Fiction
Roti Buaya [9]

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Ibu sengaja memanggilku karena Dita rewel dan perlu ada orang yang menjaganya. Adikku memang agak pemalu, dia tak mau ditemani orang yang tak begitu dikenalnya. Percakapan kami terhenti. Beberapa wartawan menghampiri Ibu. Lampu kamera televisi membuatku silau. Dalam sekejap, mereka mengerubungi Ibu dengan beragam pertanyaan yang beruntun. Pandanganku terhalang seorang wartawan laki-laki bertubuh menjulang. Kulindungi Dita dari desakan mereka yang ingin menyodorkan mikrofon atau tape recorder sedekat-dekatnya ke wajah Ibu.

Cepat-cepat Pak Surip merengkuh pundakku dan segera membawa kami keluar dari kerumunan itu. Susah payah Dita mengikuti langkahnya yang lebar. Seorang reporter, wanita, yang ikut berkerumun, berpaling ke arah kami. Dia tak melepas pandang sedikit pun dariku. Matanya yang bulat tampak berbinar. Segaris senyum menghiasi wajah yang cerlang.

Sekali lagi Pak Surip membuyarkan kesenanganku, ia menarik tanganku. Dita pun digendongnya agar kami lebih cepat berlalu dari situ. Di kantin, Pak Surip memesan dua mangkuk mi bakso. Dia sendiri hanya memesan segelas kopi.

Seorang polisi datang dan duduk di sebelah Pak Surip. Rupanya, sekarang waktu istirahat, polisi itu memesan soto ayam. Entah bagaimana, mereka terlibat percakapan tentang kecelakaan tadi pagi. Pukul 05.10 terjadi kecelakaan hebat di pintu lintasan kereta api tempat Abah bertugas. Kusimak perbincangan mereka. Sebuah mobil tiba-tiba menerobos palang kereta. Pada saat bersamaan, datang kereta api Sanjaya dari arah timur. Tabrakan tak dapat dihindarkan lagi. Mobil sedan yang dikendarai anak muda bernama Indra Riswanto itu rusak berat. Tiga orang luka berat, pengemudinya tewas saat itu juga. Indra anak pejabat terkenal, Haidar Riswanto, karena itu beritanya diliput wartawan dari berbagai media. Abah dimintai keterangan oleh polisi. Dia menjadi tersangka utama kasus kecelakaan itu. Dia terancam ditahan dan diadili akibat keteledorannya.

Kehidupan keluarga kami berubaH seratus delapan puluh derajat. Di bawah lampu kamera dan liputan media cetak, gerak-gerik kami senantiasa diawasi. Aku sempat berpapasan dengan reporter cantik itu di gerbang kantor polisi. Dia melambai padaku, kujawab dengan senyuman sekilas, lalu bergegas. Setelah bertemu Ibu, aku menuju kantin, membelikan Dita makanan ringan kesukaannya. Rupanya, reporter cantik itu mengikuti aku, lalu menyapaku ramah.

“Hai, saya Marissa. Siapa namamu, Dik?”

Aku tercekat. Kantong kresek kecil berisi camilan, nyaris lepas dari genggamanku. Tangannya terulur. Mau tak mau aku membalas jabatan tangannya. Kusebut namaku dengan suara bergetar.   

“Boleh kita ngobrol sebentar?”

“Tapi, saya harus minta izin Ibu dulu…,” ujarku, setengah gugup.

Dia mengangguk dan membiarkan aku mendekati Ibu dan Dita. Aku bercakap-cakap dengan ibuku sebentar, lalu kembali menemui reporter itu.

Tiba-tiba HP Marissa berdering. Dia memberi isyarat agar aku menunggu.

“Ya, Mbak, kita harus bikin berita yang berimbang. Ini sudah mulai trial by the press! Media mengadili dia. Posisi penjaga pintu kereta itu kurang menguntungkan, terlepas dari bersalah atau tidak….” Marissa diam beberapa saat, menyimak lawan bicaranya. Lalu bicara lagi.

“Saya setuju. Hmm…. kita perlu bikin feature yang menyentuh tentang kehidupan para penjaga pintu kereta. Betul kita bagi tugas saja. Saya sekarang bersama anaknya Pak Asep.  Ya…ya…  segera!”

Matanya beralih padaku, lalu dia melambai pada temannya yang membawa kamera. Ia memegang mikrofon dan menghadapkan wajahnya pada kamera.    

 “Pemirsa FajarTV, Anda masih bersama Marissa Hermawan. Kali ini kita berbincang-bincang sejenak dengan Radityo, putra sulung Asep Suhandi, penjaga pintu lintasan kereta api. Kasus Asep Suhandi mencuat karena berkaitan dengan tewasnya Indra Riswanto dalam sebuah tabrakan kereta api. Mari kita jumpai Radityo yang biasa dipanggil Dito.” Reporter cantik itu menghampiriku.

“Radityo, nama yang bagus. Siapa yang memberi nama sebagus itu, Dik?”

“Eyang kakung dari Purwokerto.”

Aku tampak sedikit tegang. Mikrofon yang diacungkan ke arah wajahku lebih mirip sebuah granat yang sudah ditarik pemicu ledaknya. Keringat membasahi kerah bajuku. Reporter itu bertanya lagi, beberapa pertanyaan kujawab apa adanya. Dia acap kali tertawa mendengar jawabanku yang lugu dan spontan.    

“Cita-cita Dito mau jadi apa?”

“Di… disunat…!” ujarku, gugup. Tapi, itulah jawabanku yang paling jujur.

Marissa tersenyum, bulu matanya yang lentik berkedip.  

“Roti buayanya nggak perlu banyak-banyak. Dua yang besar sudah cukup atau empat yang  paling kecil,” kataku, mengalir begitu saja.

Di akhir wawancara, aku berkata, Abah pernah melarangku mengikuti jejaknya.

“Abah tidak setuju kalau Dito bercita-cita jadi penjaga pintu kereta. Dia ingin Dito sekolah setinggi mungkin supaya dapat pekerjaan yang lebih baik….”

Marissa tersenyum puas. Beban yang memberati kepalaku serasa lepas. Dia membaur-baurkan rambutku yang sudah dua hari tak sempat dicuci. Aku khawatir, bau rambutku akan menempel di telapak tangannya yang halus.

“Bagus, Dito, bagus! Jawabanmu cerdas dan sangat alami. Semoga banyak orang bersimpati pada keluargamu, pada profesi ayahmu!”

Kami baru saja tiba di rumah, ketika hasil wawancara tadi ditayangkan dalam berita sore. Aku menyaksikannya dengan hati kebat-kebit, takut ada kata-kata yang salah ucap. Sedangkan Ibu, berusaha lebih santai, menyimak perbincanganku dengan Marissa. Sebersit harap muncul dalam benakku, mudah-mudahan Abah menonton berita yang sama. Tapi, mungkinkah itu? Abah sedang diawasi dengan ketat, segala keterangan yang diucapkannya punya dua peluang: menjadi terdakwa atau orang yang bebas.

Bila kemudian banyak orang bersimpati kepada keluarga kami, seperti kata Marissa, apakah itu berarti akan membebaskan Abah? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban, karena perhatianku segera beralih ke televisi. Tayangan berikutnya muncul, Marissa tampil di depan palang pintu kereta api.

“Pemirsa, terima kasih, Anda tetap bersama kami. Saya, Marissa Hermawan, mengajak Anda mengintip kesibukan penjaga pintu perlintasan kereta api di Jalan Cikudapateuh.”


Penulis: Katherina
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2009


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?