Fiction
Rafiq & Sari [5]

15 May 2012

<< cerita sebelumnya

Iwan tersentak. Sesaat ia memelototi Rafiq dengan mata meme-rah. Lalu, tiba-tiba ia meninju ulu hati Rafiq, yang merasa se-perti ada bola api meledak di dadanya. Rafiq tidak bisa bernapas. Perkelahian pun tak dapat dihindari lagi. Rafiq nyaris tak berdaya, karena Iwan memanggil dua penjaga tempat itu, untuk mengeroyok Rafiq. Untung saja, Wahyudi, yang sudah menunggu Rafiq, mendengar keributan itu. Segera saja ia membantu Rafiq, menye-retnya keluar, dan mereka pun secepat kilat melarikan diri. Tapi, tangan-tangan kekar gesit menangkap mereka.


“Apa?” Pak Rivai berteriak di pesawat telepon. “Saya tidak salah dengar? Bapak bilang, anak saya ditangkap karena apa? Ke kompleks pelacuran dan tidak mau bayar? Mabuk, mengamuk, dan melukai orang? Tidak mungkin, Bapak keliru, itu tidak mungkin anak saya!”

Namun, setelah berapa lama mendengar penjelasan lawan bicaranya, Pak Rivai meletakkan gagang telepon. Dengan dua ta­ngan memegang kepala, ia berdiri, menengadah ke langit-langit. Istrinya, yang turun dari tangga, dan melihat suaminya seperti itu, segera berlari menubruknya. “Ada apa? Ada apa?”

Pelan Pak Rivai memutar kepalanya, memandang istrinya. “Saya baru ditelepon polisi. Rafiq ditahan. Bu, ini sukar dipercaya. Rafiq ditangkap di kompleks pelacuran. Kata polisi, tuduhannya, ia tidak mau bayar.”

“Masya Allah!”

“Lalu, setelah ditagih, Rafiq memaki-maki mucikarinya, menye­rang, dan menganiayanya!”

“Itu tidak mungkin! Tidak mungkin!”

“Ketika pihak keamanan akan mencegah, ia menyerang orang-orang yang mau melerai. Kata polisi, ada yang patah tangannya, tertusuk perutnya, tersayat urat nadi pergelangannya, patah rusuknya. Lalu, ia lari. Dan, sambil lari, ia merusak semuanya. Ia pun melawan polisi yang hendak menangkapnya.”

“Ya, Tuhan. Itu bukan Rafiq. Itu pasti Wahyudi!”

“Menurut polisi, ada yang mengatakan dua orang. Tapi, Rafiq mengaku, ia melakukan semua itu sendiri. Dan, yang bersamanya hanya orang lewat yang membantu setelah melihat ia dianiaya.”

Telepon tiba-tiba berdering. Pak Rivai menjawab, “Salamulaikum.”

“Alaikumsalam. Ini Wahyudi.”

“Wahyudi? Kamu apakan anak kami!”

“Itu yang ingin saya jelaskan....”

“Tidak usah menjelaskan apa-apa. Jangan berani ke sini lagi. Ja­ngan berani menelepon lagi. Jangan berani bergaul dengan Ra­fiq lagi. Kalau ada yang harus dijelaskan, biar Rafiq yang menjelaskan. Apa pun yang dikatakan iblis adalah kebohongan!” Pak Rivai membanting gagang telepon.

Pak Rivai duduk di bangku kayu, berhadapan dengan putranya. Jika sebelumnya ia berniat marah, kini luluh hatinya melihat wajah anaknya yang babak belur dan biru lebam. Seumur hidup ia belum pernah melayangkan tangan pada anaknya. Itu tidak pernah dibutuhkan. Rafiq memang keras kepala sedari kecil. Tapi, ia tidak pernah memakai kekerasan, tidak pernah berkelahi.

“Rafiq,” kata ayahnya, lembut, “apa yang terjadi? Katakan bahwa bukan anak bapak yang membabi buta di tempat itu. Katakan bahwa yang mengajakmu ke sana adalah Wahyudi!”

“Pak, Bapak tahu, saya tidak bisa berbohong. Saya memang dibawa ke sana oleh Wahyudi. Dan, Wahyudi yang melukai centeng-centeng itu. Tapi, Wahyudi tidak bersalah. Ia mengajak saya ke sana karena menganggap saya naif. Saya pernah mengatakan, dengan dakwah, masyarakat akan lebih baik. Ia menantang saya untuk berpikir lebih jauh. Pak, saya melihat perbudakan di tengah kota Jakarta. Ia ingin memberi saya teka-teki. Semalaman dan seharian ini saya memikirkannya. Saya rasa, mata saya kini terbuka.”

“Tapi, kalau ia hanya memperlihatkan sesuatu, mengapa kamu babak belur? Mengapa kamu dibilang tidak mau bayar?” Pak Rivai terbata suaranya.

“Semua salah saya, Pak. Wahyudi tidak pantas mendapatkan kesulitan karena kejadian ini. Maksudnya baik. Saya yang terlalu naif.”

