Ida Ahdiah
Aku dan kedua kakakku tidak percaya waktu Ibu mengatakan, tahun ini akan berlebaran di rumah putri bungsunya, aku! Ternyata, beliau sungguh-sungguh dengan keputusannya. Di Sabtu pagi bermatahari, lima hari sebelum Lebaran, Ibu tiba di rumahku. Ia naik pesawat paling pagi, diantar Bulik Cati, adik Ibu, yang karena kesibukannya, pulang hari itu juga dengan pesawat sore.
Ibu membawa buah tangan kacang mete rasa orisinal kesenanganku. Juga selembar syal jumputan merah kesumba, yang ia pesan dari pembatik langganannya. Kata Ibu, motif syal itu tidak ada kembarannya. Namun, yang membuatku senang, melihat Ibu berkebaya hijau bermotif kembang kangkung. Kebaya itu tampak bersinar di kulitnya yang rajin dibalur mangir. Kain sarungnya bermotif pesisir dengan kombinasi warna menyala. Aku berharap, Ibu benar-benar telah mengakhiri masa berkabungnya.
Setahun yang lalu, ketika Ayah meninggal, Ibu memutuskan untuk mengenakan kebaya hitam atau abu-abu dari bahan katun. Pasangannya adalah sarung batik yang biasa dipakai oleh almarhum Ayah. Jika keluar rumah, selendang hitam panjang menutupi setengah rambut hitamnya yang sudah diselingi uban. Dengan alasan menghormati Ayah, Ibu memilih untuk membatasi diri keluar dari rumah selama tiga bulan. Sia-sia kami merayunya untuk tinggal sementara di salah satu rumah kami. Ibu tetap memilih tinggal di rumah, ditemani Pakde Khoir dan istrinya, yang sudah dianggap seperti keluarga inti oleh kami.
Aku mulai khawatir, setelah 100 hari selamatan kepergian Ayah, Ibu masih belum mengganti warna berkabungnya. Aku bisa merasakan, betapa sulit Ibu melepas kepergian Ayah, pasangan jiwa yang telah menemaninya selama empat dekade! Namun sungguh, aku mulai rindu melihat Ibu mengenakan kebaya klasik yang cantik dengan padanan kain batik berbagai motif yang membuatnya tetap menarik di usia kepala enam.
“Ibuku cantik, segar,” ucapku, ketika Ibu mencium kedua pipiku, kening, lalu merengkuhku ke pelukannya.
“Terima kasih. Kamu kurusan. Pipimu agak cekung. ” Ibu menepuk-nepuk pipiku dengan telunjuknya. “Lelah menyiapkan Lebaran, ya?”
“Maklumlah, Bu, ini pertama kali aku menyiapkan Lebaran. Tiap tahun kan aku mudik. Aku sudah membuat catatan apa yang sudah dan belum disiapkan. Nanti Ibu bisa lihat, siapa tahu masih kurang. Lebaran masih lima hari lagi. Sekarang Ibu istirahat dulu,” paparku.
“Ibu percaya padamu, Nona Rencana.”
Nona Rencana adalah julukan yang diberikan oleh kedua kakakku karena aku selalu merencanakan segala sesuatu secara terperinci. Bagiku, itu penting karena akan membantu melakukan sesuatu secara bertahap, tidak terburu-buru dan hasilnya akan memuaskan. Keinginan Ibu berlebaran di luar tanah kelahirannya ia utarakan saat kami datang di hari ulang tahunnya.
“Jika mendapat karunia panjang usia, tahun ini Ibu akan berlebaran di rumah Menuk, berikutnya di rumah Jaki, dan tahun selanjutnya di rumah Estu.” Ibu mengatakan itu seusai kami berdoa di makam Ayah yang sudah dipasang nisan marmer abu-abu dari Tulungagung berukir nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian Ayah.
