Fiction
Roti Buaya [6]

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Dua roti buaya ukuran paling besar baru saja diletakkan. Aku memandang takjub, yang sebelah kiri giginya tampak runcing dan kuat. Seandainya dia hidup, tentu sangat menakutkan! Dia akan menjadi buaya yang kuat dan paling jagoan.

Pandanganku beralih pada roti buaya yang satunya lagi. Wah… yang ini model baru! Duri-duri di punggungnya terbuat dari cokelat pekat yang padat. Rasanya pasti manis dan enak. Aku tak sabar menunggu, masih ada tempat yang kosong untuk dua atau tiga roti buaya lagi. Siapa tahu bentuknya lebih bagus!
Aku menaiki undakan, telapak tanganku menempel pada kaca yang lama-kelamaan berembun karena embusan udara dari hidungku. Aku ingin melihat roti buaya yang baru datang lebih jelas. Belum juga keinginanku terkabul, sebuah suara yang cukup keras memaksaku menoleh ke belakang.

“Hei, jangan dekat-dekat! Nanti kacanya kotor! bentak pelayan toko.

Aku cepat-cepat menarik tanganku. Orang itu kelihatan berang. Sehelai kain lap dan semprotan cairan pembersih kaca, ia acungkan ke arah diriku.

“Pergi sana, anak nakal! usirnya.

Aku segera beranjak dari situ, tapi tak terlalu jauh. Bersembunyi di balik mobil warna silver. Orang itu mengomel sambil membersihkan kaca bekas tangan dan  embusan napasku barusan. Tak lama kemudian, setelah orang itu pergi, aku kembali ke tempatku semula. Hmm… kaca etalase jadi lebih bersih sekarang dan roti-roti itu kelihatan lebih jelas. Bau cairan pembersih kaca terasa segar, wangi stroberi. Roti buaya rasa stroberi, mengapa tidak? Daripada isinya polos, lebih baik ada isinya, bukan?

Ah… sedapnya!

Keesokan harinya aku berada di tempat yang sama. Sama sekali tidak kapok atas kejadian kemarin dan tidak takut diusir lagi oleh pelayan toko yang galak dan judes itu. Aku melihat bayangan diriku di kaca. Seorang anak laki-laki berkaus biru langit dengan celana pendek merah. Rambutku yang lurus pendek itu tertutup topi hitam kebesaran milik Abah. Aku tersenyum pada diriku sendiri.

Hari ini, hari Jumat, berarti pulang sekolah lebih awal dari biasanya. Aku senang, karena berarti akan lebih banyak waktu untuk menyemir sepatu di pelataran masjid. Kotak berisi semir dan peralatan lainnya sudah kusiapkan sejak pagi tadi. Lengkap. Tas sekolah kutitipkan di tempat penitipan sepatu, sesudah itu baru aku mulai beraksi.

Tidak semua jemaah menitipkan sepatu di tempat penitipan. Banyak yang meletakkan sepatunya begitu saja di depan teras masjid. Apalagi hari Jumat, jemaah yang datang lebih banyak dari hari biasa karena mereka mengikuti salat Jumat. Biasanya, banyak jemaah yang enggan antre di tempat penitipan sepatu, jadi mereka menyimpan sepatunya di depan teras. Pucuk dicinta ulam tiba! Inilah saat yang tepat bagiku menyemir sepatu-sepatu itu. Tidak semua orang yang disemir sepatunya memberi uang lelah. Tetapi, orang yang dermawan biasanya akan celingukan mencari orang yang sudah membuat sepatunya mengilap, lalu memberi uang sekadarnya.

Ketika salat Jumat dimulai, aku segera menghentikan pekerjaanku dan bergabung dengan para jemaah. Usai salat, aku pun duduk di teras, menunggu para pemilik sepatu.  Ada lima penyemir sepatu yang biasa mangkal di masjid itu, dua pria dewasa dan tiga orang anak seumurku.

