak tahu bahwa ia sungguh-sungguh dengan perkataannya waktu itu, bahwa ia akan menjadi orang terpandang dan ketika saat itu tiba, ia akan meyakinkan Ibu untuk menerimanya sebagai milikku.
Kusno benar. Ia selalu benar. Tapi, kini ia kehilangan seseorang tempat kebenaran yang selama ini dicarinya itu akan bermuara. Aku sendirian. Tapi, bukan hanya aku. Kusno pun merasa kesepian karena kehilangan muaranya. Tapi, di pohon cokelat tempat segala hal bermula, selalu terekam awal yang baru.(f)


*********
Irna Gayatri



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?