Fiction
Roti Buaya (2)

30 Jun 2011

<< cerita sebelumnya

Kuletakkan ember hitam di sisi sumur. Tong penampung air minum di rumah hampir penuh. Kalau urusan mengisi bak mandi, itu bagian Abah. Jam sepuluh malam nanti beliau pulang kerja. Setelah istirahat sebentar, biasanya langsung menimba air. Kami sengaja memilih waktu malam hari, karena ada beberapa keluarga lain yang memanfaatkan air sumur itu sepanjang pagi hingga sore. Malam hari airnya lebih jernih, karena yang menimba tidak terlalu banyak. Jadi, batu-batu kecil dan pasir di dasar sumur sudah mengendap.

Kata Abah, sumur itu sudah ada sejak zaman Belanda. Tapi, airnya tak pernah surut, meski di musim kemarau. Abah lebih suka memakai air sumur daripada air ledeng yang bau kaporit dan mahal. Air sumur juga rasanya lebih enak, manis dan legit. Tidak percaya?

Sesosok bayangan hitam mendekat. Aku tercekat. Hening menyeruak. Bunyi air menetes dari ember karet hitam yang menggantung di kerekan, terdengar begitu jelas. Aku cepat-cepat meraih emberku yang sudah terisi penuh. Bayangan itu menarik-narik kemejaku. Keringat dingin mulai membasahi pelipisku.

“Dito! Kenapa kamu ketakutan begitu?”

Suara yang kukenal. Bagas. Hhhh… aku menghela napas lega.

“Kukira kamu hantu!”

“Dasar penakut!”

Aku mencoba tertawa. Lambat laun rasa takutku sirna. Aku tersenyum. Pemuda cilik di hadapanku, hanya satu jengkal lebih pendek dariku. Badannya kecil, tapi pipinya agak gembul. Senyumnya yang renyah seakan tak pernah lepas dari wajahnya. Alisnya tebal dan hitam, tapi matanya yang sejuk dan jenaka membuat ia selalu kelihatan menyenangkan. Bagas orangnya lucu dan suka bercanda. Karena itu, aku lebih dekat padanya dibanding teman-teman yang lainnya. Bukan cuma bersahabat, tapi rumah kami pun berdekatan. Hanya berjarak dua rumah diselangi kebun Pak Budi yang luas.

“To, kamu sudah tahu? Si Angga katanya mau disunat bulan depan!”

“Si Angga yang anaknya Pak Lurah atau yang anaknya Pak Surip?”

“Ya, pasti Pak Lurah, dong, kalau Pak Surip, mah, bisa-bisa tahun depan….”

Aku tersenyum tipis. Kami tahu benar, kehidupan Pak Surip dan keluarganya sangat sederhana. Pak Surip kerja di rumah sakit, jadi satpam. Anaknya empat orang. Abah saja yang punya dua orang anak, sudah kerepotan. Abah penjaga pintu kereta di perlintasan dekat Bank Indonesia, gaji Abah memang tidak sebanyak Pak Lurah, tapi masih cukuplah.

Setahun sekali, Abah dan Ibu mengajak aku bersama adikku, Dita, pelesir ke kebun binatang. Betapa senangnya kami, ketika sebuah perusahaan susu instan mengajak semua keluarga penjaga pintu kereta di kota ini, bertamasya ke Dunia Fantasi. Inilah tempat wisata terjauh yang pernah kami kunjungi. Namun sayang, saat perusahaan itu mengadakan sunatan massal, aku terlambat mendaftar.  

Dita sakit! Abah dan Ibu sempat panik. Pagi-pagi sekali mereka bergegas ke puskesmas. Ah, gara-gara panik, mereka datang kepagian karena puskesmas itu baru buka pukul tujuh pagi. Sementara kedua orang tuaku sibuk mengurusi Dita, aku tetap berangkat sekolah. Konsentrasiku di kelas selalu buyar, karena pikiranku selalu melayang ke rumah. Khawatir berbaur rasa takut kalau terjadi apa-apa pada adikku yang semata wayang itu. Ajakan bermain dari teman-teman kutolak. Aku harus segera bergegas pulang! Roti buaya yang biasa kusambangi nyaris tiap hari pun, kuabaikan.

Baru saja bernapas lega, melihat adikku sudah tidur melingkar di kasur kapuk kami yang sudah tipis, aku menangkap wajah kusut masai ibuku. Jauh lebih kusut dibanding sebelum pergi ke puskesmas.

“Dokter bilang adikmu mungkin kena demam berdarah. Untuk memastikannya dia harus periksa darah di laboratorium. Abah sedang mencari pinjaman ke Wak Narti….”

“Wak Narti kan pelit, Bu…,” ucapku, lugas. Ibu mencoba tersenyum, dia memeras handuk kecil dan meletakkannya di dahi Dita.