Bapak dan anak itu berpandangan. Pak Rivai tahu, anaknya tidak mungkin berbohong. Ia sadar, saat itu anaknya telah kehilangan kepolosannya di tempat itu, meskipun tidak kehilangan keperawanan. Dan, karena ia begitu lama dilindungi, apa yang ia alami itu menadi peristiwa besar baginya.

“Nak, Bapak tidak menyalahkan kamu. Bapak mengerti.”

“Kalau begitu, mohon Bapak tidak menyalahkan Wahyudi!”

Pak Rivai memandang ke dalam mata anaknya yang bengkak, tapi bersinar cemerlang, setajam pandangan elang. Ia sadar, anaknya akan jadi pria berwatak keras. Keras dalam arti tidak akan melenceng dari jalan yang lurus. Bukan karena fanatik, bukan karena sok, karena itu sudah sifatnya. Tidak berarti ia akan kasar dan kejam, ia tetap akan membungkuk untuk menyelamatkan cacing dan semut. Pak Rivai mulai ketakutan akan kehilangan anaknya. “Baik. Secara pribadi, Bapak tetap tidak suka kamu berteman dengan Wahyudi. Tapi, Bapak menghormati loyalitas dan kemauanmu.”

Rafiq mencium tangan bapaknya, yang sesaat mengelus kepala Rafiq. Pak Rivai lalu beranjak, dan membicarakan perkara itu dengan polisi, membebaskan anaknya dengan caranya sendiri.

Sari mencoba mengubur kepalanya di bantal agar tidak mendengar gedoran di pintu. Matanya bengkak dan perih. Ia tidak mempunyai air mata lagi. Pertama kalinya dalam dua bulan yang serasa dua tahun, seorang pria bersikap baik padanya, sopan dan penuh hormat.

Kehidupan Sari berubah setelah ia ke Jakarta. Sari masih i­ngat kegembiraannya sewaktu diajak Bu Yati ke kota ini. Sari baru lulus SMEA dan masih melayang di atas awan kecil. Ia gadis pertama di desanya yang berhasil lulus. Hampir semua temannya berhenti SMP dan kebanyakan sudah menikah. Tapi, ayah Sari tidak mau Sari seperti yang lain.

“Sari, mungkin tetangga mengatakan, untuk apa menyekolahkan anak perempuan. Mereka, toh, nanti menikah. Apa lagi Sariku yang cantik. Bagimu, mendapatkan suami orang berada mungkin bak membalik tangan, tinggal pilih. Tapi, Bapak ini guru. Malu, dong, kalau anak guru tidak sampai selesai sekolah. Tapi, ada yang lebih penting. Kecantikanmu itu anugerah dan bahaya besar. Mengapa mereka suka padamu? Karena kecantikanmu yang setipis kulit saja? Atau, karena kamu Sariku? Dyah Permata Sariku?”

“Ah, Bapak ngomong apa, sih?”

“Sari, dengar baik-baik. Kecantikan itu bisa merupakan ba­la, sumber kecelakaan. Kalau Sinta tidak cantik, Rahwana tidak akan menculiknya dan perang tidak akan terjadi. Rama mendapatkan kembali Sinta. Tapi, dalam setiap perang, rakyat kecil yang jadi korban. Kalau Ken Dedes tidak cantik, kutukan keris Empu Gandring tidak akan terjadi.”

“Ah, jadi, wanita salah karena cantik?”

“Bukan, pria yang salah, karena menganggap kecantikan itu penting, memujanya bagai berhala. Sehingga, untuk itu, mereka mau mengorbankan banyak hal. Tapi, masalahnya bukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Kamu begitu cantik, sehingga ayah lain akan melihatmu sebagai modal untuk menjamin masa depannya. Bapak tentu mengharapkan menantu yang bobot, bebet, dan bibitnya baik. Tapi, Bapak takut melihat sikap orang terhadapmu. Orang berlaku tidak wajar terhadapmu. Pria yang jauh lebih tua lupa diri dan datang merayu. Teman pria sebayamu takut padamu, teman perempuan mencemburuimu. Akhirnya, kamu sendiri tidak tahu bagaimana pergaulan wajar. Kamu bagai kunang-kunang dalam gelap. Yang dilihat orang hanya sinarmu. Yang kamu lihat hanya orang yang melihat sinarmu.”

“Pusing saya kalau Bapak ngomong begitu.”

“Lebih baik pusing sekarang daripada nanti. Bagaimanapun, sekolah yang rajin. Jangan pacaran. Biarkan orang bilang bapakmu kuno. Pentingkan kemampuan untuk mandiri daripada bergantung pada siapa pun.”

“Tidak boleh bergantung pada suami?”

“Boleh. Semoga kalau kamu menikah nanti, pernikahanmu akan langgeng dan berbahagia sampai akhir.”

“Amin.”

“Semua orang yang cerai, pada awalnya bersumpah sehidup semati. Sumpah itu diucapkan sejujurnya, dengan emosi meluap. Tapi, hiduplah yang akan menguji kita!” 


                                    cerita selanjutnya >>


Penulis: Iwan Cipto


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?