Tiap Jumat, tiga pemuda cilik ini bergiliran menangguk rezeki di tiga lokasi, yaitu teras samping kiri dan kanan serta teras pintu utama masjid. Lokasi favorit tentu saja yang di bagian depan. Siapa yang datang paling awal, dialah yang mendapatkan lokasi ini. Di sini sepatunya lebih banyak, otomatis peluang mendapatkan konsumen pun lebih besar. Sedangkan lokasi yang di dekat toilet dikuasai petugas cleaning service. Menyemir sepatu menjadi usaha sampingannya sambil menjaga toilet.


Aku berhasil mengumpulkan uang sebanyak dua puluh empat ribu lima ratus rupiah. Tak percuma rasanya, menangguk rezeki di pelataran masjid. Banyak sandal atau sepatu kulit yang bagus dan mahal digeletakkan begitu saja di depan teras masjid. Kalau dijual, tentu akan menghasilkan uang lebih besar dari upah menyemir sepatu.

Untunglah pikiran kotor itu tak pernah merasuki benakku. Kepercayaan dan kejujuran  itu mahal harganya dan kedua hal tersebut sama nilainya dengan harga diri dan kehormatan kita. Aku masih ingat, dengan bahasa sederhana, Ibu berusaha menjelaskan hal yang tak mudah kucerna itu menjadi larut dalam pemikiranku yang naif.

Kulipat rapi dan kusimpan baik-baik uang itu dalam saku kemeja putihku. Ada rasa takut uang itu hilang atau terjatuh. Jam istirahat nanti, sudah bulat niatku membeli boneka Barbie di emperan depan sekolah. Tentu saja, bukan boneka Barbie asli yang harganya puluhan kali lipat dari boneka Barbie made in Ciparay itu.

Tapi, pasti adikku akan bergirang hati kalau kubelikan boneka yang mirip dengan boneka kesayangannya. Aku berharap Dita belum tahu mana boneka yang asli atau palsu. Aku sempat khawatir, maklum anak-anak kecil zaman milenium ini sudah tahu barang bagus orang tuanya. Dito kecil pun terobsesi dengan roti itu. Bahkan dia rela bekerja menyemir sepatu untuk mengumpulkan uang agar bisa dipakai pesta khitanan dan membeli roti buaya.

Setiap orang mempunyai mimpi dan siapa pun akan berusaha agar mimpi itu terwujud. Kadang-kadang bukan tangan kita sendiri yang mewujudkannya, bisa saja tangan orang lain yang membantu kita meraih impian. Tentu saja kita tak perlu menunggu bantuan orang lain, biarkan waktu mengalir bersama kesungguhan yang sedang kita lakukan.

Bermimpi membawa boneka yang lebih bagus dari sebelumnya.

Sepulang sekolah, keinginanku ini terkabul. Kuminta ia memilihkan sebuah boneka Barbie yang paling cantik untuk adikku. Kusadari benar, aku bukanlah pemilih yang baik dalam soal boneka. Aku seorang calon pria sejati yang tidak piawai bermain boneka Barbie. Tapi, bila boneka itu berbentuk buaya, singa atau beruang besar yang bisa diajak berkelahi, mungkin sebuah pengecualian. Siapa yang tidak setuju?

Sambil berjalan pelan melintasi kebun kosong di samping sekolahku, hati-hati kusimpan boneka Barbie yang sudah terbungkus rapi itu ke dalam ransel. Dita pasti sangat gembira dan aku merasa  berhasil sebagai seorang kakak yang mampu membelikan boneka idaman si adik dari hasil jerih payahnya sendiri. Boneka Barbie yang lengkap kedua tangannya, ditambah bonus cermin plastik dan sebuah sisir boneka kecil warna pink.

Baru saja hendak kubuka ritsleting ranselku, sepasang tangan kekar menghentikan gerakan tanganku.  Aku menoleh. Satria! Tanpa kuduga tangan itu merenggut boneka Barbie adikku dari dalam ransel.


Penulis: Katherina
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2009


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?