“Mudah-mudahan Abah berhasil dan uangnya tidak kurang…!” Ibu masih mencoba tersenyum sekali lagi. Senyum yang kering dan pedih.

Ibu tidak mengatakannya secara langsung, tapi aku tahu dari gerak matanya yang sekali-sekali mengarah pada rak baju tempatku menaruh celengan Spiderman. Bukan sekali ini saja Ibu meminjam isi celenganku. Waktu Ibu kredit panci di Mang Apep, Ibu pinjam celenganku. Terus, buat menambah uang muka sekolah TK Dita. Belum lagi, ketika pelek sepeda Abah perlu diganti, tak urung pula celengan itu dikosongkan. Aku melangkah perlahan sekali ke arah rak.

Rak kayu tanpa pintu itu hanya ditutupi kain lusuh. Selembar kain yang ujungnya diberi lipatan, tempat sebatang bambu kecil agar bisa merentang dari satu paku ke paku lainnya, yang masing-masing berada di kedua sisi rak bagian paling atas.

“Nanti Ibu bayar, Nak, Sabtu depan!”
Ibu sudah hampir lima tahun bekerja sebagai buruh cuci pakaian di rumah Ko Halim, orang kaya pemilik pabrik tahu di tepian jalan besar itu. Gaji Ibu memang tidak terlalu besar. Per minggunya, Ibu mendapat Rp50.000. Jumlah yang lumayan besar untuk membantu perekonomian keluarga kami. Ko Halim orangnya cukup dermawan, dia suka memberi bonus kalau sedang girang hati. Kadang-kadang istrinya pun memberi Ibu baju bekas yang layak pakai. Aku dan Dita malah dibelikan seragam sekolah. Tentu saja, Ibu senang karena uang untuk membeli baju bisa dialihkan untuk membeli keperluan lain yang lebih penting.

Aku menghela napas. Celengan Spiderman itu kutatap sekali lagi. Kugoyangkan pelan-pelan. Suara uang logam beradu dengan kaleng terdengar nyaring. Uang yang kukumpulkan sedikit demi sedikit, hasil keringatku menyemir sepatu di masjid besar itu, sebentar lagi berpindah tempat.

Baru sekali Ibu mengganti isi celenganku, itu pun kemudian dipinjam kembali. Sekarang, ketika jumlahnya diperkirakan cukup untuk membeli satu buah roti buaya, uang ini harus kurelakan untuk adikku. Sudah berapa buah roti buaya yang lepas dari genggaman tanganku? Aku tak dapat menyembunyikan rasa kecewa yang selama ini kusimpan dalam diam. Tapi, perasaan tersebut segera pupus, ketika menatap adikku yang terbaring lemah. Wajahnya memerah karena demam. Matanya yang kuyu, sedari tadi masih terpejam rapat. Biasanya, dari bibir mungilnya terlontar celoteh riang yang meruapkan keceriaan di rumah kami. Rumah yang hangat, meski angin dan bocoran air tak bosannya singgah di situ.

Kabar baik itu disampaikan Ibu ketika Abah baru saja pulang. Hasil pemeriksaan laboratorium Dita cukup bagus, bukan gejala tifus atau demam berdarah, tapi hanya demam biasa yang kalau dibiarkan bisa jadi lebih parah. Untung saja cepat-cepat dibawa ke puskesmas.  

Abah senang, yang penting Dita tidak terjangkit demam berdarah. Bila ini benar-benar terjadi, Abah tak tahu harus berbuat apa. Dokter pasti  menganjurkan Dita diopname, yang otomatis memerlukan biaya besar. Utang Abah di koperasi tempatnya bekerja masih menumpuk. Prosesnya akan menjadi lama dan berbelit kalau mau berutang lagi. Abah tak dapat menunggu terlalu lama karena Dita butuh pertolongan segera, ini berarti biaya rumah sakit harus secepatnya dibayar. Mungkin saja Ibu bisa meminjam uang pada Ko Halim, tapi apa tidak malu kalau terlalu sering berutang?

Untungnya semua itu tidak terjadi. Dita sembuh. Kelincahan dan celoteh adikku mewarnai hari-hari kami yang sempat hilang. Suasana rumah pun kembali seperti semula, hangat dan ceria. Meski keluarga kami serba pas-pasan, selalu saja ada hal-hal yang membuat kami bersyukur. Memang, Abah hanya seorang pegawai kecil yang baru saja diangkat jadi pegawai tetap. Tapi, Abah seorang pekerja keras dan giat agar kehidupan keluarga kami menjadi lebih baik.


Penulis: Katherina
Pemenang III Sayembara Mengarang Cerber femina 2009


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?