Mendengar itu, kami saling pandang tidak percaya dengan tangan yang masih setengah menengadah, usai berdoa. Berdasarkan pengalaman, paling lama Ibu tinggal tiga hari di rumah tiap anaknya. Itu pun selalu bersama Ayah. Alasannya, karena ia selalu ingat rumah. Selain itu, Ibu juga menganggap Lebaran sebagai hari sakral yang harus dirayakan bersama anak dan cucu di rumah kami yang besar, berpagar tanaman melati yang senantiasa berbunga dengan semerbak harum tak berkesudahan. Di halamannya yang luas, tumbuh menjulang pohon nangka, jambu dersana, mangga tali jiwo, dan di tiap sudut ada kelapa genjah hijau yang tumbuh rendah.
Aku selalu mencamkan kata-kata Ibu ketika satu per satu ketiga anaknya meninggalkan rumah. “Tolong, kalian sempatkan untuk pulang di hari Lebaran.”
Jadi, kami menganggap keputusan Ibu sebagai sinyal bahwa Ibu tak akan keberatan lagi meninggalkan rumah dan dekat dengan anak cucunya. Selama ini, kami berupaya menengok Ibu secara bergantian tiap bulan, meski Ibu tidak pernah meminta. Tapi kami tahu, mata Ibu akan berbinar-binar saat kami datang . Bahkan, menurut Bude Khoir, Ibu tampak sehat saat anaknya ada di rumah.
Seingatku, hanya aku yang tak pernah absen berlebaran di kampung. Mbak Estu pernah absen saat hamil tua dan Mas Jaki absen karena sedang dinas di Moskow. Segala tantangan, jalan rusak, banjir, pohon tumbang, pasar tumpah atau separuh jalan dipakai orang hajatan yang membuat kemacetan mengular dan berhenti berjam-jam, tak pernah memadamkan hasratku untuk mudik dengan mengemudikan mobil sendiri. Aku menikmati mudik sebagai perjalanan batin yang mampu memupus kepenatan dan ketegangan tiap hari, bertarung mengatur waktu dan mengatasi tekanan kerja.
Aku menikmati sekali usaha Ibu yang secara sengaja membuat anak-anaknya sejenak berada di masa lalu. Ibu melapisi tempat tidur dengan seprai kesukaan kami, yang wangi pengharumnya tidak jauh berbeda dengan yang ia gunakan semasa kami masih kanak-kanak. Di kamarku ada stoples berisi lento dan kacang mete. Mas Jaki kebagian sestoples kacang bawang yang dibubuhi banyak bawang putih goreng kesukaannya. Sestoples penuh berisi putil dan emping manis hadir juga di kamar Mbak Estu. Untuk cucu-cucunya, ia menyiapkan es puter dan berondong tradisional bersalut karamel gula merah, yang kemudian menjadi makanan favorit Isna dan Jay, dua keponakanku yang masih balita.
Ini yang paling asyik. Sepanjang hari aku bisa memakai piama, bermalas-malasan di mana saja, di depan televisi atau di kamar. Kalau Bude Khoir tidak banyak pekerjaan, aku memintanya memijat kaki dan punggung dengan minyak kelapa murni buatannya, di teras belakang yang dipenuhi tanaman kuping gajah, sambil berbaring di dipan kecil berlapis tikar pandan. Cerita Bude Khoir tentang perilaku masa kanak-kanakku jadi hiburan menyegarkan yang tak pernah bosan kusimak.
Mandi pun kapan aku mau. Lucunya, jika hingga sore aku belum mandi, Ibu akan mengalungkan handuk di leherku. Ia menyuruhku mandi seperti pada Menuk kecil yang dulu belepotan usai main pasir. Hal-hal sederhana itu membuatku merasa disuntik multivitamin dosis tinggi, memasok energi untuk menyelesaikan rencana-rencana besarku sepulang mudik.
Tapi sudahlah, kini giliranku menemukan cara membuat Ibu dan keluarga kakakku menikmati Lebaran di rumahku. Rumah bercat abu-abu muda hasil jerih payahku itu berada di sebuah cluster, tanpa pagar, menghadap ke arah matahari terbit, dengan tiga kamar. Kamar terkecil ditempati Mbak Yun, asisten rumah tangga yang selalu setia membantuku. Ibu kutempatkan di kamar bawah, tidur bersamaku. Keluarga Mbak Estu di kamar atas. Sedangkan keluarga Mas Jaki kebagian di ruang tamu. Sofa merah itu bisa disulap jadi tempat tidur untuk dua orang.
