Fiction
Roti Buaya [5]

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Ucapan Satria sore tadi masih melekat dalam benakku. Memang benar, di antara teman-temannya, hanya aku yang belum disunat. Amin, Dudi, Catur, Bagas, semuanya sudah. Kalau saja Ibu tidak selalu meminta isi celenganku, tentu aku sudah disunat. Mungkin uangnya hanya cukup untuk ongkos khitan di puskesmas dan membeli roti buaya yang paling kecil tiga buah. Selebihnya, aku sama sekali tidak terlalu berharap, karena uang Abah selalu tidak cukup. Jangankan mengadakan kenduri khitanan, membayar buku paket di sekolah saja sering terlambat.

Kadang-kadang aku membiarkan diriku berkhayal, seperti sekarang. Membayangkan diriku memakai kain sarung polekat, baju koko sewaan yang bersulam benang keemasan. Kopiahnya tentu saja warnanya senada dengan sarung dan baju yang dikenakan. Layaknya pangeran, aku akan dipersilakan memilih, naik sisingaan yang ditandu dua orang atau naik jampana yang berukir naga. Jampana adalah sejenis tandu --terbuat dari kayu jati berukir indah-- yang digunakan kaum bangsawan atau keluarga raja zaman dahulu.

Tentu saja aku memilih naik sisingaan, karena terlihat lebih keren dan gagah. Arak-arakan dimulai dari tepi jalan besar. Empat orang penari bersama kuda lumpingnya berada di depan, membuka jalan. Tiga pemuda cilik membawa nampan berisi roti buaya yang dibiarkan terbuka begitu saja. Roti buaya yang paling besar dengan gigi-gigi runcing dan ekornya yang melengkung kuat. Dengan begitu, aku tak perlu lagi berdiri di depan kaca etalase toko roti itu, sekadar mengagumi roti buaya dan hanya berkutat dengan keinginan yang tak juga terwujud.

Suara gamelan terdengar makin jelas. Sampai di lapangan voli, tak jauh dari rumahku, keempat penari itu melenggak-lenggok mengikuti irama gamelan. Alangkah meriahnya! Tamu pun akan berdatangan, memberi selamat kepadaku yang didampingi Abah dan Ibu yang berpakaian rapi dan tersenyum bangga. Aku duduk di kursi berukir, beralaskan beludru hitam. Rasanya ingin terus duduk nyaman seperti ini, menjadi raja kecil yang diperhatikan banyak orang. Tapi, bila kuingat rasa sakit yang kualami tadi pagi, sudah selayaknya kuakui bahwa dikhitan cukup sekali seumur hidup!

Tak jauh dariku, ada meja kecil yang diberi taplak batik prada. Di atasnya tersaji sepiring nasi kuning berbentuk kerucut. Satu bekakak ayam yang sudah kumakan sebagian, berada di sebelahnya. Inilah menu sarapan paling istimewa dalam hidupku. Satu ayam utuh yang biasanya dimakan beramai-ramai, boleh kusantap sendirian. Belum lagi sebutir telur dan nasi ketan putih sebesar kepalan tangan yang ditusuk gagang sate, sudah kuhabiskan, sebelum aku pergi ke puskesmas.

Bagian paling menyenangkan dari prosesi ini adalah saat para tamu menyelipkan amplop ke dalam sebuah tempat berbentuk silinder setinggi enam puluh sentimeter. Tempat itu terbuat dari anyaman bambu berselubung kain satin merah yang pinggirannya dihiasi bordiran bermotif bunga matahari. Tutupnya diberi lubang persegi di tengahnya, untuk memasukkan amplop. Makin banyak tamu yang datang, makin banyak pula amplop yang akan mengisi tempat itu. Inilah yang dinanti-nantikan semua anak laki-laki yang dikhitan. Uang panyecep, begitu istilahnya, dianggap sebagai pereda rasa sakit yang dialami para anak laki-laki saat dikhitan. Sedikitnya dapat mengalihkan perhatian mereka untuk melupakan kejadian yang sempat membuat mereka takut dan nyeri.

Biasanya, setiap kali tamu memasukkan amplop panyecep, para pangeran sehari itu akan menghitung dalam benaknya berapa kira-kira jumlah uang yang bakal diperoleh. Cukupkah untuk membeli sepeda baru, setumpuk komik, dan games yang seru? Ada pula yang berpikir membeli beberapa ekor kambing atau sapi untuk menambah penghasilan keluarganya. Tentu saja tak ada yang berpikir ingin menukar uang itu dengan seekor kucing persia atau satu kotak besar koleksi boneka Barbie!