“Tentang tempat, aku sudah bicarakan dengan Mas Jaki dan Mbak Estu. Mereka tidak keberatan berdesakan, yang penting bisa berlebaran bersama,” laporku kepada Ibu, saat aku hendak berangkat kerja dan Ibu sedang melihat berita di televisi.
Dua hari sebelum Lebaran, stoples yang sudah kuisi dengan kue nastar, lidah kucing, putri salju, kaastengel, dan kue sagu kutata di meja tamu dan meja di ruang tengah. Taplak batik di meja tamu kuganti dengan taplak warna gading, dengan tepi berhias bordir daun dan bunga mawar merah. Aku berharap ini akan menambah istimewa suasana Lebaran di rumah mungilku.
“Sayur besan? Makanan apa itu?” Ibu mengerutkan dahi sambil menahan tawa waktu sore itu ia membaca daftar makanan yang kususun.
“Makanan masyarakat Betawi. Dibuat dari bunga tebu, kentang, tetelan, dan diberi santan. Makannya dengan ketupat.”
“Enak?”
Aku menggeleng sambil tertawa. “Aku juga belum pernah makan. Kita coba saja.”
Aku sengaja ingin menyediakan menu bervariasi, seperti gurame acar dari Sunda, sambal goreng cabe yang biasa tersedia saat makan nasi jamblang, ayam goreng ala Padang, dan ketupat. Ibu tidak pernah menyediakan ketupat di hari Lebaran. Menurut tradisi di kampung, makanan itu dibuat di hari Lebaran Ketupat, seminggu setelah Idul Fitri.
Saat aku kecil, tiap warga dusun membawa ketupat untuk kenduri di musala dan dimakan secara bersama-sama. Kini, tradisi itu tidak ada lagi. Ibu selalu menyediakan nasi, opor ayam, sambal goreng kentang, dan kerupuk udang. Beberapa tahun belakangan, Ibu menghidangkan makanan baru, bacem burung puyuh yang langsung jadi makanan favorit kami!
“Apakah ada makanan lain yang ingin Ibu pesan?”
Aku akan memesan semua menu dari katering milik keluarga Noni, teman kerjaku. Kateringnya spesialis menyediakan makanan dan kue Lebaran.
“Pesan opor ayam jago. Lebaran tanpa opor kurang afdal. Makanan lainnya cukup membuat Ibu penasaran ingin mencicipi,” jawab Ibu, sambil memperhatikan Mbak Yun mengepak barang-barang. Mbak Yun minta izin akan berada di kampungnya, di Tegal, selama dua minggu.
Aku hanya mengambil cuti satu hari, yang kuambil sesudah Lebaran. Kebetulan Lebaran jatuh hari Minggu dan Senin masih terhitung libur. Jadi kuambil cuti Selasa saja. Aku sengaja menabung cuti untuk kuambil empat bulan mendatang. Aku merencanakan sebuah perjalanan di hari ulang tahun Ibu ke tempat yang ingin Ibu kunjungi bersama Ayah. Rencana mereka tidak terwujud karena Ayah keburu meninggal. Aku baru akan memberi tahu Ibu jika semua prosesnya sudah jelas.
Dua hari menjelang Lebaran, segala persiapan sudah rampung. Tinggal menunggu Mbak Estu yang akan datang malam nanti. Keluarga Mas Jaki akan datang lusa. Sore ini, aku ingin mengajak Ibu keluar rumah, membeli sepatu dan tas tangan. Kulihat sepatu dan tas tangan miliknya sudah dimakan usia.
Pagi itu, kutemukan Ibu sedang duduk di sofa, menyentuh permukaan stoples satu per satu. “Kira-kira, siapa tamu yang akan berkunjung di hari Lebaran dan menikmati kue-kue ini?” tanyanya, ketika aku duduk di sampingnya.