Sayup suara Ibu memanggil. Aku membalikkan tubuhku menghadap dinding. Sia-sia aku mencoba kembali larut dalam khayalan, coba menciptakan bagian yang tak sempat kuselesaikan karena mendadak buyar gara-gara panggilan Ibu. Sekarang mau apa lagi? Kenyataan selalu berhasil mengembalikan kita  pada dunia yang sesungguhnya.

“Cepatlah ambil air di sumur, lalu kerjakan PR-mu!” kata Ibu, singkat dan lugas, tapi butuh waktu lebih dari satu jam untuk melakukan apa yang dikatakannya.

Dita sudah tertidur, tapi Ibu masih mengipasinya. Malam ini memang udara terasa panas, tapi masih lebih adem daripada siang tadi. Berita di televisi mengabarkan suhu kota kami akan mencapai 33 derajat Celsius. Kenaikan suhu ini diduga sebagai akibat masa transisi dari musim kemarau ke musim penghujan.

Dita makin lelap, keringat di dahinya tak sebanyak tadi. Boneka Barbie itu masih lekap dalam pelukannya. Boneka bekas yang tangannya tinggal sebelah, yang sudah dibuang anak Ko Halim ke tempat sampah, yang lantas dipungut Ibu. Dita sangat senang mendapatkannya. Boneka itu selalu menemaninya sepanjang hari, bahkan saat tidur pun ia bawa.

Aku memandangnya lekat. Adik perempuanku yang cantik. Kulitnya agak gelap seperti Abah, tapi matanya lembut seperti Ibu. Meski jarang bermain bersama adik semata wayang ini, aku sangat sayang padanya. Selain ke sekolah, hari-hariku memang lebih banyak diisi dengan bermain bersama teman-temanku atau mencari uang tambahan. Dita masih terlalu kecil untuk dibawa bermain bersama kami. Lagi pula, mana mau teman-temanku diajak bermain boneka. Ya, boneka Barbie bertangan satu itu menjadi mainan kesayangannya. Primadona di antara mainan-mainan lusuh dan boneka kucel yang tersimpan rapi dalam sebuah keranjang plastik.

Cepat-cepat kupalingkan wajahku. Ada rasa haru menyelinap di dadaku. Rasanya ingin aku masuk ke dalam mimpi adikku dan mengetahui apa yang diinginkannya. Sebuah boneka Barbie? Mungkin saja. Buku cerita dan kue tart berlumur cokelat dan dipenuhi buah stroberi segar? Mungkin saja begitu, sama seperti aku yang memimpikan roti buaya. Kuraih ember. Dalam hati aku berjanji, mulai besok aku akan berjuang lebih keras agar bisa mendapatkan uang untuk membeli sebuah boneka Barbie yang utuh dan lengkap kedua tangannya.

Setiap orang mempunyai mimpi dan siapa pun akan berusaha agar mimpi itu terwujud. Kadang-kadang bukan tangan kita sendiri yang mewujudkannya, bisa saja tangan orang lain yang membantu kita meraih impian. Tentu saja kita tak perlu menunggu bantuan orang lain, biarkan waktu mengalir bersama kesungguhan yang sedang kita lakukan.

Bermimpi itu sangat manusiawi, semua orang berhak memilikinya tanpa membedakan warna kulit atau kelas sosial. Lalu, mungkin saja kita akan bertanya, apakah seekor buaya atau tikus dapur mempunyai mimpi?

Yang pasti, aku memimpikan roti buaya yang jaraknya hanya sekitar tiga meter dari diriku. Dibatasi dinding kaca yang tebal dan bening, roti bertaring itu serasa berada di kutub utara. Hmm… kelihatannya, semua rotinya baru. Baru diangkat dari oven, tampak hangat dan masih empuk. Aku yakin, roti yang ada di etasale kemarin sudah habis diborong orang. Siapa pun yang membeli, alangkah beruntungnya anak itu. Pasti dia anak orang kaya karena perlu banyak uang untuk memborong semua roti buaya yang dipajang di etalase toko.


Penulis: Katherina
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2009




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?