“Ini pertama kali aku Lebaran di sini. Jadi, aku tidak tahu. Kita lihat saja nanti.” Sejujurnya, aku tidak kenal banyak tetangga. Pergi kerja pagi dan kembali ke rumah di malam hari, membuatku tak memiliki waktu untuk bertegur sapa dengan mereka. Sementara di akhir pekan, biasanya mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, sehingga jarang kelihatan.
“Kelihatannya sudah banyak yang mudik. Subuh tadi Ibu melihat penghuni rumah itu dan itu mudik,” kata Ibu, menunjuk beberapa rumah di depan dan di samping.
“Jakarta akan ditinggalkan penduduknya. Ibu bisa lihat di televisi, jalanan di kota ini kosong. Aku ingin mengajak Ibu menikmati kelengangan. Setelah itu kita jalan-jalan di mal….”
“Kalau di kampung, saat ini sedang ramai-ramainya. Perantau berdatangan, mobil berpelat B berseliweran. Saat itu, tiap ada mobil lewat, apalagi berhenti di depan rumah, Ayah dan Ibu akan berebut melongok ke luar jendela. Berharap itu adalah salah satu dari kalian. Rasanya tidak sabar ingin kalian segera datang.” Mata Ibu mengerjap-ngerjap, menatap fotonya bersama Ayah yang menempel di dinding ruang depan.
“Sekarang Ibu tidak perlu menunggu, aku sudah ada di samping Ibu. Nanti sore Mbak Estu datang disusul oleh Mas Jaki. Sekarang jalan-jalan, yuk!”
Ibu menoleh ke arahku dengan wajah yang serba salah. “Gimana, ya, Ibu mendadak berubah pikiran. Ibu ingin pulang saja dan berlebaran di kampung. Di sini sepi sekali….”
Aku bisa merasakan rasa sepi dan asing yang menyergap Ibu. Namun, Nona Rencana ini tidak mengagendakan untuk mudik. Semua energi sudah kugunakan untuk mempersiapkan Lebaran di rumah. Termasuk mengatur pekerjaan di kantor sedemikian rupa. Kini aku merasa tak berdaya, karena tidak mungkin mudik tiba-tiba, tanpa rencana. Kurasa Mas Jaki dan Mbak Estu pun akan cukup kerepotan mengatur ulang jadwalnya. Ibu, yang tidak pernah merasakan pulang mudik, tentu tidak membayangkan bahwa mudik memerlukan persiapan mental selain materi.
“Tiket pesawat dan kereta pasti sudah habis. Satu-satunya jalan pulang dengan mobilku ” Aku berupaya mengatur suara setenang mungkin.
“Ibu akan telepon Jaki untuk langsung ke Solo saja. Ibu akan telepon Khoir dan istrinya untuk menyiapkan makanan. Kamu ngepak barang-barangmu, sana! Subuh besok kita bisa berangkat. Kamu bisa gantian mengemudi dengan Tris.” Tris adalah kakak iparku, suami Mbak Estu.
“Hanya Mas Tris yang akan mengemudi. Maaf, aku tidak bisa pulang….”
Ibu tampak tersengat mendengar ucapanku. “Kamu marah, ya, Menuk?”
Aku menggeleng. Kuhampiri Ibu. Kubawa kedua telapak tangannya ke pipiku.
“Ibu tahu, tiap tahun aku tak pernah absen berlebaran di kampung. Aku selalu merindukan kebersamaan itu. Tapi kali ini, aku tidak bisa pulang. Cutiku tidak cukup untuk mudik. Seusai Lebaran aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan agar bisa mengambil cuti panjang 4 bulan mendatang. Saat itu, rencananya aku ingin mengajak Ibu umrah dan pulangnya jalan-jalan ke Turki seperti yang pernah Ibu rencanakan dengan Ayah.”
Aku merasa perlu menjelaskan rencana-rencanaku kepada Ibu. Selanjutnya, apakah Ibu ingin berlebaran di rumahku atau di kampung, kuserahkan sepenuhnya kepada Ibu.
Ibu membawaku ke dalam pelukannya dan mengatakan, “Menuk, kau selalu istimewa dalam membuat rencana. Terima kasih.”